Persembahan pada hakikatnya adalah sesuatu yang diberikan secara sukarela, sebagai ungkapan rasa syukur atas kebaikan yang diterima atau dirasakan.
Dalam bahasa Inggris, ‘persembahan’ disebut ‘offering’ berdasarkan kata dasar ‘offer‘ yang berarti pemberian, sumbangan, kontribusi, tapi juga berarti tawaran, permohonan, atau pengajuan; yakni suatu pemberian/pengajuan yang bisa diterima atau ditolak sesuai dengan kehendak penerimanya. Dengan demikian persembahan juga mengandung pemahaman sebagai suatu pemberian yang bisa diterima atau ditolak oleh Allah, yang menerimanya.
Untuk alasan yang tidak dijelaskan, Allah menolak persembahan Kain, meskipun Dia menerima persembahan Habel. Hal ini hanya dapat dipahami sebagai otoritas Allah, karena saat itu belum ada petunjuk atau keterangan mengenai syarat persembahan sehingga tidak bisa diketahui atau diperbandingkan alasan penolakan/penerimaan pada obyek persembahan itu sendiri.
Dalam proses civilization bangsa Israel di Tanah Perjanjian, Allah menetapkan aturan-aturan berkehidupan dan bagaimana memelihara hubungan dengan-Nya. Secara khusus Allah menetapkan syarat-syarat persembahan. Dari berbagai macam syarat dan maksud, secara umum persembahan haruslah hal yang terbaik, kudus, dan tak bercacat, yang disampaikan dengan sikap rela, penuh syukur, dan penuh rasa hormat kepada Allah.
Allah menolak persembahan kambing, domba, dan lembu jantan terbaik yang dirampas Saul dari bangsa Amalek, karena sebenarnya Allah memerintahkan Saul untuk memusnahkannya. Bahkan karena itu juga Allah menolak Saul menjadi raja atas bangsa Israel. Ternyata tidak sekadar barang terbaik saja yang dikehendaki Allah sebagai persembahan, tetapi juga sikap hati dalam membawanya ke hadirat-Nya. Karena itu Samuel mengatakan kepada Saul bahwa sesungguhnya, mendengarkan lebih baik daripada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik daripada lemak domba-domba jantan (1 Samuel 15:22b).
Ketika umat mampu menjaga syarat dan ketentuan persembahan ini, ternyata ada juga imam-iman yang mencemarinya. Tuhan tidak tinggal diam. Hofni dan Pinehas, anak-anak Imam Eli, adalah salah satu contohnya. Mereka mengambil bagian terbaik persembahan—yang seharusnya diperuntukkan bagi Tuhan—untuk diri mereka sendiri. Juga sikap mereka dalam membawa persembahan umat kepada Allah sangat tidak terpuji karena memerdaya umat. Allah menghukum mereka dengan membuat mereka terbunuh pada saat yang sama dalam sebuah peperangan. Tak hanya itu. Imam Eli juga mati sebagai korban dosa-dosa mereka, meskipun ada juga pembiaran yang dilakukannya dengan tidak menegur anak-anaknya.
Contoh lain terjadi di zaman Yesus, ketika para imam mulai memainkan persekongkolan politik, agama, dan ekonomi. Mereka mencari keuntungan dengan mengizinkan para penjual hewan kurban dan penukar uang berada di Bait Allah untuk menyediakan pengganti hewan kurban yang mereka tolak dengan alasan tidak memenuhi syarat Allah. Akhirnya umat terpaksa harus mengganti hewan kurban yang mereka bawa dengan hewan yang tersedia di pelataran Bait Allah, tentu dengan harga yang sangat mencekik leher. Alasan di balik itu tentulah keuntungan finansial para pedagang, yang ‘menyiprat’ kepada para imam. Para imam mencemari kekudusan proses persembahan kepada Allah, bahkan mencemari persembahan itu sendiri dengan sikap dan mental yang dikendalikan oleh kekuasaan, keserakahan, dan kepalsuan rasa hormat kepada Allah.
Di sisi lain, pemahaman umat akan persembahan juga mulai bergeser. Apabila tadinya pemahaman ini dipenuhi oleh rasa syukur, kekudusan, penuh kerendahan hati dan harapan untuk diperkenan Allah, kini pemahaman ini perlahan bergerak menjadi pola religiositas yang menginginkan pengakuan dan sanjungan karena mampu dan mau memberi banyak, juga karena ingin mengesankan lebih diberkati, sehingga menimbulkan kebanggaan. Jadi makna persembahan bergeser dari bakti menuju kepada inisiatif dan kehendak diri sendiri.
Meskipun Yesus telah berupaya mengembalikan pemahaman ini melalui komentar-Nya tentang persembahan janda miskin di Bait Allah (Markus 12:41-44,Lukas 21:1-4), namun pergeseran pemahaman itu tidak otomatis kembali ke arah semula. Bahkan lebih banyak yang tetap mengikuti pemahaman yang keliru itu, hingga kini.
Pada masa Perjanjian Baru, terutama setelah kematian Kristus di kayu salib, persembahan hanya bermakna sebagai ungkapan rasa syukur saja dan bukan sebagai penebus dosa, karena bagi orang-orang Kristen, penebusan dosa telah dilakukan secara tuntas dan lunas, sekali untuk selamanya, melalui curahan darah Yesus yang mati di kayu salib sebagai kurban yang sempurna untuk dosa-dosa manusia. Mereka yang percaya bahwa Dia datang ke dunia untuk menebus dosa manusia melalui kematian-Nya, akan memperoleh penebusan, pengampunan, dan anugerah kehidupan abadi (Yohanes 3:16). Namun demikian, makna persembahan ini tetaplah sesuatu yang bisa ditolak atau diterima oleh penerimanya, yakni Allah sendiri, menurut syarat dan kelayakan yang telah ditetapkan-Nya sejak semula.
Di antara umat yang tulus, bersyukur, penuh hormat, dan menguduskan persembahan mereka kepada Tuhan, terdapat banyak juga yang menggunakannya sebagai sarana untuk mendapatkan pengaruh, sanjungan, dan rasa hormat bagi diri mereka sendiri. Tujuannya agar mereka mendapat pelayanan khusus. Agar mereka dipilih untuk menduduki jabatan tertentu. Agar mereka bisa memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu dalam kehidupan bergereja, dan sebagainya. Bagi mereka, yang penting bisa memberi banyak (karena mereka memang berada). Pada akhirnya banyak dari mereka yang karena besarnya persembahan yang diberikan, lalu merasa berhak mengatur kehidupan bergereja meskipun bukan pengerja gereja. Dan anehnya, para pengerja gereja yang mengemban tugas mengatur kehidupan bergereja pun membiarkan, karena takut kehilangan persembahan dari yang bersangkutan.
Ada pula orang-orang tertentu yang memberi persembahan sebagai kewajiban, sebuah aturan yang bersifat top-down. Mereka memberikan persembahan karena diharuskan (meskipun kadang-kadang tidak terlalu menghormati keharusan itu), sehingga asal-asalan melakukannya. Yang penting, memberi. Meskipun tidak selalu uang receh yang dipermasalahkan, namun bila sikap itu demikian, bukankah peringatan Samuel kepada Saul di atas juga menjadi peringatan bagi mereka? Tuhan sangat peduli pada sikap dan mental kita dalam memberikan persembahan.
Yang lebih buruk lagi adalah mereka yang masih sering menganggap bahwa persembahan (dapat) dipergunakan sebagai sarana penebusan dosa, bahkan dosa-dosa yang sengaja dan dengan sadar dilakukan. Sebagian hasil perbuatan dosa itu dipergunakan untuk persembahan dengan harapan dapat menyucikan keseluruhan hasil yang ada. Semacam sin laundring, bukan sekadar money laundring. Ketika kita tidak memberikan uang yang menjadi hak Kaisar (pajak) dan menggunakan sebagian untuk persembahan, apakah kira-kira Tuhan berkenan? Kalau kita mengambil/mencuri hak Kaisar (korupsi) dan menggunakan sebagian untuk persembahan, apakah kira-kira Tuhan akan melayakkannya? Kalau kita menahan hak bawahan, orang upahan, orang miskin, anak yatim, dan janda-janda lalu menggunakan sebagian untuk persembahan, apakah kira-kira Tuhan akan menerimanya? Kita semua tahu jawabannya.
Bila landasan berpikir seperti itu, maka hal ini sungguh merupakan penyimpangan pemahaman yang akut. Praktik yang tidak mendatangkan berkat, tapi malah merupakan penghujatan terhadap kekudusan Tuhan, sang Penerima dan Penentu kelayakan persembahan, sehingga mendatangkan kutuk.
Secara kuantitas, persembahan itu mungkin memang banyak/besar, namun nilainya kosong di mata Tuhan. Tangan terulur, tapi tidak berisi apa-apa, kosong. Empty offering hand.
Jadi bila persembahan masih memiliki kemungkinan untuk diterima atau ditolak, masihkah kita membawa persembahan syukur kita dengan cara dan pemahaman seperti di atas? Mungkin bukan sekadar hasil kejahatan dan dosa yang menjadi pertimbangan dan keputusan Allah menerima atau menolak persembahan kita. Barangkali apa yang kita sampaikan dengan sembarangan, sisa-sisa, pura-pura, serta motivasi lain di luar perwujudan ucapan syukur juga menjadi bahan pertimbangan Allah dalam menerima atau menolak persembahan kita. Tentunya juga ketulusan, rasa syukur, kekudusan, rasa hormat, dan kesiapan hati yang baik menjadi pertimbangan Tuhan.
Semoga Tuhan memberkati dan menerima persembahan kita semua. Amin…
>>Sujarwo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.