Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. (Yak. 3:16)
Ketika isu radikalisme dan terorisme berkembang di bumi pertiwi, sebagian orang merespons dengan keras, “Pendidikan diperlukan untuk menjawab isu ini!” Saya bergumul, “Apakah benar pendidikan adalah jawaban atas isu ini? Bukankah pendidikan begitu masif di Indonesia? Bukankah para teroris adalah juga orang-orang berpendidikan?” Saya kira ada jawaban yang lebih baik dari sekadar pendidikan akademis atau pintar secara akademis, yakni memiliki hikmat. Ada perbedaan besar antara pintar dan berhikmat; perbedaannya terlihat nyata di dalam tindakan.
Apakah Anda pernah mendengar seseorang yang mengklaim dirinya bijak, namun bertindak konyol? Seseorang bijak atau berhikmat dapat dilihat melalui tindakannya. Sebagaimana kita bisa menilai pohon dari buahnya, demikian pula kita dapat menilai seseorang dari perilakunya. Kekonyolan atau kebodohan akan mengakibatkan ketidakteraturan, tetapi hikmat sejati memimpin kita pada kedamaian dan kebaikan. Apakah Anda berusaha untuk meneduhkan konflik atau meningkatkan konflik? Apakah Anda mengabaikan gosip atau menggosok gosip? Apakah Anda memadamkan api atau membuatnya makin membara? Perkataan yang baik dan bijak adalah benih kedamaian. Allah sangat menyukai pembawa damai (Mat. 5:9).
Mari kita mengevaluasi diri kita. Apakah kita memiliki hikmat dari Tuhan atau hikmat dari dunia? Hikmat yang sejati hanya berasal dari Tuhan dan membuahkan perdamaian. [Pdt. Indra Kurniadi Tjandra]
DOA: Tuhan berikanlah aku hikmat yang dari pada-Mu saja asalnya.
Ayat Pendukung: Mzm. 112:1-9; Yes. 29:1-12; Yak. 3:13-18
Bahan: Wasiat, renungan keluarga
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.