Markus menyajikan perbandingan antara pandangan manusia yang cenderung memprioritaskan diri sendiri dan sikap Yesus Kristus yang rela menderita demi kepentingan orang banyak. Penderitaan seringkali dihindari oleh manusia, seperti yang ditunjukkan oleh reaksi Petrus yang mencoba menegur Yesus ketika Ia mengumumkan penderitaan yang akan Ia hadapi. Sikap ini mencerminkan naluri manusia untuk mencari kenyamanan dan keamanan bagi dirinya sendiri.
Namun, sikap Yesus sangatlah berbeda. Dia dengan tegas menyatakan kesiapannya untuk menderita dan bahkan mati, kemudian bangkit kembali. Tidak ada upaya untuk menghindari atau menjauhi penderitaan yang akan datang, melainkan Ia menerima dan mempersiapkan diri dengan tulus. Sikap ini menjadi panggilan bagi setiap kita untuk melepaskan egoisme demi melayani sesama dan menghadirkan kehidupan bagi sesama.
Dalam kehidupan sehari-hari, melepaskan diri dari kepentingan pribadi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, seperti memberikan waktu, tenaga, atau sumber daya kita untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Ini juga bisa berarti mengalahkan ego dan kesombongan kita untuk memperbaiki hubungan yang rusak atau mengakui kesalahan kita kepada orang lain. Bahkan, bisa juga berarti mengorbankan kesenangan atau kenyamanan pribadi demi melayani kepentingan yang lebih besar, seperti memperjuangkan keadilan sosial atau hak-hak orang yang tertindas.
Pertanyaannya, apakah kita berani melepaskan sikap egois dan egosentris demi kepentingan orang banyak dan dunia yang lebih besar? Apakah kita siap mengikuti teladan Yesus Kristus yang mengorbankan diri-Nya demi keselamatan banyak orang? (KT)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.