Kremasi adalah praktik penghilangan jasad dengan cara membakarnya dalam suhu yang tinggi, kira-kira 870-1150°C (1.598-2.100°F). Kata kremasi berasal dari kata Latin cremo, yang berarti “membakar.” Hasil proses kremasi berupa fragmen tulang dan partikel (biasanya seberat 4-8 pon/1,8-3,6 kg), kemudian digiling menjadi debu halus dan dimasukkan ke dalam sebuah guci kecil bercorak dan diserahkan kepada keluarga. Keseluruhan proses kremasi biasanya memakan waktu 3 sampai 5 jam. Secara umum kremasi dilakukan di sebuah krematorium, atau tempat-tempat khusus, seperti pasetran bagi ritual Ngaben di Bali, dan lain sebagainya.
Latar Belakang Kremasi
Menurut catatan arkeologi, kremasi telah berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang lalu, dengan ditemukannya Mungo Lady, yakni sisa-sisa jasad yang dikremasi, di Danau Mungo, Australia. Dalam sejarah kekristenan, gereja perdana mempertahankan praktik Yahudi menguburkan jasad dan menolak praktik kremasi yang saat itu menjadi tradisi bangsa Romawi. Dasar pemahamannya adalah bahwa Tuhan menciptakan manusia dari debu dan tanah (Kejadian 2:7; 3:19) menurut gambar dan rupa-Nya (Kejadian 3:19), sehingga gereja perlu menghargai tubuh dengan mengembalikannya ke tanah setelah kematiannya. Selain itu, gereja perdana mengikuti peristiwa kematian Yesus Kristus yang dimakamkan dan bangkit pada hari Paska. Gereja percaya bahwa pada waktu kedatangan Tuhan Yesus kembali ke dunia, orang-orang percaya yang sudah mati akan dibangkitkan.
Setelah agama Kristen disahkan pada abad ke-4, pemerintah Romawi mulai meninggalkan tradisi kremasi dan mengikuti praktik penguburan jasad. Namun pada abad 19 terjadi perkembangan paradigma tentang kremasi, yang diprakarsai oleh kaum rasionalis. Mereka berpendapat bahwa praktik kremasi tidak melanggar Alkitab dan merupakan salah satu solusi praktis-higienis dari persoalan terbatasnya lahan pemakaman. Sejak saat itu, banyak orang Kristen dan orang Katolik memandang dan melakukan kremasi sebagai suatu pengebumian yang dapat diterima, praktis, hemat biaya, dan hemat lahan penguburan.
Menyikapi perkembangan itu, pada tahun 1983 Gereja Katolik tetap mengajak umat melakukan penguburan jasad, tetapi juga tidak melarang kremasi, selama itu tidak bertentangan dengan iman Katolik. Kremasi dipandang bertentangan dengan iman Katolik, apabila:
- a. Umat dipengaruhi oleh pandangan dikotomi Plato (diteruskan oleh bangsa Yunani dan Romawi) yang menganggap tubuh sebagai penjara jiwa yang harus dimusnahkan dengan kremasi setelah seseorang meninggal, sehingga jiwa dapat bebas dan mencapai kesempurnaannya. Gereja Katolik memahami badan dan jiwa/roh sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan berharga di hadapan Tuhan.
- b. Umat dipengaruhi pandangan animisme dan panteisme (kebatinan), yang memahami manusia (micro cosmos) sehakikat dengan alam semesta (macro cosmos). Pembakaran jenazah dan menaburkan abunya ke laut merupakan upaya mengembalikan roh manusia untuk bersatu dan melebur dengan alam semesta. Paham demikian bertentangan dengan iman Katolik, bahwa setiap orang Katolik adalah makhluk ciptaan Tuhan yang perlu mempertanggung jawabkan kehidupannya di hadapan Tuhan.
Pada tahun 1997, Gereja Katolik menganjurkan umat untuk memperlakukan abu jasad dengan menyemayamkannya di sebuah pemakaman atau columbarium (tempat penitipan abu jasad) sebagai wujud penghargaan. Praktik menebarkan abu jasad ke laut/udara/tanah, atau menyimpan abu jasad di rumah, bukanlah wujud penghormatan yang dikehendaki Gereja. Apabila umat ingin mengenang, sebaiknya umat memberi suatu plakat atau nisan yang mencatat nama orang yang meninggal tersebut.
Dalam lingkup gereja-gereja Protestan, ada denominasi/aliran gereja yang mengizinkan kremasi (seperti Gereja Adven Hari Ketujuh, Gereja Anglikan, Gereja Baptis, Christian Science, Katolik, Gereja Methodis, Gereja Moravian, Gereja Mormon, Gereja Presbiterian, dan Saksi Yehuwa), dan ada juga denominasi/aliran gereja yang melarangnya (seperti Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Ortodoks Rusia, Gereja Pentakosta, Gereja Karismatik, Gereja Bala Keselamatan, dan Gereja Lutheran).
Menyikapi Praktik Kremasi Secara Teologis
Dalam kekristenan, umat memahami dan menghargai tubuh dan roh/jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh. Di saat seseorang mati, rohnya akan lepas dari tubuh yang hancur secara alamiah. Namun pemahaman eskatologis Kristen menyatakan bahwa pada waktu Tuhan Yesus datang kembali ke dunia, orang-orang percaya yang telah mati akan dibangkitkan dan memperoleh tubuh dan kehidupan baru yang kekal dan mulia. Pemahaman ini didasari oleh kebangkitan Yesus Kristus secara utuh (tubuh dan roh-Nya). Bukti bahwa Yesus Kristus bangkit dengan roh dan tubuh-Nya adalah ketika Ia menampakkan diri di hadapan para murid dan mempersilakan Thomas menyentuh-Nya. Namun tubuh Yesus Kristus yang bangkit bukanlah tubuh jasmaniah, melainkan tubuh rohaniah. Hal ini sesuai dengan Pengakuan Iman Rasuli, di mana kita percaya akan kebangkitan daging dalam rupa tubuh rohaniah.
Secara konkret tidak ada ayat/teks Alkitab yang menyatakan bahwa kremasi adalah praktik yang dilarang atau tidak. Tuhan tidak pernah memberi perintah tentang cara kita memperlakukan jasad. Yang ada adalah tradisi pemakaman seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel dan juga orang Yahudi. Penguburan orang mati biasa dilakukan di dalam gua, di dalam tanah, atau ditumpuki batu-batu (Kejadian 35:8, 19). Namun ada kalanya bangsa Israel melakukan praktik kremasi pada jasad, misalnya ketika penduduk Yabesh-Gilead membakar jenazah Raja Saul dan anak-anaknya, yang telah dibunuh oleh bangsa Filistin, dan tulang-tulangnya dikuburkan di bawah pohon tamariska di Yabesh (1 Samuel 31:12, 13).
Pada era modern saat ini, banyak orang melaksanakan praktik kremasi sebagai tindakan praktis-higienis dalam penguburan jasad, karena dianggap lebih murah dalam pembiayaan dan lebih ramah pada lingkungan. Sebagai Gereja Presbiterial, GKI menerima pemakaman dan krematorium jasad manusia. GKI mengizinkan praktik kremasi, bukan pertama-tama karena pertimbangan praktis di atas, tapi karena GKI berfokus dan menekankan bahwa orang Kristen semasa hidupnya dapat bertanggung jawab menjalani hidupnya sesuai kehendak Tuhan dan senantiasa memiliki pengharapan kepada Tuhan Yesus Kristus (Yohanes 5:25; 11:25), bukan pada persoalan bagaimana proses akhir jasad manusia (dimakamkan atau dikremasi). Setiap orang Kristen memiliki kebebasan yang bertanggung jawab dalam memahami dan mengambil keputusan untuk melakukan kremasi atau pemakaman bagi jasad orang yang meninggal. Yang terpenting adalah setiap keputusan itu dilandaskan pada penghayatan iman dan ajaran Kristus dan menghadirkan damai sejahtera bagi semua pihak yang bersangkutan.
Sebagai orang Kristen yang menerima praktik kremasi, kita perlu melihat latar belakang orang-orang yang menolak kremasi:
- a. Denominasi gereja atau orang yang menolak praktik kremasi melihat kremasi sebagai hukuman pembakaran orang yang melakukan pelanggaran, misalnya pada peristiwa pembakaran orang yang kedapatan berbuat zinah (Imamat 20:14; 21:9), serta pembakaran Akhan dan keluarganya yang telah mencuri barang-barang yang dikhususkan dalam perbendaharaan Tuhan (Yosua 7:25). Menyikapi hal ini kita perlu tegas menyatakan bahwa praktik kremasi sesungguhnya bukanlah tindakan hukuman pembakaran orang yang masih hidup karena melakukan pelanggaran, tapi merupakan bentuk pengebumian jasad dengan cara dibakar hingga terurai.
- b. Denominasi gereja atau orang yang menolak kremasi melihat kremasi sebagai penyiksaan roh orang mati karena roh itu belum meninggalkan tubuhnya. Kita perlu kritis menyatakan bahwa kematian adalah terpisahnya tubuh dengan rohnya, sehingga roh tidak lagi merasakan penderitaan saat jasadnya dikremasi.
- c. Denominasi gereja atau orang yang menolak kremasi melihat kremasi sebagai penghalang Tuhan membangkitkan tubuh yang hancur di akhir zaman. Secara kritis kita harus berpegang pada pemahaman bahwa ketika kita dibangkitkan Kristus, kita akan mengenakan tubuh baru yang rohaniah, bagaimanapun jasad kita terurai (dikubur/dikremasi).
Mengapa Tuhan tidak mempersoalkan cara memperlakukan jenazah dalam Alkitab? Karena Tuhan menghendaki agar kita selalu bersyukur atas anugerah kehidupan dan keselamatan dari Yesus Kristus, dan sekaligus memanggil serta memperlengkapi kita untuk selalu mengerjakan karunia keselamatan itu dengan karya-karya yang baik dan benar seturut kehendak-Nya. Panggilan hidup ini serupa dengan hikmat dalam Pengkhotbah 9:10: “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.”
Kiranya penjelasan singkat tentang praktik kremasi ini dapat membantu kita senantiasa mensyukuri kehidupan ini dan melaksanakan tugas panggilan hidup kita dalam penghayatan iman dan penyertaan Roh Kudus.
Albert Pandiangan
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.