Relasi persahabatan dimulai ketika seorang membuka diri terhadap yang lain. Jika hal itu direspon dengan baik, persahabatan dapat benar-benar mulai terjalin. Tapi jika tidak, mungkin kisahnya tidak jauh berbeda dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan, di mana kekecewaan dan kesedihanlah yang akan muncul. Ada yang pernah mengalaminya?
Kisah berelasi Allah dan Musa dimulai dari sana. Allah membuka diri terhadap Musa sejak penampakannya dalam semak menyala, yang hal itu direspon dengan baik oleh Musa yang memutuskan berangkat kembali menuju Mesir. Respon itu dilanjutkan dengan Musa yang terus menjalin kedekatan dengan Allah. Maka terbangunlah relasi yang begitu karib hingga Allah sendiri berbicara kepada Musa “berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya”, sebuah penggambaran tentang betapa dekat dan terbukanya Allah dalam berelasi dengan Musa.
Kekariban relasi itu juga yang pada akhirnya membuat Musa mampu memimpin bangsa Israel dan menjadi mediator Allah bagi bangsanya. Selayaknya hidup bersahabat yang bisa saling mengisi dan menguatkan dalam menghadapi kenyataan yang ada, Musa dikuatkan oleh Allah, Sang Sahabat Sejati.
Tidak hanya kepada bangsa Israel dan Musa, Allah juga terus membuka diri bagi kita sekarang ini. Lewat kehadiran PutraNya Yang Tunggal, lewat Roh Kudus yang terus menyertai, Ia memberi diri untuk dapat bersahabat dengan kita. Lantas mau seperti apa kita meresponnya? Apakah kita akan memperlakukan Dia hanya seperti seorang kenalan biasa, yang kita datangi ketika ada keperluan atau bahkan hanya bertegur sapa sebagai formalitas belaka? Ataukah kita mau melihat indahnya berelasi karib dengan Allah dan menyambut baik keterbukaan Allah itu dengan menjalin relasi yang lebih dalam lagi?
KTM
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.