Kemuliaan menurut manusia:
Biasanya kita memahami ‘kemuliaan’ itu dalam hubungannya dengan kemewahan, gengsi dan kedudukan. Yang mulia itu adalah ‘yang punya kedudukan dan jabatan’ atau yang punya mobil mewah, perhiasan mewah dan yang dapat menaikkan gengsi kita di mata manusia.
Kebalikan dari ‘mulia’ adalah ‘hina’. Nah… siapa yang mau dihina?? Tidaklah heran begitu banyak orang mengejar ‘kemuliaan’. Dan karena kemuliaan itu dipahami dalam hubungannya dengan jabatan dan kemewahan, maka tidak sedikit orang yang kemudian mengejar harta dan kemewahan, serta berbagai jabatan. Kadang untuk mendapatkan semua itu, segala macam cara pun dihalalkan. Yang menyedihkan, tidak sedikit orang Kristen dan hamba Tuhan yang melihat berbagai jabatan di dalam gereja bukan sebagai wadah untuk melayani, tetapi sebagai salah satu cara untuk menaikkan gengsi dan mendapatkan kemuliaan. Oleh karena itu, jabatan di dalam gereja pun kadang menjadi ajang perebutan dan yang paling menyedihkan adalah ketika segala macam cara dihalalkan. Lalu bagaimana sebenarnya pemahaman mengenai ‘kemuliaan’ menurut Allah?
Kemuliaan menurut Allah:
Menarik sekali, bahwa ketika Yesus lahir, ketika sang Firman itu menjadi manusia, sebuah proses perendahan yang luarbiasa sebagaimana digambarkan Paulus dalam Fil. 2:5-7, sebuah pengosongan diri, justru di situ Yohanes mencatat bahwa ‘kemuliaan Allah’ dinyatakan! (Yoh. 1:14). Selain berhubungan dengan proses perendahan diri dan pengosongan diri, ‘kemuliaan Allah’ itu juga berhubungan dengan kasih karuniaNya dan kebenaranNya.
Allah mau menyatakan kemuliaanNya, yaitu kasih dan kebenaranNya kepada manusia. Untuk itu, Allah rela merendahkan dan mengosongkan diriNya, dan mengambil rupa seorang hamba serta menjadi manusia. Pemahaman Yohanes ini tetap konsisten sepanjang injilnya. Ketika Yesus melayani dan menolong kesulitan pesta kawin di Kana, Yohanes kembali mencatat bahwa Ia menyatakan kemuliaan-Nya. Begitu juga dengan peristiwa pembangkitan Lazarus, diawali oleh pernyataan Yesus bahwa ‘Kemuliaan Allah’ akan dinyatakan (Yoh. 11:4). Tentu kemuliaan Allah tidak berhenti pada dua peristiwa di atas, karena pada hakekatnya, ‘kemuliaan Allah’ itu adalah seluruh hidup Yesus! Mulai dari kelahiran-Nya, pelayanan-Nya, sampai kematian-Nya di kayu salib dan tentu juga kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke surga.
Memperhatikan apa yang disaksikan Yohanes tentang ‘Kemuliaan Allah’, jelas sekali, pemahaman tentang kemuliaan menurut manusia, berbeda jauh dengan pemahaman kemuliaan menurut Allah. Bagi Allah, kemuliaan itu selalu berhubungan dengan kasih dan kebenaran. Dan untuk menyatakan kemuliaan, maka Allah rela merendahkan dan mengosongkan diriNya, agar Ia dapat menjadi sama dengan manusia. Pemahaman tentang ‘kemuliaan’ menurut Allah ini menjadi menarik bila dikaitkan dengan tema kita: “Lihat! Kemuliaan Allah dinyatakan”.
Lihat! Kemuliaan Allah dinyatakan:
Tema Natal tahun ini mengajak kita untuk kembali mengingat bahwa kemuliaan yang sesungguhnya sebagaimana yang Allah telah nyatakan dalam Yesus Kristus, bukanlah jabatan dan kedudukan, juga bukan emas berlian dan segala kemewahan, tetapi kasih yang terbungkus dalam kebenaran. Kasih yang tulus, yang mewujud dalam pelayanan dan perendahan bahkan pengosongan diri!
Melalui pemahaman ini kita diajak untuk:
- Bersyukur kepada Allah. Sungguh luar biasa, Allah yang Maha Kuasa dan Maha tinggi berkenan untuk menyapa kita manusia berdosa bahkan menjadi sama dengan kita dalam rangka mewujudkan kasih-Nya kepada manusia.
- Mewujudkan syukur kita dengan meneruskan ‘kemuliaan Allah’ yang telah kita terima kepada sesama kita yang lain. Natal yang sejati bukanlah pesta-pora dan gemerlapnya kemewahan dunia, melainkan perendahan diri kita kepada sesama, khususnya yang miskin dan papa. Sebuah empati yang mewujud dalam pelayanan kasih yang tulus. Dengan demikian kemuliaan Allah itu bukan hanya bersinar atas kita, tetapi juga bersinar melalui kita.
Nah, bagaimana kita merayakan Natal tahun ini? Ada begitu banyak ‘peristiwa Kana’ di sekitar kita. Mereka yang mebutuhkan kehadiran dan pertolongan kita. Ada begitu banyak kesedihan dan sakit penyakit sebagaimana ‘peristiwa Lazarus’ di sekitar kita. Lalu bagaimana sikap kita sebagai anak-Nya yang seharusnya juga menyatakan kemuliaan-Nya? Semoga kita semakin peka dan peduli terhadap derita sesama, sebagaimana Allah juga peka dan peduli terhadap derita kita.
SELAMAT NATAL!
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.