Fokus kita pada khotbah perenungan ini diambil dari 1 Timotius 2:1-7: Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, 2 untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenangdan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. 3 Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juru Selamat kita, 4 yang menghendakisupaya semua orangdiselamatkandan memperoleh pengetahuanakan kebenaran. 5 Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantaraantara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, 6 yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusanbagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan. 7 Untuk kesaksian itulah aku telah ditetapkan sebagai pemberita dan rasul—yang kukatakan ini benar, aku tidak berdusta —dan sebagai pengajarorang-orang bukan Yahudi, dalam iman dan kebenaran.
Salah satu kesulitan utama ketika kita membaca Alkitab ini adalah bagaimana membuat Firman Allah ini hidup dan aplikatif, relevan bagi kehidupan kita sekarang ini, di tempat ini. Mengapa hal ini menjadi persoalan? Sebab Alkitab ini ditulis beribu-ribu tahun silam. Ada jurang yang sangat lebar antara penulis dan pembaca asli kitab-kitab ini dengan kita sekarang ini. Jurang bahasa, jurang kultur yang begitu lebar, yang membuat kita sering kali tidak paham apa maksud ayat ini atau ayat itu.
Apalagi kita harus paham bahwa kitab-kitab ini ditulis para penulisnya dengan bantuan Roh Kudus, bukan untuk Anda secara langsung, tapi untuk Timotius. Untuk jemaat di Korintus, bukan jemaat di GKIPI. Jadi terlalu lebar jurangnya, sementara kita sungguh meyakini bahwa ini adalah Firman Tuhan dan harusnya relevan bagi kita sekarang ini.
Lalu, bagaimana caranya? Salah satu cara yang paling sederhana adalah menemukan apa yang umum dan apa yang khusus di dalam bacaan-bacaan kita. Ada pesan-pesan yang umum dan berlaku di semua tempat dan waktu. Namun juga ada pesan-pesan, teks-teks yang khusus, yang Paulus tulis untuk Timotius saja, yang Yesus katakan khusus untuk satu orang saja. Nah, itu langkah awal untuk membedakan yang umum dan yang khusus demi memahami apa yang bisa relevan untuk kita.
Namun dengan dua catatan. Yang pertama, apa yang khusus itu mungkin memang tidak cocok dengan kita, tapi bukan tidak berguna, sebab kita tetap bisa belajar sebagai contoh. Ada hal-hal yang memang khusus Paulus sampaikan kepada Timotius misalnya, tapi itu tidak berlaku langsung bagi kita, meski tetap punya hal-hal yang berguna buat kita. Namun jangan apa yang khusus untuk Timotius itu kita berlakukan secara langsung untuk konteks kita. Misalnya, kalau Anda membaca apa yang sudah kita baca, 1 Timotius 2:1-7. Sesudah itu, ayatnya yang ke-8 mengagetkan sekali.
Secara sangat khusus, dalam ayat yang ke-8 dan seterusnya itu, Paulus berbicara dan memberi nasihat kepada Timotius— sebagai pendeta muda di jemaatnya— tentang bagaimana perempuan dan laki-laki harus bersikap, dan isinya sangat mengganjal hati.
Dikatakan di sana bahwa perempuan tidak boleh berdandan dengan mewah, rambutnya tidak boleh berkepang-kepang, tidak boleh pakai emas sebagai perhiasan, tidak boleh mengenakan pakaian yang mahal-mahal. Jadi Prada, Hermès, Channel, dsb. jangan dipakai. Malah perempuan tidak boleh berbicara di depan umum. Jadi kalau ada yang namanya Pdt. Riani, Pdt. Vera, itu melanggar Firman Tuhan! Ada penatua perempuan yang bicara di depan umum, itu tidak boleh. Mengurus konsumsi rapat saja! Itu ide khusus. Nah, pertanyaan kita, apakah langsung bisa kita terapkan sekarang?
Oh, nanti dulu! Namun apakah kemudian tidak berguna? Berguna! Kita bisa belajar, kenapa Paulus bicara begitu keras tentang perempuan. Kita harus paham konteksnya. Ternyata konteksnya sangat spesifik, yaitu Timotius melayani sebuah jemaat kecil di tengah kota yang belum percaya kepada Kristus, yang kulturnya sangat metropolitan pada masa itu, dan yang punya satu kategori perempuan yang berbicara di depan umum, dengan suara keras, rambutnya berkepangkepang dengan perhiasan emas, yaitu pekerja seks, pelacur.
Paulus takut kalau dalam komunitas kecil yang namanya gereja itu, perempuan-perempuannya, walaupun sudah dimerdekakan oleh Kristus, kemudian berperilaku seperti—dalam kultur waktu itu—pekerja seks. Nanti orang datang, masuk menjadi Kristen, dan melihat, oh ternyata di sini isinya kayak begitu semua. Nah ini kan tidak bisa diterapkan begitu saja, sehingga salah kalau ada gereja sampai detik ini—atas dasar nasihat Paulus yang khusus ini—melarang perempuan menjadi pendeta. Kita tahu dengan sangat baik bahwa pada saat ini, kalau ada perempuan yang berkepang, pakai emas, tidak ada satu pun yang berkata, “Hai, itu pekerja seks!”
Namun catatan yang kedua juga sama pentingnya, yaitu kalau kita berfokus pada yang umum, yang melampaui kultur itu, yang bisa berlaku di mana-mana, itu pun harus ditafsirkan dengan prinsip-prinsip yang bertanggung jawab, secara rasional, dengan kepatuhan pada kehendak Allah. Jadi walaupun umum—Kasihilah Tuhan Allahmu; Jangan engkau khawatir— itu pun masih harus ditafsirkan.
Ada contoh misalnya ketika Yesus, di Injil Markus bagian terakhir berkata, “Kabarkanlah Injil,” dan Dia berkata, “Inilah tanda-tandanya bagi semua orang percaya yang memberitakan Injil. Mereka akan diberi kuasa. Mereka akan memegang ular, dipagut dan tidak mati.” Dikatakan di sini, “Untuk setiap orang percaya,” termasuk Anda dan saya. Namun apakah itu kemudian berarti, “Oh, kalau begitu kita ambil ular, dipagut, dan kita tidak akan mati.” Dan itu terjadi pada Gregory James Coots dari Kentucky, USA. Ia pendeta sebuah jemaat, dan atas dasar ayat itu, menafsirkannya secara harfiah. Karena itu setiap kali mereka beribadah Minggu, mereka mengambil ular rattle snake untuk membuktikan kebenaran ayat umum itu. Ini namanya snake handling church, gereja yang memegang ular. Dan Anda tahu apa akibatnya? Mati! Tewas! Maka kalau GKI mau menerapkan hal ini, menjadi snake handling church, saya yang pertama akan keluar. Lebih baik cari kerja ojek online atau warung!
Nah, bacaan kita pada pagi ini, 2 Timotius pasal 1 ini, juga memberi contoh yang menarik, terdapat kombinasi antara yang spesifik dan yang umum. Mari kita lihat.
Apa yang spesifik itu? Ayat 1 dan 2 khusus untuk konteks Timotius pada saat itu. Apa nasihat Paulus? Naikkanlah permohonan doa syafaat, ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan pembesar-pembesar pada saat itu, dalam situasi gereja kecil di tengah komunitas yang sangat tidak percaya. Doakanlah raja-raja, doakanlah pembesar. Nah, mungkin Timotius akan protes, mungkin Anda dan saya akan protes, bagaimana kita harus mendoakan para pembesar, para pejabat yang korup, yang kejam, yang tidak seiman dengan kita? Bagaimana mungkin kita bisa berdoa untuk pejabat yang mungkin malah menekan umat Kristen, menutup gereja?
Paulus memberi nasihat yang khusus pada saat itu. Karena itu Paulus kemudian memberi dasar yang lebih umum. Dan dasar yang lebih umum itu ada pada ayat 3-6. Kenapa sih kita harus mendoakan pejabat dan raja yang mungkin korup, mungkin kejam, mungkin menindas orang Kristen? Karena prinsipnya di ayat 3-6, 3 Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juru Selamat kita, 4 yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. 5 Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, 6 yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.
Jadi kenapa harus mendoakan orang-orang yang mungkin menekan kita? Karena Allah ingin semua diselamatkan. Pegang prinsip itu, karena berlaku di mana-mana. Dan Allah yang kita percayai itu adalah Allah yang punya hasrat menyelamatkan semua, tanpa kita harus menerjemahkan: untuk konteksmu ya doakanlah raja itu, untuk konteks kita sekarang, mungkin lain. Pegang prinsip umum ini.
Namun ketahuilah bahwa prinsip fundamental ini: Allah ingin semua selamat, dan bahwa kita punya Juru Selamat satu satunya yakni Kristus itu, juga ternyata tidak sederhana. Harus ditafsirkan dengan bertanggung jawab. Mengapa tidak sederhana? Sebab di dalamnya ada ketegangan. Coba Anda baca baik baik. Sepertinya tidak klop, karena ada dua prinsip yang kayaknya tumpang tindih.
Prinsip yang pertama—kalau Anda lihat ayat ke-3 dan ke-4— sepertinya Allah itu universal. Dikatakan di sini, “Allah mau supaya semua orang diselamatkan.” Semua! Universal! Tidak peduli agamanya apa, tidak peduli apakah dia percaya Yesus atau tidak, Allah ingin semuanya selamat. Ini prinsip universal.
Namun tiba-tiba, pada ayatnya yang ke-5 dan ke-6, menciut menjadi partikular, menjadi sangat spesifik. Hanya satu Juru Selamat kita, pengantara kita, yaitu manusia Yesus Kristus. Apa artinya? Tidak ada Juru Selamat lain, tidak ada pengantara lain. Lo, ini bagaimana? Di satu pihak, Allah itu universal, semua ingin diselamatkan, dan di lain pihak hanya satu, melalui Yesus Kristus. Bagaimana ini, kok sepertinya ada ketegangan. Mana yang harus kita pilih?
Nah, sebenarnya sikap kita terhadap orang yang beriman lain, sangat ditentukan dari bagaimana kita menyikapi ketegangan ini. Dan hari ini saya ingin mengatakan kepada Anda sekalian bahwa kita tidak perlu memilih yang mana yang universal atau yang partikular. Allah ingin semua selamat, atau hanya melalui Yesus. Sebab dua-duanya benar. Dua-duanya, walaupun tidak mudah diperdamaikan, harus diterima bersama-sama. Dipegang bersama-sama. Hiduplah di dalam ketegangan itu, sebab jauh lebih mudah untuk menerima salah satu, dan mengabaikan yang lain.
Ada orang-orang yang terlalu universalis, terlalu menekankan bahwa Allah ingin semuanya selamat maka kita harus terbuka pada agama-agama lain dst., tapi mengabaikan prinsip lain bahwa hanya melalui Yesus itulah kita memperoleh keselamatan. Namun ada juga orang Kristen yang sebaliknya. Mengutuk lainnya. Pokoknya Yesus. Orang yang tidak percaya Yesus, masuk neraka. Orang yang tidak jadi Kristen, tidak selamat. Namun ia mengabaikan bahwa ada sebuah hasrat universal yang Allah tunjukkan, “Aku ingin semua diselamatkan.” Dan kita sering kali berada pada salah satu kutub ini. Menjadi terlalu universalis atau terlalu partikular.
Lalu bagaimana solusinya? Saya mau katakan bahwa tidak ada solusi. Solusinya adalah memegang kedua-duanya. Tidak perlu diselesaikan. Hiduplah dalam ketegangan itu. Dan itulah cara hidup, cara pandang gereja pada umumnya di seluruh dunia.
Anda tahu bahwa GKI adalah anggota dari Dewan Gereja Dunia, World Council of Churches, dan dalam sebuah konferensi misi penginjilan dunia di San Antonio tahun 1989, mereka menyadari ketegangan ini, universalis dan partikular ini, dan kemudian mereka membuat suatu sikap. Dan itulah kira-kira sikap GKI dan sikap banyak gereja lain.
Sikapnya tiga. Satu: Kita tidak bisa menunjuk jalan keselamatan selain Yesus Kristus. Anda aminkan? Dua puluh lima tahun saya menjadi pendeta, tidak ada nama lain yang saya beritakan selain Yesus Kristus. Ini partikular atau universal? Partikular, tapi jangan cuma itu, karena kalau cuma itu akan menjadi partikularis yang terlalu eksklusif. Ada prinsip yang kedua. Pada saat bersamaan, kita tidak bisa membatasi kuasa penyelamatan Allah kita. Kita bukan Allah. Kita tidak bisa membatasi, “Oh, kalau begitu kamu tidak selamat.” Tidak bisa! Kuasa penyelamatan Allah itu melampaui kita, bukan hak kita. Apa artinya? Ini lebih partikular atau universal? Universal. Lo, lalu bagaimana? Ya, yang ketiga ini. Kami menghargai ketegangan ini, mengakui ketegangan ini, dan tidak berusaha menyelesaikannya. Susah toh? Ketegangan, tapi ya sudah, biarkan saja, karena kalau kedua-duanya dipegang, malah jadi benar. Kalau Anda cuma pegang salah satu, jadi salah.
Nah, itu implikasinya besar dalam sikap kita ketika kita bertemu dengan orang-orang yang berbeda iman dengan kita. Jadi kalau ada oknum pendeta GKI yang terlalu universalis, terlalu bicara tentang Allah yang ingin semua orang selamat, lalu baik-baik dengan semua orang yang beriman lain tapi kemudian mengabaikan Kristus, maka ramai-ramai pendeta akan berkata, “Hai, jangan lupa engkau beritakan Kristus!” Begitu pun sebaliknya kalau ada oknum GKI yang terlalu partikularis: “Pokoknya Yesus,” yang lainnya disalah-salahkan, dihakimi, maka ramai-ramai pendeta yang lain akan berkata, “Hai, jangan begitu, karena Allah ingin semua selamat. Universal!” Ketegangan itu yang terjadi. Maka panggilan kita adalah untuk menjaga ketegangan itu. Untuk menghidupi ketegangan itu.
Sebab implikasinya adalah, ketika kita punya pemahaman yang universal, maka kita jadi terbuka pada mereka yang berbeda iman, pada Pak Haji, pada biksu itu, pada orang yang tidak seiman dengan kita. Terbuka! Sebaliknya kalau kita menekankan yang partikular, kita jadi committed pada iman kita, punya komitmen tegas. Nah, dua-duanya juga dijaga, jadi terbuka yang penuh komitmen, dan komitmen yang terbuka.
Dan implikasi selanjutnya, yang kedua adalah, melalui apa menerjemahkan keterbukaan itu? Melalui dialog. Bersahabatlah sebanyak mungkin dengan orang yang berbeda dengan Anda. Teman-teman saya yang beragama lain, yang Islam, yang Buddhis, yang Kong Hu Cu, banyak sekali, dan kami sangat bersahabat. Dialog. Namun komitmen pada Kristus itu membuat kita punya tugas lain, bukan hanya dialog, melainkan juga penginjilan. “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan kabar baik itu,” kata Paulus.
Bagaimana caranya mendamaikan kedua-duanya? Dengan menerima kedua-duanya: dialog dan misi. Dialog yang misional, dan misi yang dialogis. Dua-duanya. Gereja yang hidup dalam ketegangan ini— menurut hemat saya—adalah gereja yang sehat. Orang Kristen yang rela hidup dalam ketegangan ini adalah orang Kristen yang sehat secara spiritual.
Gereja yang terlalu terbuka hanya untuk berdialog, untuk diterima oleh dunia ini tanpa memberitakan Yesus, yang menyembunyikan Yesus di belakang, adalah gereja yang mengkhianati imannya. Gereja yang memberitakan Injil dengan penuh kekuatan, orang-orang Kristen yang selalu memberitakan Kristus tanpa sikap bersahabat, akan menjadi orang-orang Kristen yang arogan. Hidupilah kedua-duanya. Ini seperti menempatkan kita pada seutas tali, dan kita hanya punya kayu penyeimbang. Di sebelah kiri kita menjadi universalis, dan di sebelah kanan kita menjadi partikularis. Dan hanya ada satu cara untuk bisa bertahan di atas. Apa itu?
Berjalan dalam keseimbangan, kadang ke sana, kadang ke sini. Kadang saat gereja kita menjadi agak universalis, diimbangkan. Begitu juga kalau terlalu eksklusif. Terus begitu, sampai kita tiba di tujuan. Jangan pernah menyembunyikan Kristus demi persahabatanmu dengan dunia, tapi jangan juga mengerdilkan Kristus dengan mengasingkan dirimu dari dunia. Berjalanlah dalam ketegangan itu. Tuhan memberkati kita.•
»Pdt. Dr. Joas Adiprasetya
Khotbah Minggu 22 September 2019 di GKI PI – Transkrip oleh: ib
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.