Hampir setiap orang takjub dengan keindahan kupu-kupu saat ia terbang dengan sayapnya yang elok. Tetapi kita akan lebih takjub lagi saat kita memerhatikan proses terjadinya “metamorfosa” (perubahan bentuk) seekor kupu-kupu. Pertama-tama kupu akan bertelur, kemudian telur yang menempel di sebuah daun akan berubah menjadi ulat. Setelah itu ulat menjadi besar dan memanjang. Ulat tersebut kemudian berubah menjadi kepompong (pupa atau chrysalis). Setelah beberapa lama, dari kepompong tersebut akan keluar seekor kupu-kupu yang sangat indah. Kita tidak pernah menduga bahwa dari ulat yang pada umumnya sangat menjijikkan bagi sebagian besar wanita dan kepompong yang buruk bentuknya, suatu kelak akan berubah menjadi seekor kupu-kupu yang cantik.
Sangat menarik, bahwa istilah “transfigurasi” sebenarnya berasal dari istilah “metamorfosa” yang di dalam teks Alkitab Yunani disebut dengan “metemorphethe” atau “metamorpheo”. Istilah “metemorphete” atau “transfigurasi” disaksikan oleh Alkitab dan dikenakan pada diri Tuhan Yesus. Di Mark. 9:2 disebutkan bahwa Tuhan Yesus mengajak ketiga murid-Nya yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes ke sebuah gunung yang tinggi, “Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tak seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu” (Mark. 9:2b-3). Dalam peristiwa transfigurasi tersebut tubuh fisik Tuhan Yesus berubah secara menyeluruh. Tubuh manusiawi-Nya memancarkan cahaya kemuliaan Allah. Terlebih-lebih lagi, Ia berubah rupa secara rohaniah. Tampaknya apa yang dikatakan oleh rasul Paulus tentang tubuh kebangkitan di Kor. 15:49 secara prinsipial didasarkan pada diri Kristus yang sejak semula memiliki tubuh rohaniah, sebab dinyatakan, “Sama seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan memakai rupa dari yang surgawi”. Sehingga suatu kelak kita akan mengenakan rupa surgawi karena Kristus berkenan mengubah kefanaan dan kehinaan diri kita dalam kemuliaan-Nya. Dengan demikian, panggilan umat percaya adalah hidup sesuai dengan Kristus pada saat ini, agar bersama Kristus kita juga dimuliakan dalam kehidupan kekal.
Panggilan hidup yang terus-menerus menyerupai Kristus menginspirasi Thomas à Kempis (1380-1471) sehingga ia menulis sebuah buku yang berjudul “De imitatione Christi” (The Imitation of Christ) yang dipublikasikan pada tahun 1418 dalam bahasa Latin. Tulisan Thomas à Kempis tentang “Serupa dengan Kristus” tersebut diterima dan sangat dihargai, baik oleh gereja Protestan maupun gereja Roma Katolik. Bahkan John Wesley dan John Newton mengatakan bahwa kehidupan pertobatan mereka dipengaruhi oleh pemikiran Thomas à Kempis yang menguraikan makna “Serupa dengan Kristus”. Pemikiran Thomas à Kempis sebenarnya didasarkan pada ucapan Tuhan Yesus yang mengatakan, “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12). Thomas à Kempis berkata: “HE WHO follows Me, walks not in darkness,” says the Lord. By these words of Christ we are advised to imitate His life and habits, if we wish to be truly enlightened and free from all blindness of heart. Let our chief effort, therefore, be to study the life of Jesus Christ” (“Dengan berpegang pada ucapan dan ajaran Tuhan Yesus tersebut, kita wajib mengikuti kehidupan Kristus dan seluruh perbuatan-Nya, jika kita berkehendak untuk memperoleh pencerahan dan bebas dari seluruh kebutaan hati. Usaha utama kita haruslah mempelajari kehidupan Kristus”).
Bagi Thomas à Kempis, pengajaran Kristus lebih agung daripada semua nasihat atau pengajaran para orang kudus manapun juga. Sehingga barang siapa yang hidup di dalam Roh Kristus akan memperoleh roti manna yang tersembunyi. Kegagalan kita untuk mendengar sabda Tuhan Yesus disebabkan karena kehidupan kita tidak memiliki roh-Nya. Tetapi barang siapa berkehendak untuk mendengar dengan sungguh-sungguh seluruh pengajaran Kristus, maka ia akan menerapkan pola hidup Kristus dalam keseluruhan hidupnya. Namun satu hal yang pasti, Thomas à Kempis juga berhasil membuktikan seluruh pemikiran “Serupa dengan Kristus” dalam kehidupan pribadinya. Itulah sebabnya tulisan Thomas à Kempis mempunyai kekuatan dan pengaruh yang luar biasa bagi setiap pembacanya. Ia bukan sekedar seorang pastor dan penulis yang biasa, tetapi seseorang yang telah berubah karena hidupnya diubah oleh Kristus. Tulisannya memancarkan cahaya kemuliaan Kristus yang adalah Anak Allah.
Diteguhkan Oleh Dua Nabi Besar Perjanjian Lama
Tidak semua murid diajak oleh Tuhan Yesus untuk melihat kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah, sebab yang diajak oleh Tuhan Yesus naik ke suatu gunung yang tinggi hanyalah Petrus, Yohanes dan Yakobus. Mereka adalah orang-orang yang termasuk “lingkaran dalam” (an inner circle) dari para murid Yesus yang berjumlah 12 orang. Melalui peristiwa transfigurasi tersebut, Tuhan Yesus memperkenalkan jati diri-Nya sebagai Anak Allah yang mulia sehingga seluruh tubuh-Nya diselubungi oleh cahaya surgawi. Lebih tepat lagi, tubuh manusiawi-Nya pada saat peristiwa transfigurasi itu berubah menjadi tubuh surgawi.
Petrus, Yohanes dan Yakobus juga melihat kehadiran Musa dan Elia pada saat Kristus berubah rupa dalam kemuliaan-Nya. Bukankah Musa dan Elia adalah para nabi yang sangat terkemuka dalam kisah di Perjanjian Lama? Musa adalah satu-satunya nabi yang diperkenankan oleh Allah untuk berbicara muka dengan muka dengan Allah (Kel. 33:11), sehingga wajahnya bercahaya (Kel. 34:29). Sebagai akibatnya, orang-orang Israel tidak tahan ketika mereka berhadapan dengan Musa dan memintanya untuk menyelubungi mukanya (Kel. 34:35). Sedangkan nabi Elia adalah nabi yang diperkenankan Allah untuk menurunkan api dari langit (I Raj. 18:36-38). Terlebih-lebih lagi, nabi Elia adalah salah satu nabi yang tidak mengalami kematian secara fisik, tetapi bersama dengan tubuhnya diangkat ke surga (II Raj. 2:11-12) sebagaimana yang pernah dialami oleh Henokh (Kej. 5:24).
Dengan peristiwa pengangkatan Elia ke surga bersama dengan tubuhnya, Allah telah mempermuliakan Elia dengan cara-Nya yang sangat khusus. Ini berarti bahwa dalam peristiwa transfigurasi Tuhan Yesus di atas gunung, ke-Messias-an-Nya sebagai Anak Allah telah diteguhkan secara sah oleh kehadiran Musa dan Elia. Bukankah hukum Taurat menyatakan bahwa suatu perkara tidak akan disangsikan jikalau telah didukung oleh dua orang saksi? (Ul. 19:15). Bahkan melalui transfigurasi tersebut kita diingatkan pula bahwa Musa yang dikuburkan secara rahasia oleh Allah, dan Elia yang diangkat ke surga oleh Allah, pada hakikatnya mau menyatakan bahwa realitas bumi dan langit telah disatukan dalam inkarnasi dan pelayanan Kristus.
Kehadiran Musa dan Elia dalam peristiwa transfigurasi Yesus bukanlah sekedar suatu peristiwa penampakkan roh mereka pada saat Yesus menyatakan kemuliaan-Nya, tetapi Musa dan Elia juga hadir untuk mempercakapkan suatu hal yang sangat penting dengan Yesus. Injil Markus dan Injil Matius tidak menjelaskan isi percakapan Yesus dengan Musa dan Elia. Tetapi Injil Lukas memberi penjelasan yaitu, “berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem” (Luk. 9:31). Namun satu hal yang pasti, Injil Matius dan Injil Markus menyatakan bahwa Tuhan Yesus mengingatkan para murid dengan sungguh-sungguh agar mereka tidak menyampaikan hal ini kepada siapapun juga sebelum Ia dibangkitkan dari antara orang mati (Mat. 17:9; Mark. 9:9).
Bukankah peristiwa transfigurasi tersebut juga menunjuk kepada tubuh kebangkitan Kristus setelah Ia wafat disalibkan? Sering kita diombang-ambingkan dengan masalah tubuh kebangkitan Kristus. Masakan tubuh fisik Kristus dapat bangkit dalam kemuliaan dan kemudian dapat menembus dinding ruangan di mana para murid-Nya berada? Mereka menyimpulkan bahwa yang bangkit pasti hanyalah roh Kristus dan bukan tubuh fisik-Nya. Jawaban tersebut sangat logis.
Dalam peristiwa transfigurasi-Nya, Tuhan Yesus melalui Injil Markus hendak menyatakan kepada umat bahwa tubuh kebangkitan-Nya kelak identik dengan tubuh kemuliaan-Nya sebagaimana dilihat oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus. Ini berarti bahwa sebenarnya misteri tubuh kebangkitan Kristus sedikit banyak telah disingkapkan dalam peristiwa transfigurasi-Nya di atas gunung. Karena itu Allah dalam peristiwa transfigurasi Yesus juga menyatakan: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (Mark. 9:7). Allah bukan hanya menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi kita juga dipanggil untuk sungguh-sungguh mau mendengarkan perkataan-Nya. Kita dipanggil untuk tidak meragukan keabsahan Yesus sebagai Messias dan Anak Allah yang mulia. Dasar iman yang demikian akan mempersekutukan diri kita dengan diri Tuhan Yesus, sehingga persekutuan kita dengan Kristus tersebut juga akan mentransformasikan kehidupan kita untuk makin serupa dengan-Nya. Dengan demikian kita bukan sekedar kagum dan terpesona pada cahaya kemuliaan Kristus, tetapi terlebih-lebih lagi dalam persekutuan dengan-Nya, kita semakin dimampukan untuk memancarkan cahaya kemuliaan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selubung Bagi Mereka Yang Akan Binasa
Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita tidak akan pernah melihat peristiwa transfigurasi Kristus sebagaimana yang disaksikan oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus. Tetapi kita dimungkinkan untuk melihat kemuliaan Kristus melalui berita Injil atau firman Allah yang disaksikan oleh Alkitab. Kita bersyukur bahwa kini berita Alkitab makin tersebar melalui berbagai macam cara, seperti percetakan dan penerbitan, internet, televisi, radio, khotbah dan berbagai pemberitaan firman. Tetapi apakah berbagai media komunikasi tersebut secara otomatis dapat membuka mata rohani banyak orang dalam pembaharuan hidup untuk serupa dengan Kristus? Tentunya jawabannya: tidak otomatis! Sebab seluruh berita Alkitab tersebut membutuhkan respon iman dari setiap orang yang mendengarnya. Bahkan kita harus senantiasa memberi respon dalam setiap aspek kehidupan dan setiap momen hidup kita agar kehidupan kita makin diubahkan untuk serupa dengan Kristus. Dengan demikian respon iman kita terhadap berita yang disampaikan oleh Alkitab harus senantiasa bersifat dinamis dan eksistensial.
Jadi tidak cukup bagi kita untuk mengaku percaya kepada Kristus di satu momen, tetapi kemudian kita lengah dan kehilangan iman di momen atau kesempatan yang lain. Bukankah kita sering bersikap lengah dan kehilangan iman di berbagai momen kehidupan kita? Bahkan tidak jarang terjadi, beberapa orang anggota jemaat sampai akhir hidup mereka lebih memilih untuk meninggalkan Kristus. Betapa mudahnya bagi kita untuk tertutup oleh selubung ketidakpercayaan kepada Kristus, sehingga kita tidak mampu lagi melihat kuasa dan kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah. Di dalam II Kor. 4:3-4 rasul Paulus berkata, “Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah”.
Beberapa orang menafsirkan ucapan rasul Paulus tersebut untuk menunjuk orang-orang yang tidak percaya dan menolak Kristus selaku Tuhan dan Juru Selamat mereka. Tentunya tafsiran tersebut tidaklah terlalu keliru. Sebab surat rasul Paulus kepada jemaat Korintus tersebut dilatar-belakangi oleh pengalamannya saat ia memberitakan Injil di Troas dan di Makedonia (II Kor. 2:12-13) ketika sebagian orang mau menerima berita yang disampaikan, dan sebagian lain menolaknya (II Kor. 2:15-16). Tetapi selubung yang menutupi mata rohani itu sebenarnya tidak hanya terbatas kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus, tetapi juga dapat menutupi mata rohani orang-orang yang mengklaim diri mereka sebagai umat Allah, yaitu mereka yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari, pikiran kita lebih banyak dibutakan oleh ilah zaman ini seperti pola berpikir konsumerisme, sikap hidup yang hedonis (mencari kenikmatan dalam berbagai bentuk), kecenderungan yang egoistis, perasaan diri yang superior terhadap orang lain, upaya mengeksploitasi orang lain, secara sengaja mengembangkan sikap tamak, berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesama.
Dalam hal ini makna memiliki pikiran Kristus sering hanya diartikan manakala kita memiliki pikiran “dogmatis” tentang Kristus, tetapi sangat miskin memiliki pola mental yang etis sebagaimana yang telah dipancarkan oleh Kristus dalam seluruh kehidupan-Nya. Itu sebabnya kita sering gagal mempraktikkan makna “Imitatio Christi”. Hidup kita tidak pernah mampu berubah secara kualitatif karena kita menolak untuk diubahkan oleh Kristus. Karena hati kita telah berpaling dan terbelenggu oleh kuasa ilah zaman ini, maka kehidupan kita memancarkan gambar dan rupa dari kuasa dunia, walaupun secara dogmatis kita memiliki pengetahuan yang cukup kaya dan luas tentang Kristus.
Selubung yang menutupi mata rohani kita sering begitu lekat dan menyatu dengan kepribadian kita, sehingga kita sering tidak mampu bersikap obyektif dan kritis terhadap diri sendiri. Itu sebabnya yang kita kembangkan adalah mekanisme mempertahankan diri sendiri (defence of mechanism), dan bukan sikap koreksi diri (self-correction). Sehingga ketika Kristus berkenan membuka selubung yang telah terkristalisasi dalam kepribadian kita, maka kepribadian kita akan dioperasi oleh-Nya agar memungkinkan kita memperoleh pencerahan iman untuk melihat kemuliaan Kristus. Jika demikian, apakah kita bersedia diterangi oleh cahaya Kristus dan memperkenankan-Nya untuk membuka seluruh selubung yang menutupi mata rohani kita?
Kesetiaan Yang Berbuahkan Berkat
Pada saat nabi Elia akan diangkat ke surga, disebutkan bahwa ia senantiasa didampingi oleh nabi Elisa. Setiap kali nabi Elia menyuruh Elisa tetap tinggal di suatu tempat dan tidak mengikutinya seperti di Betel, Yerikho dan Yordan, ternyata Elisa lebih memilih untuk mengikutinya dan tidak mau meninggalkannya sedikitpun juga. Sikap nabi Elisa tersebut mencerminkan kesetiaan seorang murid yang tetap ingin berada di samping gurunya, sehingga ia berkata, “Demi TUHAN yang hidup dan demi hidupmu sendiri, sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan engkau” (II Raj. 2:2, 4, 6). Inilah kelebihan sikap nabi Elisa, yaitu kesetiaan dan kasih yang begitu tinggi kepada nabi Elia, gurunya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa ketika nabi Elia mengajukan pertanyaan kepada nabi Elisa, “Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu” (II Raj. 2:9), nabi Elisa tidak mau meminta apapun juga selain, “Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu”. Nabi Elisa hanya mengharapkan kekuatan roh yang telah dianugerahkan Allah kepada Elia agar ia dapat menunaikan tugasnya sebagai nabi Allah.
Permintaan nabi Elisa tersebut sebenarnya merupakan pemenuhan dari perintah Allah kepada nabi Elia (I Raj. 19:16). Allah telah menunjukkan kepada nabi Elia seorang calon pengganti yang baik dan setia, sehingga ketika nabi Elia diangkat ke surga, Allah berkenan membuka mata Elisa untuk menyaksikannya. Itu sebabnya nabi Elisa diperkenankan untuk memperoleh kekuatan dan wibawa kenabian dari nabi Elia (bdk. II Raj. 2:10-13). Itu sebabnya dalam seluruh karya nabi Elisa kita dapat melihat betapa besar kuasa Allah dinyatakan, sebagaimana Allah pernah menyertai dan memberkati nabi Elia. Demikian pula nabi Elisa diperlengkapi oleh Allah dengan berbagai kuasa mukjizat untuk menyelamatkan banyak orang yang menderita.
Apabila kesetiaan nabi Elisa dinyatakan agar ia dapat diperlengkapi dengan kuasa Allah, tidaklah demikian sikap Petrus pada saat ia menyaksikan peristiwa transfigurasi Kristus. Petrus berkata kepada Tuhan Yesus agar ia diperkenankan mendirikan tiga kemah yaitu untuk Tuhan Yesus, nabi Musa dan nabi Elia, demikian, “Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Mark. 9:5). Petrus ingin tetap bersama dengan Kristus, nabi Musa dan Elia di atas gunung itu. Sepertinya Petrus tidak ingin turun dari gunung untuk mendampingi Kristus dalam menunaikan tugas-Nya yang utama, yaitu menderita dan disalibkan.
Kesetiaan yang dipraktikkan oleh Petrus adalah kesetiaan yang pasif dan tetap berada dalam zona aman. Tetapi ketika ia menghadapi tekanan yang dianggap mengganggu rasa amannya, Petrus segera berubah menjadi orang yang tidak segan menyangkal Tuhan Yesus di hadapan orang banyak. Bukankah sikap kesetiaan kita kepada Tuhan Yesus seperti Petrus? Kita akan tetap setia kepada Kristus selama kita masih berada di zona aman, tetapi saat kita diperhadapkan pada sesuatu yang sulit dan berbahaya, maka kita segera berubah menjadi orang-orang yang menyangkal-Nya. Untuk itu kita perlu meneladani sikap nabi Elisa yang sedikit pun tidak mau meninggalkan nabi Elia sampai saat terakhir. Sehingga ketika nabi Elia telah pergi dan diangkat ke surga, nabi Elisa tetap melanjutkan tugas pelayanan nabi Elia dengan setia. Cahaya kemuliaan yang dipancarkan oleh Allah dalam peristiwa nabi Elia diangkat ke surga tetap terpancar dalam seluruh pelayanan nabi Elisa.
Panggilan
Cahaya kemuliaan Kristus yang disaksikan oleh Alkitab dan pemberitaan firman, bahkan juga dalam berbagai peristiwa hidup sehari-hari seharusnya makin memroses diri kita untuk semakin serupa dengan-Nya. Selaku umat percaya kita senantiasa terpanggil untuk terbuka “dioperasi” oleh kuasa Allah sehingga seluruh selubung yang menutupi mata rohani kita disingkapkan. Penyingkapan seluruh selubung kita akan bekerja semakin efektif, manakala kita mau meresponnya dengan sikap iman yang setia kepada Kristus. Dengan demikian mata rohaniah kita tidak lagi dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini, tetapi diterangi oleh cahaya kemuliaan Kristus sehingga hidup kita senantiasa dapat memancarkan kemuliaan-Nya. Amin.
Pdt. Yohanes B. Mulyono
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.