Mematikan Diri untuk Menghasilkan Banyak Buah

Mematikan Diri untuk Menghasilkan Banyak Buah

Belum ada komentar 208 Views

Itulah fakta dan kebijaksanaan yang Yesus ungkapkan mengenai cara menjadi berguna dan menyebarkan manfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Merujuk pada destinasi-Nya sendiri yang telah ditetapkan Allah dan telah disuratkan para nabi, Yesus dengan kesadaran, kepastian serta kemantapan penuh merelakan diri-Nya untuk menerima kematian di kayu salib, menggenapi upaya dan jalan-Nya guna menebus dosa umat manusia. Dia harus mati supaya karya keselamatan itu terjadi. Melalui kematian-Nya umat manusia beroleh pengharapan, keselamatan dan kehidupan.

Banyak dari kita yang berupaya melayani dengan tidak mau ‘mematikan’ atribut status serta keberadaan kita. Kita ingin tetap dipandang dan dihargai sebagai pribadi, sekalipun dalam pelayanan bersama. Menjadi sensitif, gampang tersinggung dan mudah marah apabila hanya dianggap sama dengan yang lain, apalagi bila kita merasa dipandang lebih rendah. Akhirnya tampillah sikap ‘diaken yang direktur’, yang perilakunya hanya perintah sana perintah sini. Ia menganggap diaken dan orang-orang lain sebagai anak buahnya. Ia sulit mendengarkan saran apalagi koreksi, karena sudah terbiasa menjadi pemegang dan penentu nilai dan kebenaran di kantornya. Ia hanya mau mengurusi rencana strategisnya karena ia seorang eksekutif, soal operasional biar diaken lain yang mengerjakannya.

Ada lagi ‘penginjil yang politikus’, yang menyuarakan injilnya sesuai dengan kepentingan dan karier politik pribadi serta golongannya sendiri. Ia menggunakan injilnya sebagai sarana pembenaran tujuan dan rumusan politiknya. Yang lain lagi adalah ‘penatua yang pebisnis’, yang mengukur pelayanan dan kegiatan pelayanannya menurut pertimbangan menguntungkan atau tidak bagi dirinya dan bisnisnya. Ia tidak melayani dengan keberadaannya tapi meminta dilayani dalam pelayanannya.

Ini tidak berarti bahwa semua diaken yang kebetulan punya jabatan direktur, penginjil yang juga menggeluti politik. serta penatua yang dalam kesehariannya menjalankan bisnis pribadinya, disamaratakan melakukan praktik, seperti di atas. Sama sekali tidak, hanya saja ada yang seperti itu. Bahkan ada pihak yang merasa ‘memiliki’ gereja dan pelayanan yang digelutinya. Pihak lain tidak boleh atau akan dipersulit apabila hendak mengambil bagian dalam pelayanan tersebut kecuali melalui restu dan persetujuannya. Ia memosisikan dirinya sebagai ’gereja’ dan ‘pelayanan’ itu sendiri. Meremehkan peran orang lain, menolak pendapat, kalau perlu menyingkirkan keberadaan orang lain yang tidak sepaham dengannya, terutama yang dianggap bakal menjadi saingannya dalam pelayanan itu Melayani kok bersaing.

Di sisi lain ada yang begitu menghayati makna ‘mati untuk menghasilkan banyak buah’ itu sehingga ia ‘mematikan’ seluruh keberadaannya, hakikatnya, tanggung jawabnya, kewajarannya serta pribadinya. Ia begitu menenggelamkan diri dalam pelayanan supaya menghasilkan ‘banyak buah’. Ia berkonsentrasi penuh dan berfokus hanya pada pelayanan saja, ‘menyerahkan’ segenap tubuh, jiwa dan pikirannya untuk Tuhan. Gereja menjadi rumahnya yang kedua (kalau bukan justru yang pertama), karena ia lebih banyak di gereja daripada di rumah atau di tempat lain. Aktivitasnya sepenuhnya untuk pekerjaan ‘pelayanan’. Menjadi panitia ini-itu, sibuk di komisi ini-itu, ikut aksi sosial ini-itu, menjadi peserta kamp dan pendalaman ini-itu, dsb. Dengan demikian ia ’totalitas’ melayani, ‘menyerahkan’ hidupnya seluruhnya untuk pekerjaan dan pelayanan bagi Tuhan.

Sedangkan di pihak lain, anak-anaknya tumbuh dengan merasa kurang atau tidak mendapat perhatian bahkan kasih sayangnya, suami/istrinya harus berperan ganda dalam mengurus rumah tangga karena ketidakhadirannya di tempat dan tanggung jawab yang semestinya diembannya. Kehidupan sosial di tengah lingkungan masyarakat sekitarnya terabaikan. Bahkan tidak jarang tugas akademis maupun kemanusiaannya disisihkan bahkan dilupakan. Ia sibuk sekali, bahkan tidak punya waktu luang, karena ia benar-benar ‘mematikan’ diri dan kepentingannya sendiri. Ia ‘totalitas’ melayani. Tetapi pelayanan seperti inikah yang benar-benar dikehendaki Allah? Pelayanan yang meninggalkan kasih dan tanggung jawab hakikinya: menjadi seorang suami/istri, menjadi orangtua, menjadi kepala keluarga, menjadi ibu rumah tangga, menjadi imam bagi anak-anak dan istrinya, menjadi penolong bagi suami dan anak-anaknya.

Mematikan diri seperti apa yang sebenarnya dikehendaki Yesus? Mematikan diri yang bagaimana yang dibenarkan dalam pelayanan? Para pelaku bom bunuh diri adalah orang yang mematikan diri, dalam arti yang sebenarnya, pada saat melaksanakan tugasnya. Ia tanpa reserve bersedia mati dan mengorbankan nyawanya untuk tugas yang diyakininya sangat mulia dan akan membawanya ke surga, bahkan ketika ia tidak mengerti sama sekali keterkaitan antara tujuan kelompok, tugas yang dilakukan serta surga sebagai hadiah kematiannya. Ia hanya meyakini kematiannya akan membawa kesuksesan bagi perjuangan dan cita-cita kelompoknya, entah apa pun itu. Bukankah itu sebuah ketulusan? Bukankah itu sebuah kerelaan berkorban pada tingkat yang tertinggi? Bukankah itu sama seperti pengorbanan Kristus di kayu salib?… Benarkah?

Ada perbedaan sangat ekstrim kalau kita mau membandingkan arti kedua pengorbanan di atas. Yesus mati untuk memelihara kehidupan dengan mengorbankan nyawa-Nya; bukan sebaliknya malah menghancurkan kehidupan orang-orang lain melalui penghancuran diri sendiri bagi kepentingan golongan tertentu yang sepaham dengannya. Yesus merelakan nyawa-Nya dan menukarkan kematian-Nya dengan nilai dan kehidupan universal bagi seluruh umat manusia, agar umat manusia memiliki harapan, memperoleh keselamatan dan penebusan dari kematian akibat dosa serta mengalami pemeliharaan kehidupannya di jalan dan karya Allah. Kematian Yesus memelihara kehidupan, sedang kematian yang lain membinasakan kehidupan. Sangat berbeda. Extremely different.

Jadi mematikan diri seperti apa yang dikehendaki dalam melayani? Seperti yang dicontohkan Yesus sendiri melalui kematian-Nya: memelihara kehidupan. Yesus memanggil kita untuk juga berani mati, menyangkal diri dan memikul salib untuk memelihara kehidupan. Menjaga dan memelihara kehidupan-kehidupan yang dikaruniakan, dititipkan serta dikuasakan kepada kita dengan memikul salib, menyangkali kepentingan dan mengorbankan kemuliaan diri sendiri, bukan sebaliknya. Seorang ibu yang meninggalkan kariernya untuk menyusui dan mendidik serta membesarkan anaknya bukanlah wanita bodoh yang tidak mengerti arti sukses dan profesionalisme. Itulah mematikan diri untuk memelihara kehidupan. Seorang anak yang meninggalkan profesinya untuk merawat ibunya yang sudah tua, sakit-sakitan dan kesepian bukanlah insan yang menyia-nyiakan kesempatan dan kehidupan. Itulah penyangkalan diri demi terpeliharanya sebuah kehidupan. Itulah arti biji gandum yang jatuh ke tanah itu. Sungguh bukan perkara yang mudah.

Melayani di bidang dan hal-hal yang tidak populer dan seolah-olah tidak memperoleh manfaat apa-apa bagi diri sendiri bukanlah pilihan yang sia-sia dan membuang-buang bakat dan waktu. Karena pada hakikatnya melayani bukan mencari sesuatu, tapi memberikan sesuatu.

Kalau semua orang menginginkan sesuatu dalam pelayanannya, maka hampir dipastikan tidak akan ada seorang pun yang mendapatkan sesuatu; namun apabila dalam kesadaran penuh seseorang melayani dengan semangat memberi, maka banyak dan bahkan mungkin semua orang akan memperoleh sesuatu. Melayani adalah memberdayakan, bukan mencari pemberdayaan diri. Melayani adalah membagikan berkat, talenta, penghiburan, penguatan, sukacita, pengalaman kepada orang-orang yang dilayani, dan dihayati sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan hal-hal itu terlebih dulu kepada kita. Bukan sebaliknya, melayani untuk mencari dan mendapatkan hal-hal yang menguntungkan diri kita sendiri. Bahwa terkadang orang merasa berjuang sendiri, kurang didukung, tidak terlalu dihargai, tidak diperhitungkan bahkan disepelekan, itulah hakikat memikul salib, hakikat menyangkali diri. Berjuang untuk belajar mati, menyangkal diri, berjalan di jalan salib Yesus. Bersukacita dalam pelayanan yang memuliakan Tuhan meskipun tidak mendapat penghargaan dari manusia, sepi ing pamrih rame ing gawe untuk kemuliaan Tuhan.

Jadi di samping kerelaan, totalitas dan kerendahhatian dalam melayani, pelayanan harus didahului kesanggupan untuk meletakkan dasar bagi terpeliharanya kehidupan yang menjadi tanggung jawab pelakunya. Kalau Anda aktif melayani, seyogyanya tidak ada urusan rumah tangga dan tanggung jawab sosial bahkan tanggung jawab pribadi yang terbengkalai dan terlupakan. Di samping memelihara kehidupan yang lain, kehidupan Anda pribadi juga harus terpelihara. Bagaimana hendak memberdayakan orang lain kalau diri sendiri tidak berdaya?

Perlu diingat bahwa Tuhan tidak pernah memanggil kita untuk meninggalkan tanggung jawab kita yang hakiki. Pelayanan bukanlah pengganti kehidupan pribadi, rumah tangga serta sosial kita, apalagi pelarian dari persoalan kehidupan. Pelayanan adalah ungkapan syukur karena Tuhan telah berkenan mengaruniakan kepada kita kehidupan yang baik, tidak perlu harus hebat, dalam rumah tangga, sosial maupun pribadi.

Barang siapa melayani Aku, kata Yesus, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada.

Nama Yesus dimuliakan tidak hanya di gereja, namun juga di rumah tangga, di lingkungan sosial, di depan anak-anak, di depan suami/istri, di depan anak buah, atasan dan kolega kita di tempat kerja. Jadi di tempat-tempat itu pun kita melakukan pelayanan. Di tempat-tempat itu pun kita harus belajar dan mampu menyangkali diri, memikul salib dan mematikan diri agar orang lain dimungkinkan dan dimampukan melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita, sehingga bersama-sama dengan mereka yang berinteraksi dengan kita,nama Tuhan dimuliakan. Mematikan diri untuk menghasilkan banyak buah, bagi kemuliaan Tuhan.

Sujarwo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Teologia
  • Allah yang Menghadirkan Diri
    Kehadiran sesama dalam hidup kita merupakan faktor yang sangat berharga, karena setiap orang penting bagi yang lain, baik dalam...
  • Puasa: Laku Spiritual di Masa Prapaska
    Dalam perjalanan hidup sebagai seorang Kristen, pernahkah kita berpuasa? Meskipun puasa sudah tidak asing dipraktikkan oleh umat Allah pada...
  • Kasih Terbesar
    Hakikat Penderitaan Yesus Paska, dalam kebiasaan orang Kristen, kurang mendapatkan posisi yang kuat ketimbang Natal dengan segala gemerlap dan...
  • Yesus: Milik Muslim Atau Kristen?
    sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan
    Dialog Antar Iman Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak...
  • Merengkuh Terang
    Allah Pencipta Terang … dan Gelap Sebagai hal yang diciptakan pada hari pertama (Kej. 1:3), terang memiliki peran yang...