Salah satu kata kunci dalam Mazmur 78 adalah “menceritakan.” Cerita yang dimaksud adalah tindakan kasih Allah bagi anak-anak-Nya. Ketika Allah bertindak bagi manusia yang menyejarah, maka tindakan tersebut pun berlangsung dalam sejarah—dalam rentetan peristiwa. Dalam cerita atau narasi kasih Allah, umat Allah dihisab masuk ke dalamnya dan menjadi bagian dari kisah tersebut, sekalipun tetap saja aktor utamanya adalah Allah sendiri.
Maka, kita memiliki tugas ganda. Pertama, kita harus berpartisipasi ke dalam kisah kasih Allah itu, dengan porsi yang dapat kita kerjakan. Kedua, kita harus menceritakan ulang kisah kasih Allah itu kepada generasi di bawah kita. Dengan cara itulah, kekristenan terus hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan itulah setepatnya makna dari kata “tradisi.” Tradisi adalah penurunalihan kisah kasih Allah dari satu generasi ke generasi berikutnya, agar mereka terus terlibat di dalam kisah Allah itu.
Mungkin peran kita dalam kisah kasih Allah akan sirna dan berhenti, namun kisah Allah akan terus berlangsung. Gereja-Nya akan terus bertumbuh subur. Saya lantas teringat pada ucapan Jaroslav Pelikan, “Tradisi adalah iman yang hidup dari mereka yang telah mati; tradisionalisme adalah iman yang mati dari mereka yang masih hidup.” Nah, semoga apa yang kita kisahkan adalah sebuah tradisi iman yang hidup, sekalipun kita akan mati menyusul pada leluhur iman kita. Semoga kita tidak tengah meneruskan sebuah tradisionalisme yang justru baku, beku, kaku … dan mati.
ja
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.