“Janganlah engkau berkata dalam hatimu, apabila TUHAN, Allahmu, telah mengusir mereka dari hadapanmu: Karena jasa-jasakulah TUHAN membawa aku masuk menduduki negeri ini ….” (Ul. 9:4)
Seorang anak kecil berjalan ke tengah panggung, tempat seorang pianis terkenal akan melakukan resital. Anak kecil itu akan bermain biola, sebagai pembuka di resital tersebut. Sementara ia berjalan, tiba-tiba, penonton berdiri dan bertepuk tangan dengan meriah. Si anak kecil merasa sangat senang. Senyum bangga terukir di wajahnya. Ia berdiri gagah di tengah panggung dengan senyum terkembang. Kemudian, ia menoleh. Ternyata, sang pianis berdiri di belakangnya.
Kesombongan adalah bahaya yang selalu mengintai setiap saat. Musa mengingatkan bahaya ini kepada umat Israel, yang kelak akan memasuki tanah terjanji. Jangan sampai ada seorang pun yang merasa hal itu terwujud karena kekuatan mereka. Bukan. TUHAN-lah yang mengerjakan segala sesuatu dan membuat hal itu mungkin terjadi. Mengapa Musa perlu menegaskan hal ini? Karena jika orang Israel jatuh ke dalam kesombongan, maka mereka akan hidup menurut segala keinginan mereka sendiri. Kesombongan itu akan berbuah penolakan untuk menyembah kepada Allah yang sejati.
Di dalam perjalanan kehidupan kita, ada berbagai keberhasilan yang bisa membuat kita merasa bangga dan menepuk dada. Rasa bangga adalah wajar, tetapi harus disertai dengan kesadaran diri. Jika bukan karena perkenan Tuhan, maka sia-sialah manusia bekerja keras mengupayakan sesuatu. Kesadaran diri akan berujung pada penyembahan kepada Sang Ilahi. [Pdt. Wahyu Pramudya]
DOA:
Tuhan, ajarlah kami bukan hanya menepuk diri dan bangga akan segala keberhasilan, melainkan ajarlah kami untuk sadar diri senantiasa. Amin.
Ayat Pendukung: Mzm. 99; Ul. 9:1-5; Kis. 3:11-16
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.