Apakah Dosa itu? Dosa itu tidak sama dengan kesalahan, yaitu pelanggaran manusia terhadap hukum dan tatanan yang ada. Kalau hanya kesalahan maka orang bisa melepaskan diri dari kesalahan itu dengan cara dan kekuatannya sendiri. Dosa itu adalah suatu kekuatan atau kuasa yang sangat mengancam manusia, yang membuat manusia memberontak kepada Allah, karena manusia ingin menjadi seperti Allah.
Siapakah yang menyebabkan manusia itu jatuh ke dalam dosa? Dosa itu pasti bukan berasal dari Allah. Karena Allah sangat membenci dosa. Dosa juga bukan berasal dari Malaikat yang jatuh ke dalam dosa (Lucifer), karena ayat yang dijadikan sebagai dasar (2Petrus 2:4), sebenarnya tidak berbicara tentang kejatuhan malaikat ke dalam dosa dan menjadi Iblis, tetapi berbicara tentang peringatan kepada mereka yang berbuat dosa, tidak peduli Malaikat sekalipun kalau ia jatuh ke dalam dosa maka akan dihukum oleh Allah.
Dosa juga bukan dari Iblis walau Iblis sendiri ikut berperanan dan sangat menghasut manusia, namun pada akhirnya manusia sendirilah yang mengambil keputusan dan melanggar tatanan Allah. Jadi yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa adalah manusia sendiri dalam kejatuhan manusia dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa adalah manusia sendiri.
Persoalan pertama adalah, persoalan yang berhubungan dengan pernyataan bahwa dosa bukan berasal dari Allah. Bukankah Allah yang menciptakan pohon pengetahuan baik dan jahat itu? Jika Allah tidak menciptakannya maka tentu manusia tidak akan jatuh dosa.
Pertanyaan ini senantiasa muncul dalam pergumulan dalam hidup jemaat. Jemaat masih menganggap apa yang terjadi dalam Kitab Kejadian, bahkan sejak Kejadian 1 adalah kisah yang benar-benar terjadi. Padahal kalau diperhatikan kisah-kisah yang sama sebenarnya sudah ada jauh sebelum Kitab Kejadian ditulis.
Adalagi penafsir yang mengatakan bahwa yang hendak dikatakan oleh penulis dalam kisah itu adalah bahwa sebenarnya dunia yang diciptakan Allah itu adalah dunia yang penuh berkat, tetapi karena ada dosa maka muncullah laknat dan penderitaan. Dunia yang semula diciptakan dalam keharmonisan, sekarang porak-poranda dan ada kekacauan, tetapi ketika ada pelanggaran dan penghukuman maka adalah juga anugerah dan pengampunan.
Menurut hemat penulis maksud pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat yang sangat memikat perhatian keinginan manusia itu adalah simbol pohon sumber segala sesuatu, siapa yang memakan pohon itu akan memiliki pengetahuan dan memiliki segala sesuatu. Padahal mengetahui dan memiliki segala sesuatu itu adalah hak Allah sendiri. Itulah sebabnya Iblis mengatakan bahwa pada waktu manusia memakannya, manusia akan menjadi seperti Allah. Menjadi yang paling berkuasa, paling kaya, paling dihormati, paling besar dan paling dimuliakan. Hal inilah yang sangat menggoda manusia menjadi seperti Allah.
Kalau sekarang manusia jatuh dalam dosa karena ingin menjadi seperti Allah, penyelamatan terjadi justru Allah yang maha segala-galanya itu justru menjadi sama dengan manusia.
Persoalan yang kedua adalah: Bukankah Allah yang menciptakan manusia? Mengapa Allah menciptakan manusia dengan segala kehendak bebasnya yang membuat manusia bisa jatuh ke dalam dosa?
Jawab atas persoalan ini juga bermacam-macam: Seperti kata Agustinus, manusia itu diciptakan oleh Allah, karena ia ciptaan maka ia tidak sempurna, apalagi manusia yang diciptakan itu adalah manusia yang mempunyai kehendak bebas.
Penulis juga tidak sependapat dengan pandangan Agustinus yang mengatakan bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa itu karena ketidak-sempurnaan manusia, menurut pendapat saya justru karena kesempurnaannya itulah manusia jatuh. Justru karena kesempurnaannya manusia itu bisa berdosa.
Kita ingat ketika Allah menciptakan manusia Ia mengatakan bahwa manusia itu sungguh amat baik adanya (Kej. 1:31). Kalau manusia punya kebebasan itu adalah karunia yang luar biasa, sama dengan kalau manusia punya mata untuk melihat, punya tangan untuk memegang, punya kaki untuk berjalan itu juga karunia yang sangat baik. Kalau kemudian karena kebebasan dan kelengkapan tubuhnya manusia memakainya untuk berbuat dosa, yang salah bukan yang menciptakan manusia, tetapi manusia itu sendiri. Seperti halnya kalau manusia membuat atau menciptakan pisau itu pasti demi kebaikan manusia, kalau kemudian pisau itu dipakai untuk membunuh sesamanya tentu bukan salah pisaunya, tetapi salah yang mempergunakannya.
Allah sebenarnya bisa saja menciptakan manusia sempurna yang tidak mungkin jatuh ke dalam dosa, tetapi manusia yang diciptakan tidak seperti kita sekarang ini, manusia yang seperti robot. Kalau manusia disuruh memilih apakah menjadi manusia seperti sekarang ini dengan segala kehendak bebasnya, yang dengan kemungkinan jatuh ke dalam dosa, tentu manusia memilih yang pertama. Manusia sempurna dengan segala kebebasannya. Kalau kemudian karena kebebasannya manusia jatuh dalam dosa, siapa yang salah? Yang menciptakan atau yang diciptakan?
Calvin mengatakan, dosa memang bukan dari Allah, tetapi tidak di luar pengetahuan Allah. Penulis tidak sependapat dengan pandangan Calvin, sebab kalau dosa itu tidak berada di luar pengetahuan Allah sebenarnya manusia hanya menjadi obyek dan karya Allah saja. Yang kedua, kalau dosa itu tidak di luar pengetahuan Allah berarti dosa itu tidak juga berada sejak kekal, dan kalau dosa itu berada dalam kekekalan, maka keselamatan juga berada dalam kekekalan, itu artinya Yesus Kristus pun sudah berada dalam kekekalan.
Persoalan berikutnya adalah: Mengapa Yesus Kristus baru datang ke dunia setelah sekian lama manusia hidup dalam penderitaan? (Hal ini akan kita lihat lagi ketika kita berbicara tentang keselamatan)
Menurut H. Berkhof manusia itu jatuh karena kesalahan manusia sendiri, tetapi sekaligus manusia itu tidak berdaya dan menjadi korban ketidakberdayaannya. Di satu pihak ia membangkitkan murka Allah, tetapi juga sekaligus membangkitkan belas kasihan-Nya. Bahwa ia berbuat dosa itu karena kesalahannya sendiri, tetapi juga ada kekuatan yang mengancamnya, yaitu kekuatan dosa. Ditambah lagi dengan lingkungan di mana manusia hidup itu adalah lingkungan yang korup. Hal itulah yang membuat manusia semakin terperosok ke dalam dosa.
Menurut pendapat penulis tidak benar kalau manusia jatuh, karena ketidakberdayaannya, yang dikatakan sebagai karena nasib. Ini tidak benar sebab manusia tidak diciptakan tidak berdaya, tetapi manusia diciptakan dengan status “amat baik”. Alkitab memang menunjukkan betapa seringnya manusia berbuat cemar dan dosa, tetapi Alkitab juga menunjukkan bahwa sebenarnya manusia mempunyai kemampuan untuk mengalahkan dosa.
“Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu, ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej.4:6,7).
Kalimat yang terakhir “engkau harus berkuasa atasnya” jelas menunjukkan bahwa manusia bukan sama sekali tidak berdaya. Kedua, logika H. Berkhof terbalik, bukan karena lingkungan yang korup yang membuat menusia jatuh, tetapi karena manusia telah dikuasai oleh dosa maka hubungan dengan sesamanya menjadi rusak dan lingkungan menjadi korup. Pada dirinya sendiri sebenarnya tidak ada orang yang ingin hidupnya rusak dan pada dirinya sendiri manusia tidak ingin terlibat dalam kerusakan lingkungannya. Bahkan apa yang nampaknya baik pun belum tentu baik di mata Allah. Walau demikian, seperti disebutkan di atas, tidak berarti bahwa manusia tidak mampu mengatasinya.
Tersebarnya Dosa atau Dosa Warisan
Dalam Roma 5:12-21 dikatakan bahwa karena satu orang yang berbuat dosa maka dosa menyebar ke seluruh umat manusia. Persoalannya adalah bagaimana mungkin dosa satu orang bisa berakibat kepada orang lain.
Pandangan yang tradisional mengatakan bahwa dosa itu tersebar kepada orang lain, karena hubungan seksual dan karena kita adalah keturunan manusia yang sudah berdosa itulah sebabnya dalam Maz.51:7 dikatakan dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. Pandangan yang mengatakan bahwa seksualitas dan keturunan adalah dosa sebenarnya tidak tepat, karena Allah justru memerintahkan kepada Manusia untuk beranak cucu dan memenuhi bumi (Kej.1:29).
Seperti disebutkan di depan bahwa dosa tidak sama dengan kesalahan, dosa adalah kekuatan atau kuasa (Kej.4:7; Roma 3:9 dst.). Ketika manusia jatuh ke dalam dosa maka dosa yang adalah kekuatan itu masuk ke dalam dunia dan menguasai apa saja yang ada di dalam dunia ini. Kuasa dosa inilah yang mencengkeram manusia, sehingga amal dan ibadah manusia adalah iman dan ibadah yang sudah dikuasai oleh dosa.
Pandangan tentang dosa warisan sekarang ini ditolak H. Berkhof, karena pandangan tentang dosa warisan dianggap sebagai obat bius, pandangan yang fatalistis, yang membuat manusia hanya menggantungkan diri pada penyelamatan Allah. Penekanan pada dosa warisan dan pada penyelamatan semata-mata karena anugerah ini mempengaruhi sikap manusia dalam menghadapi kehidupan ini. Manusia menjadi tidak mempunyai motivasi untuk berjuang, manusia hanya mengandalkan diri pada kuasa dan pertolongan Allah.
Itulah sebabnya perkembangan kekristenan dalam dunia politik, sosial dan ekonomi selalu tertinggal oleh orang lain. Tertinggal jauh dari kehebatan orang-orang Yahudi dan Islam, bahkan Katolik (yang masih menekankan pentingnya perbuatan manusia dalam keselamatan) dalam berusaha menguasai masalah ekonomi, sosial dan politik, termasuk di Indonesia. Sejauhmana hal itu benar akan kita bicarakan bersama.
Akibat Dosa
Akibat dari dosa itu sudah nampak segera setelah manusia jatuh dalam dosa, yang terus menerus nampak dalam kehidupan manusia sampai saat ini.
- Manusia menjadi malu dan mengambil daun ara untuk menutupinya (ay.7). Hal itu tentu bukan dalam arti yang sebenarnya. Arti yang lebih besar dari itu adalah manusia malu atas keberadaannya sendiri dan manusia menutupi keberadaan yang sebenarnya di hadapan Allah.
- Manusia mulai menjauh, bersembunyi dan lari dari Allah (ay.8). Artinya, hubungan cinta kasih yang begitu mulia antara manusia dan Allah menjadi rusak. Manusia berusaha menyimpang dari jalan Allah dan mencari jalannya sendiri. Ia menggantikan kasih dengan ketakutan. Ia menggantikan persekutuan dengan Allah dengan menyembunyikan diri dari Allah. Tetapi sejak itu pula Allah mulai mencari dan memanggil manusia (inilah awal usaha Allah menyelamatkan manusia).
- Manusia kehilangan tanggungjawabnya terhadap sesamanya maupun terhadap Allah. Ketika Allah minta pertanggungjawaban Adam, Adam melempar tanggungjawabnya kepada istrinya dan bahkan menyalahkan Allah:”Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku itulah yang memberikan kepadaku lalu kumakan” (ay.12). Dan ketika perempuan itu dimintai pertanggungjawaban ia menyalahkan (ular) Iblis. Hal itu terus berkembang dalam sejarah umat manusia. Pada Kej. 4:9 Kain yang baru saja membunuh adiknya ketika dimintai petanggungjawaban, dengan enteng berkata: “Akukah penjaga adikku”.
- Hubungan cinta kasih dalam keluarga menjadi rusak, Laki-laki menguasai perempuan dan perempuan tunduk padanya. Hubungan cinta kasih menjadi hubungan yang eksploitif. Seksualitas yang semula adalah berkat sekarang menjadi dieksploitir, baik itu dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Padahal ketika Allah menciptakan manusia. Ia menciptakan perempuan sebagai penolong yang sepadan (Kej.2:18). Kalau dikatakan bahwa dengan susah payah engkau akan melahirkan anakmu, juga tidak dalam arti yang sebenarnya. Tetapi sejak anak itu dilahirkan ia sudah menjadi tanggungjawab yang tidak ringan.
- Ketika itu Allah berfirman bahwa: Akan pohon yang di tengah taman itu jangan kamu makan, pada waktu kamu makan kamu akan mati (Kej.2:17). Persoalannya adalah: mengapa ketika manusia memakannya manusia tidak mati?
Hidup itu tidak sekadar punya nafas, hidup yang sebenarnya adalah kalau kita mempunyai hubungan yang penuh sukacita dengan sang pemberi hidup. Dengan lari dan meninggalkan diri dari Allah, berarti keterpisahan dari Allah sang pemberi kehidupan sejati. Itulah sebabnya dikatakan bisa saja manusia itu bernafas, tetapi sebenarnya dia tidak punya hidup sejati.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus berfirman: “…setiap orang yang hidup dan percaya kepadaKu, ia tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh.11:26). Tentu ini tidak berarti bahwa ia akan bernafas terus, tetapi akan merasakan kebahagiaan dan kenikmatan hidup ini. Karena itu Dr. H. Wijono membedakan adanya tiga kematian. Kematian phisik/jasmani (terpisahnya manusia dengan nafas hidupnya), kematian Rohani yaitu tidak adanya hubungan yang hidup antara manusia dengan Allahnya, dan mati kekal yaitu berpisahnya manusia baik dari Allah dalam dunia ini (Rohani) maupun dengan Allah sesudah kematian phisiknya.
Keselamatan
Agama Islam memahami dosa sebagai kesalahan, sehingga manusia bisa menghindar dari kesalahan atau menebus kesalahan itu dengan tindakan baik (amal dan kesalehan) yang mendatangkan pahala. Keselamatan tergantung apakah pahala kita lebih besar daripada kesalahan dan kejahatan kita.
Gereja RK memandang bahwa sesudah kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia tidak rusak sama sekali. Manusia hanya kehilangan gambar Allah yang merupakan anugerah tambahan (yang adi kodrati), sehingga setelah manusia jatuh dosa manusia masih kodrati, yang masih mempunyai akal untuk berpikir, yang masih punya hati untuk merasakan dan menimbang mana yang baik dan mana yang jahat.
Sehingga menurut gereja RK yang menentukan selamat dan tidaknya seseorang adalah Yesus Kristus, yang membawa orang sampai kepada kepercayaan, sisanya manusia harus mencari sendiri, dengan kebaikan dan kesalehannya. Jika masih kurang ia bisa mohon kelebihan pahala dari para orang suci.
Dalam agama Kristen keselamatan semata-mata hanya karena iman dan karena anugerah. Mengapa bukan karena perbuatan manusia? Sebab perbuatan baik manusia adalah perbuatan baik yang sudah tercemar oleh dosa.
Apa arti kata dibenarkan karena iman itu? Iman adalah menyerahkan diri pada Kristus dan usaha yang terus menerus memusatkan perhatiannya kepada Kristus, hal itu merupakan pergumulan terus-menerus sampai akhir hayat kita. Ketika kita lupa mempergunakannya hilanglah iman kita dan bisa hilanglah keselamatan kita.
Lalu di mana tempat perbuatan? Saya setuju dengan gambaran Luther, ia memakai analogi orang yang akan menyeberang laut, ia akan merasa takut kalau ia tidak percaya kepada kapal yang ia tumpangi. Dan jika demikian maka ia tidak akan pernah sampai ke seberang, keselamatan. Iman itu menurut Luther bukan hanya mengakui sesuatu itu sebagai kebenaran, tetapi juga mempergunakan suatu tindakan berdasarkan kepercayaannya itu. Kalau dalam analogi Luther tadi bukan hanya percaya kepada keberadaan perahu, tetapi mau melangkah masuk ke dalamnya, mendayungnya dan mempercayakan diri kepada-Nya.
Apakah ada keselamatan di luar Yesus Kristus?
Biasanya setiap orang Kristen berpendapat bahwa tidak ada keselamatan di luar Yesus Kristus, bahkan lebih sempit lagi tidak ada keselamatan di luar gereja. Adapun dasar yang dipakai adalah Yohanes 14:6: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak seorang pun datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku”.
William Barclay menafsirkan ayat ini sbb: Memang banyak orang yang mengajar tentang jalan yang harus ditempuh, tetapi hanya Yesuslah jalan itu dan di luar Dia manusia akan tersesat. Banyak orang yang berbicara tentang kebenaran, tetapi hanya Yesuslah yang dapat mengatakan “Akulah kebenaran” itu. Orang lain mengajarkan tentang jalan kehidupan, tetapi hanya dalam Yesus orang menemukan kehidupan itu. Karena itu hanya Dia saja yang dapat membawa manusia kepada Tuhan.
Lain halnya dengan Samartha yang mengatakan bahwa dalam agama Kristen Yesus Kristus memang juru selamat, tetapi orang Kristen tidak dapat mengklaim bahwa juru selamat hanya Yesus Kristus. Demikian pula Yesus adalah jalan, tetapi jalan itu bukan hanya Yesus, sebab seperti dikatakan Kenneth Cracknell bahwa di luar agama Kristen pun dikenal banyak keselamatan.
Dalam agama Yahudi dikenal istilah Halakhah, yang secara harafiah artinya berjalan. Kata ini merupakan istilah teknis dalam pengajaran agama Yahudi yang berhubungan dengan semua materi hukum dan tatanan hidup sehari-hari. Istilah ini diambil dari Keluaran 18:20: “Kemudian haruslah engkau mengajarkan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan yang memberitahukan kepada mereka jalan yang harus mereka jalani dan pekerjaan yang harus mereka lakukan”.
Dalam agama Islam konsep jalan itu terdapat dalam Sura 1:5-7: “…. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan. Pimpinlah kami ke jalan yang lurus (yaitu), jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka…”
Dalam agama Hindu juga dikenal adanya jalan menuju moksha, menuju kelepasan dari kelahiran kembali, menuju keselamatan, yaitu Jnana marga atau jalan pengetahuan, Karma marga atau jalan perbuatan baik, serta bhakti marga yaitu jalan kesetiaan atau ibadah. Sedangkan dalam agama Budha dikenal Dhama pada, jalan kebenaran menuju nirwana.
Lalu bagaimana hubungan jalan-jalan ini dengan Kristus yang adalah jalan?
Ada berbagai penafsiran, di antaranya: ada banyak jalan kecil-kecil (path), tetapi hanya satu jalan besar (way) yaitu jalan Kristus. Atau ada yang mengatakan ada banyak jalan, termasuk jalan Kristus, tetapi hanya ada satu tujuan yaitu Allah.
Kalau kita memilih yang pertama, memang tidak cocok dengan semangat pluralisme agama-agama, tetapi lebih sesuai dengan teks Yohanes 14:6 Ada banyak jalan tetapi hanya ada satu jalan yang menuju Bapa, yaitu jalan Kristus.
Kalau memilih alternatif kedua, hal itu sesuai dengan semangat pluralisme tetapi persoalan tentang “Tidak seorang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” tidak terpecahkan. Dan dengan memilih alternatif kedua, berarti menempatkan Yesus sebagai jalan (cara) untuk mencapai suatu tujuan. Padahal menurut banyak penafsir Yesus itu bukan jalan (cara) untuk mencapai tujuan, tetapi Ia sendiri jalan sekaligus tujuan. Dalam teks dikatakan “Aku adalah… (tiga kata berikutnya mempunyai kedudukan yang sejajar) jalan, kebenaran dan hidup”. Bukan Aku jalan menuju kebenaran dan menuju hidup, juga bukan Aku jalan kebenaran dan jalan hidup.
Penulis setuju bahwa di luar agama Kristen ada jalan (minhaj, marga, dhama pada), ada jalan kebenaran, ada keselamatan, tetapi tidak berarti bahwa jalan Yesus itu jalan yang luar biasa, sedangkan jalan yang lain jalan biasa. Lalu persoalannya adalah bagaimana kalimat “Tidak seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” harus ditafsirkan?
Konteks ayat ini adalah: Ketika itu Tuhan Yesus berkata kepada para murid-Nya. Ia pergi untuk menyediakan tempat bagi murid-muridnya, kemudian Ia akan kembali menjemput mereka, supaya di mana Yesus berada murid-murid juga berada di sana (Yoh.14:3). Kemudian Thomas berkata: “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi, jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?
Dengan perkataan itu Thomas ingin tahu jalannya supaya bisa sampai ke tempat itu dengan cara dan kekuatannya sendiri.
Kemudian Tuhan Yesus menjawab: ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak seorangpun datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku”. Yang dimaksud Tuhan Yesus dengan perkataan itu adalah: Thomas tidak dapat datang ke tempat itu dengan usaha dan kekuatannya sendiri. Kalau toh ia bisa datang ke tempat itu karena Tuhan Yesus yang membawa dia (Bdk. Ay. 3 yang berkata: “Aku akan datang kembali membawa kamu”). Dengan kata lain kalau Thomas bisa datang ke tempat itu, semua itu semata-mata hanya karena anugerah Allah yang nyata dalam kehadiran Yesus Kristus.
Jadi persoalannya bukan di luar Kristus tidak ada jalan, tetapi bagi umat Kristen kita bisa sampai ke tempat di mana Kristus berada, itu semata-mata karena anugerah Allah. Inilah yang membedakan jalan yang ditempuh umat Kristen dan jalan-jalan lainnya. Di sana bukan tidak ada jalan, di sana bisa juga ada jalan, jalan di sana bukan kurang baik, sedang di sini lebih baik, tetapi memang jalan itu berbeda. Dengan demikian pemutlakan orang Kristen terhadap Yesusnya, tidak harus membuat orang Kristen menjadi eksklusif, atau menyamakan saja semua agama.
Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa hanya Yesus Kristuslah yang membawa kita kepada keselamatan, tetapi kita juga tidak harus mengatakan di sana, dalam agama lain, sama sekali hanya ada kegelapan dan kesesatan. Kalau kita sendiri tidak rela orang menganggap dalam kekristenan hanya ada kegelapan dan kesesatan, mengapa hal yang sama kita tujukan kepada orang lain.
Apakah pandangan itu tidak memperlemah semangat Pekabaran Injil? Tidak, hanya harus ada orientasi baru tentang Pekabaran Injil.
Pekabaran Injil harus dipahami seperti pemahaman Yesus Kristus sendiri: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik (mengabarkan Injil) kepada orang-orang miskin, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk.4:18,19).
Memberitakan Injil tidak lagi dipahami sebagai kristenisasi, tetapi kristusisasi. Menambah jumlah orang-orang yang diselamatkan dan menjadi anggota gereja bukan tujuan pekabaran Injil, tetapi sebagai akibat atau buah pekabaran Injil: “mereka disukai semua orang dan setiap hari Tuhan menambahkan dengan “orang-orang yang diselamatkan” (Kis. 2:46). Buah pekabaran Injil ini mungkin tidak segera kita nikmati dalam kehadiran mereka di gereja, tetapi mungkin pada waktu dan di tempat lain.
Apakah pemahaman Pekabaran Injil ini tidak sama saja dengan pemahaman sebelumnya? Tidak, pada pola pemahaman yang pertama mengesampingkan sikap toleransi yang karenanya dapat menimbulkan kecurigaan bahkan konflik sosial. Dan sering kekristenan mereka yang “bertobat” lebih bersifat emosional. Sedangkan pola pekabaran Injil kedua, sangat bersikap tenggang rasa dan toleran dan bahkan mungkin pekabaran Injil bisa dilakukan dengan kerjasama antar agama. Dan kalau akhirnya ada yang menjadi anggota gereja, kekristenan mereka tidak bersifat emosional, tetapi dengan kesadaran penuh.
Pdt. DR. Budyanto, Disampaikan pada Program PTJ di GKI Pondok Indah tanggal 25 September 2005
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.