Setiap orang memiliki ketakutannya masing-masing. Para psikolog mendeteksi beragam ketakutan yang bahkan daftarnya mencapai lebih dari 500 jenis ketakutan (phobia). Mulai dari ketakutan yang jamak dijumpai sampai dengan langka; mulai dari yang masuk akal hingga yang terasa aneh. Bayangkan, jika seorang suami dan istrinya memiliki phobia yang kebetulan saling merugikan. Si suami memiliki phalacrophobia (ketakutan menjadi botak) dan si istri memiliki peladophobia (ketakutan pada orang yang botak). Atau, seorang calon pendeta yang memiliki calon pasangan hidup yang memiliki hierophobia (ketakutan pada pendeta). Aneh dan konyol bukan?
Namun, terlepas dari semua phobia yang individual sifatnya, ada ketakutan yang lebih umum sifatnya, yang muncul dari kesadaran akan keterbatasan manusia. Contohnya: kematian! Para psikolog menamainya thanatophobia. Kisah Injil minggu ini berbicara tentang ketakutan kolektif yang dialami oleh para murid, yang saat itu tengah berada di dalam perahu bersama dengan Yesus yang tidur. Ombak ganas mengamuk dan sebagai orang-orang yang akrab dengan perairan—sebab banyak di antara para murid yang berprofesi sebagai nelayan—mereka tahu persis bahwa kematian tengah mengancam. Mereka mengajukan protes pada Yesus yang tertidur dan berteriak, “”Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (ay. 38).
Lalu Yesus pun bangun. Ia mengenali ketakutan para murid itu, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (ay. 40). Sangat menarik respons Yesus. Ia tidak sekadar melihat ketakutan pada kematian itu sebagai persoalan psikis (Mengapa kamu begitu takut?). Yesus mendeteksi adanya persoalan spiritual (Mengapa kamu tidak percaya?). Di hadapan batas hidup-mati, kita dipaksa untuk mengakui bahwa kita bukan hanya memiliki masalah psikis namun juga spiritual.
Pada hari Minggu ini, GKI Pondok Indah merayakan ulang tahunnya sebagai sebuah jemaat yang dewasa. Hari ini, kita diundang untuk secara pribadi menghadapi ketakutan kita secara pribadi, namun juga mengakui ketakutan kolektif kita—apa pun itu. Tampaknya kita dipaksa pula untuk mengakui bahwa ketakutan kita lebih merupakan persoalan spiritual, yaitu seberapa jauh kita memercayai Allah di dalam Kristus melalui kuasa Roh Kudus yang melampaui semua penyebab ketakutan kolektif kita. Hanya dengan jalan itu, kita dapat belajar kembali menjadi sebuah komunitas iman dan pewarta kehidupan. Selamat ulang tahun!
ja
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.