Margaret Anderson, seorang penulis dan editor ternama dari Amerika pernah berujar: “Kasih sejati menginginkan yang terbaik bagi orang yang dikasihi, sedangkan kasih romantik menghendaki diri orang yang dikasihi (In real love you want the other person’s good. In romantic love you want the other person).”
Selain mengingatkan kita bahwa apa yang kerap kita agung-agungkan sebagai kasih–terutama dalam cinta romantik–belum tentu adalah cinta yang sejati, Anderson menunjuk pada hakikat dari kasih yang sejati. Kasih sejati adalah kasih yang sama sekali tidak memikirkan apalagi mementingkan diri, tetapi semata-mata tertuju kepada, bahkan demi yang dikasihi. Kasih sejati mendambakan, mengupayakan, dan berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi yang dikasihi.
Dalam bahasa Alkitab, kasih seperti itu adalah agape, kasih tanpa pamrih, tanpa syarat. Kasih yang bukan sekadar perintah, tetapi anugerah. Memang konotasi kasih dalam iman dan etika kristiani sifatnya imperatif, namun jangan dilupakan dasar dan motivasinya, yaitu kasih Tuhan dalam Kristus. Tanpa itu, kasih kita hanyalah wacana atau kalaupun tetap dapat kita ejawantahkan, niscaya dangkal.
Akan tetapi dalam kenyataan, kasih sejati seperti itu kurang terdengar gaungnya dalam kehidupan, di mana banyak orang Kristen, termasuk kita, berbagi hidup dengan orang lain. Bahkan dalam kumpulan orang Kristen, termasuk jemaat dan gereja, kasih sejati tidak selalu mendapat tempat yang utama. Ternyata ada kesenjangan yang tak bisa diabaikan, antara “tahu” dengan “melakukan,” antara “yang diimani” dengan “yang dihayati/dihidupi.” Dan ternyata pula bahwa letak persoalannya bukan cuma pada pemahaman atas apa kasih yang sejati itu, tetapi bagaimana menerapkannya dalam sikap dan tindakan terhadap orang lain. Inilah persoalan banyak orang Kristen, yang mungkin juga merupakan persoalan kita. Setidaknya inilah persoalan seorang ahli Taurat dalam Lukas 10:25. Seperti hampir semua orang, sang ahli Taurat ingin menikmati hidup sejati atau hidup kekal. Sekali tepuk dua lalat, ia menanyakan hal itu kepada Yesus da sekaligus mencobai-Nya, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
Alih-alih menyalahkannya dengan mengatakan bahwa sebagai ahli Taurat ia seharusnya tahu, Yesus dengan arif, –seperti seorang ayah yang sabar terhadap anaknya yang ndableg (tidak mau mendengar)–menjawab, “Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci” (Luk. 10:26-28). Bila sang ahli Taurat menerima jawaban Yesus itu, maka narasi Lukas berhenti di sini.
Namun ternyata sang ahli Taurat kemudian mengajukan sebuah pertanyaan lagi, yang menurut Lukas adalah demi membenarkan dirinya. Jadi rupanya sang ahli Taurat merasa sudah melakukan perintah mengasihi dalam Kitab Suci itu, namun menerapkan semacam filter guna menentukan siapa di antara sesamanya yang patut dikasihinya. Dengan naifnya ia bertanya kepada Yesus, “Siapakah sesamaku manusia?”
Barangkali bila kita berdiri di tempat sang ahli Taurat, kita tidak akan sepolos dan sebodoh itu menunjukkan warna kita. Namun bagaimanapun juga, warna itu takkan berubah betapapun dan apapun cara kita menutupinya. Kita pun kerap–walau dalam hati dan tidak berterus terang–menerapkan filter yang sama dalam berbagai perjumpaan kita dengan sesama. Filter hubungan darah, kaum, suku, agama, kelompok, minat dan banyak lagi, yang kita berlakukan secara acak menurut kata hati kita sendiri dan sesuai dengan kebutuhan kita. Akibatnya dengan sangat gamblang kita mengelompok-kelompokkan, yang sebenarnya berarti membeda-bedakan, sesama kita.
Dengan menanyakannya kepada Yesus, sang ahli Taurat yang mewakili keyakinan keyahudian yang selalu mendahulukan umat Israel–umat pilihan, umat Allah–hendak minta penegasan bahwa keyakinannya benar. Kita pun demikian. Kita sangat suka misalnya pada ayat-ayat yang seperti ini: “…marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10). Ayat-ayat yang seolah membenarkan eksklusivitas atau kasih yang eksklusif.
Yesus menghargai kedewasaan dan kematangan sang ahli Taurat. Ia mempersilakan sang ahli Taurat menentukan sendiri siapa sesamanya manusia melalui sebuah perumpamaan, yang biasa kita kenal sebagai perumpamaan “orang Samaria yang baik hati” (Luk. 10:30-37). Perumpamaan yang tetap akan relevan, juga bagi kita saat ini, apalagi mengingat kesamaan kita dengan sang ahli Taurat.
Dalam perumpamaan itu Yesus menunjukkan sebuah situasi di mana pertanyaan “siapakah sesamaku” mesti dijawab untuk menentukan sikap atau tindakan yang harus diambil. Sebuah situasi hipotetis, namun yang bisa menjadi kenyataan, dari seorang Yahudi yang dibegal dan dianiaya, lalu ditinggalkan di tepi jalan, bangkrut, luka parah. Jawaban yang ditunjukkan Yesus melalui perumpamaan ini dan yang Yesus harapkan akan diberikan oleh sang ahli Taurat, amatlah jelas. Sesama kita manusia adalah siapapun juga, tanpa syarat dan tanpa filter apapun.
Tetapi dalam perumpamaan itu terdapat orang-orang yang mestinya “tahu” bahwa mereka harus menolong si korban perampokan, tetapi memilih untuk tidak “melakukannya.” Mereka adalah berturut-turut seorang imam dan seorang Lewi. Dengan dalih (baca: rasionalisasi) masing-masing, dan dengan filter masing-masing, mereka memilih untuk “melewati si korban dari seberang jalan.” Kedua orang itu mewakili banyak orang, termasuk kita, yang memberlakukan berbagai pembedaan dalam perjumpaan dengan sesama.
Lalu terjadilah sebuah kontras yang luar biasa dengan lewatnya seorang Samaria, yang dengan penuh dedikasi berhenti menolong si korban yang adalah orang Yahudi. Bukan hanya menolong setengah-setengah, melainkan merawat luka-lukanya, menaikkannya ke atas tunggangannya dan menitipkannya pada pengurus losmen serta membayar semua ongkos yang dikeluarkan untuk itu. Ia melakukannya dengan merisikokan keselamatannya sendiri, dan dengan tidak mengindahkan “permusuhan” di antara orang Yahudi dan orang Samaria.
Yang kemudian menentukan dalam perumpamaan ini adalah pertanyaan Yesus kepada si ahli Taurat. Pertanyaan yang menempatkan si ahli Taurat untuk menjawab pertanyaannya sendiri tentang siapa sesamanya. Cermatilah pertanyaan Yesus itu, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36). Dengan kata lain, “siapakah di antara ketiga orang itu, dalam ‘sudut pandang’ si korban, yang telah memperlakukan dirinya sebagai sesama?”
Barangkali di sinilah masalahnya, yaitu “sudut pandang.” Dalam “sudut pandang” berturut-turut si imam dan orang Lewi, si korban hanyalah sebuah risiko yang tidak perlu dihadapi, bukan seorang manusia, sesama. Bahkan dalam “sudut pandang” si orang Samaria sama saja, malahan masih ditambah dengan kenyataan bahwa si korban adalah orang Yahudi, musuh orang Samaria.
Akan tetapi dalam “sudut pandang” si korban, orang yang adalah sesamanya dan yang memperlakukannya sebagai sesama adalah siapapun yang memperhatikan dan menolongnya. Itulah yang telah dilakukan si orang Samaria. Ia bersedia, bukan hanya melihat dari “sudut pandangnya” sendiri, tetapi ia berhasil melihat melalui “sudut pandang” si korban. Sehingga apapun yang terjadi, dan apapun yang dilihatnya dalam “sudut pandang” sendiri, ia melihat si korban sebagai sesama yang harus ditolongnya.
Pertanyaan Yesus mengundang si ahli Taurat dan kita semua untuk menentukan sikap tentang “siapakah sesama kita.” Si ahli Taurat tidak bisa tidak harus mengakui bahwa dalam “sudut pandang” si korban, memang si orang Samarialah yang telah menunjukkan diri sebagai sesamanya. Simaklah bahwa ia “masih” enggan untuk menyebutkan nama “Samaria.” Ia menyebut si orang Samaria dengan sebutan “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (Luk. 10:37). Tetapi barangkali justru tepat, karena ketika kita bicara tentang sesama, mestinya kita tidak lagi bicara tentang orang Cina, Jawa, Batak, Ambon, Manado, Kristen, Hindu, Islam, Buddha, kaya, miskin, bodoh, pintar, dan seterusnya.
Maka pertanyaan mendasarnya bagi kita adalah apakah kita juga seperti si ahli Taurat, bersedia mengakui bahwa hanya dengan melihat dari “sudut pandang” orang lain, kita akan dapat memperlakukan orang lain itu sungguh-sungguh sebagai sesama kita manusia. Hanya dengan cara itu, seraya menanggalkan berbagai pembedaan dan filter yang selama ini kita berlakukan, kita akan dapat mempraktikkan kasih yang inklusif, kasih sejati.
Kalau kita sekarang sungguh-sungguh memahaminya, maka pesan Yesus pada si Ahli Taurat pun mesti kita pegangi: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (Luk. 10:37)
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
1 Comment
sesil
Juli 31, 2011 - 11:47 pmkasih yang sejati akan mulai tumbuh jika kita memulainya dari hati kita dan diri kita…. berdamai dengan diri sendiri dulu.. baru berdamai dengan Tuhan dalam segala hal termasuk dalam waktu kita…. jika hal ini udah maka ini akan membawa dampak dalam perilaku kita ke lingkungan yang secara tidak langsung akan membentuk komunikasi kita dengan orang lain…. GBU