Pernahkah Anda mengalami ini? Anda pergi ke sebuah pusat perbelanjaan menaiki tangga berjalan menuju ke lantai dua. Dan tiba-tiba Anda tertegun karena Anda mengenali seseorang di tangga berjalan yang berlawanan dengan Anda. Wajahnya mengungkit kenangan lama yang pahit yang Anda kira sudah Anda lupakan. Wajahnya menghidupkan kembali rasa pedih di hati yang telah lama Anda pendam dan tutupi dengan hal-hal yang menyenangkan bahkan membahagiakan. Wajahnya membawa Anda kembali pada perselisihan dengannya yang berbuahkan kekecewaan, kemarahan bahkan kebencian sekian tahun yang telah lewat.
Pertanyaannya lalu adalah: apakah tidak mungkin melupakan kenangan-kenangan pahit di masa lalu? Mungkin tidak. Tetapi mengapa kenangan-kenangan itu membawa kita kembali kepada perasaan-perasaan yang pernah terjadi pada waktu itu, sehingga boleh dikatakan bahwa kepedihan bahkan kebencian yang ditimbulkannya seolah dibangkitkan dan disegarkan kembali?
Tepat di titik ini bila dikatakan bahwa hal itu terjadi karena perselisihan atau apapun di masa lalu itu belum diselesaikan secara tuntas. Atau dengan kata lain masalahnya adalah karena belum terjadi rekonsiliasi. Rekonsiliasi atau pendamaian, yang seharusnya terjadi antara Anda dengan si pemilik wajah yang ketika melihatnya membangkitkan kembali kemarahan bahkan kebencian Anda. Tetapi rekonsiliasi atau pendamaian yang seharusnya juga terjadi antara Anda dengan diri Anda sendiri.
Sebagai manusia yang dewasa yang selalu siap untuk belajar dari kehidupan dan dari Tuhan, kita dipanggil untuk merefleksikan hal ini guna menuntaskannya. Dan Alkitab kita yang kaya dengan pengalaman manusia itu, dapat kita rujuk untuk menemukan dasar guna merefleksikan masalah rekonsiliasi ini. Pengalaman kehidupan dalam pertikaian serta pendamaian dua orang saudara kembar, Yakub-Esau, (Kejadian 32-33) kiranya dapat membantu kita.
Pertikaian antara Yakub dengan Esau berkisar pada masalah hak-sulung dan pemberian berkat yang menyertainya. Konflik itu berawal pada “tukar-guling” hak-sulung dengan semangkuk sup kacang merah yang dilakukan oleh Yakub si bungsu dengan Esau si sulung. Dan konflik itu bermuara pada kebencian yang mencapai puncaknya pada Esau yang bersumpah untuk membunuh adiknya, dan Yakub yang karenanya harus melarikan diri ke negeri asing, ke rumah Laban, pamannya.
Di antara awal dan muara perseteruan Yakub-Esau itu terjadilah jantung dari pertikaian Yakub-Esau. Pada satu sisi adalah Isak yang berkeras hendak memberikan berkat kepada Esau, anak sulung, sebagaimana yang lazim dilakukan, walau Tuhan menghendaki lain. Dan pada sisi lain adalah persekongkolan Yakub dengan ibunya menipu Isak ketika Esau pergi berburu, sehingga akhirnya berkat jatuh pada Yakub. Persekongkolan yang terjadi akibat kekuatiran bahwa yang terjadi bukanlah apa yang dikehendaki Tuhan tetapi apa yang diingini Isak. Maka itu, diperhadapkan pada kehendak Tuhan, semua pihak yang terlibat, dan terutama Yakub dan Esau, mempunyai kontribusi kesalahan yang menyebabkan terjadinya pertikaian Yakub-Esau.
Namun pada dasarnya tidak ada orang yang benar-benar merasa sejahtera bila entah di mana masih ada “ganjalan.” pada Yakub yang harus hidup di tanah asing ganjalan utama adalah rindu kampung halaman. Namun untuk mengatasi ganjalan itu, masih ada ganjalan yang lebih besar, bahkan ganjalan utama dalam hidupnya. Yaitu pertikaiannya dengan Esau yang membuatnya tidak pernah dapat sungguh-sungguh menikmati berkat yang diberikan kepadanya melalui Isak, ayahnya, yang ditipunya. Maka Yakubpun mempersiapkan diri untuk mengatasi ganjalan-ganjalan itu.
Yakub terkenal sebagai orang yang cerdik bahkan cenderung licik. Kepulangannya ke kampung halaman termasuk upaya menyelesaikan pertikaiannya dengan Esau direncanakannya dengan cermat. Mulai dari mengatur perjalanan dan rombongan hingga urut-urutannya. Ia membagi rombongan hamba-hamba, ternak dan segala miliknya menjadi dua. Maksudnya bila Esau ternyata masih dendam kepadanya dan menyerangnya, maka rombongan yang pertama dikorbankan, sedangkan rombongan kedua bisa diselamatkan.
Setelah itu baru ia merasa siap dan mengirimkan utusan kepada Esau maksud kepulangannya serta niatan untuk berdamai. Namun ternyata Esau yang mengirimkan pesan menyambut baik kedatangan Yakub, menyambutnya dengan membawa pasukan 400 orang. Yakub pun menjadi takut, lalu masih berusaha mengirimkan “persembahan” untuk melunakkan hati kakaknya. Dan sebagai tindakan terakhir rombongan istri-istri dan anak-anaknya dipisahkan dari rombongan-rombongan yang di depan, dan dengan cerdik Yakub mengatur agar ia berjalan di belakang sendiri. Namun ternyata Yakub tetap saja tak dapat mengatasi kekuatiran dan ketakutannya.
Pada saat seperti itu Yakub tak dapat lagi bergantung kepada akal dan kepandaiannya sendiri. Ia juga tak dapat berpaling lagi dari Tuhan. Ia memohon kepada Tuhan agar menolongnya. Maka Tuhan pun menolongnya dalam sosok yang bergumul dengan Yakub di tepi sungai Yabok. Yakub memenangkan pergumulan itu. Tetapi ia memenangkan pergumulan itu tidak dengan mengatasi atau mengalahkan sosok yang dikirim Tuhan itu. Kemenangan Yakub terjadi karena Yakub tidak bersedia melepaskan utusan Tuhan itu, apa pun yang terjadi. Pergumulan itu sebenarnya adalah pergumulan Yakub dengan dirinya sendiri. Dalam pergumulan itu ia menang karena ia memilih untuk berpegang kepada Tuhan saja, dan tidak mau melepaskannya apapun yang terjadi.
Dan betapa berbedanya keadaan setelah intervensi Tuhan itu. Yakub tidak lagi berjalan di belakang, tetapi menyongsong Esau dengan berani dan dengan kepasrahan kepada Tuhan. Dan Esau? Esau yang datang dengan pasukan 400 itu turun dari kudanya dan memeluk serta menciumi adiknya yang amat dirindukannya. Ia tidak mau menerima persembahan Yakub. Tetapi Yakub berkeras meminta Esau menerimanya sambil mengatakan: “…jikalau aku telah mendapat kasihmu, terimalah persembahanku ini.. Karena memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah…!” (Kejadian 33:10).
Baik Yakub maupun Esau bersikap terbuka dan positif terhadap intervensi Tuhan. Intervensi Tuhan yang menempatkan keduanya pada pergumulan dengan diri mereka. Mereka memenangkan pergumulan itu karena mereka, terutama Yakub, tidak lagi berpegang pada kemampuannya sendiri, tetapi berpegang pada Tuhan dan tak mau melepaskannya, apapun yang terjadi.
Secara kongkret keduanya, terutama Yakub yang kita ikuti pergumulannya, menyambut kasih Tuhan terhadap dirinya dengan meraih Esau dan mengharapkan kasih Esau. Dan ia mendapatkannya. Karena Esaupun melakukan hal yang sama. Ia menyambut baik niatan Yakub untuk kembali ke kampung halaman dan berdamai dengannya. Sehingga di wajah Esau, Yakub tidak lagi melihat wajah kemarahan dan kebencian, tetapi serasa melihat wajah Allah. Wajah kasih, wajah pengampunan, wajah yang semringah mengantisipasikan rekonsiliasi.
Ada banyak wajah yang bila kita lihat serasa memutar balik dan memunculkan kembali kenangan-kenangan pahit bahkan menyakitkan. Wajah-wajah yang yang menimbulkan kembali perasaan-perasaan negatif, kemarahan bahkan kebencian. Mari kita ubah itu semua. Untuk itu mari kita mulai dari diri kita sendiri, dengan belajar dari Yakub dan Esau. Sehingga kiranya bila kita melihat wajah sesama kita, kita serasa melihat wajah Allah. Dan terutama terhadap mereka dengan siapa kita mempunyai ganjalan, kita dapat berkata: “Di wajahmu kulihat Allah…!”
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.