Beberapa minggu telah berlalu merayakan Paska. Tentu masih ingat betapa kita memulai hari yang menentukan itu tidak dengan berpikir-pikir bagaimana mungkin Kristus bangkit dari kematian. Sebaliknya kita menyanyikan lagu-lagu pujian atas kebangkitan-Nya dengan penuh sukacita dan rasa syukur. Karena itulah yang kita dambakan. Dan kita mendambakannya bersama dalam persekutuan dengan saudara-saudara seiman dan sehati meyakini serta berbagi salam: “Tuhan sungguh bangkit!”
Bagaimana pun perayaan selalu membawa kita pada penghayatan baru. Apakah hakikatnya makna Paska dan makna kebangkitan-Nya? Pertanyaan-pertanyaan yang senantiasa digumuli oleh gereja dalam upayanya menggarisbawahi, bahkan lebih memantapkan lagi imannya. Tetapi di sekitar Paska bukan hanya pertanyaan seperti itu yang muncul, melainkan juga suara-suara yang meragukan, bahkan yang tidak memercayai Paska. Juga amat menarik bahwa suara semacam itu tidak saja berasal dari luar, tetapi juga dari dalam kalangan orang percaya. Beberapa tahun lalu, di lingkungan gereja reformasi di Belanda, dua orang teolog yang berwibawa sempat mengutarakan keraguan mereka, sehingga menimbulkan gelombang protes di antara warga jemaat. Bahkan di gereja kita, pernah seorang pendeta yang juga dosen, menyatakan ketidakpercayaannya atas kebangkitan-Nya. Karena ia berkeras hati dengan keyakinannya itu, kependetaannya terpaksa ditanggalkan. Dan kini menjadi penulis yang dengan lebih menyebarluaskan ketidakpercayaannya, serta kebebasan berpikirnya itu.
Hal itu bukanlah kabar baru. Paulus, pada masanya, juga harus menghadapinya, sebagaimana yang bisa kita simak dalam suratnya kepada jemaat di Korintus. Terutama pasal 15 yang amat terkenal itu, karena secara khusus di situ Paulus membahas hal kebangkitan. Sebagian besar jemaat Korintus yang disapa Paulus adalah orang Yunani tulen. Sebagai orang Yunani, mereka memahami dan memercayai penyelamatan, bahkan kebangkitan jiwa atau roh. Tetapi mustahil bagi mereka untuk percaya pada kebangkitan tubuh. Oleh karena itu, kebangkitan orang mati bagi mereka tidak lebih daripada kebangkitan roh dari tubuh yang mati. Begitu pun kebangkitan Kristus bagi mereka hanyalah kebangkitan roh.
Cara berpikir seperti ini kerap kali hidup pada banyak orang, yang pada satu sisi tidak mau kehilangan Paska dengan segala keindahannya, namun pada sisi lain sulit menerima kepercayaan atas kebangkitan-Nya. Memang telah terjadi sesuatu pada hari pertama minggu itu, dan pada 40 hari sesudahnya, juga pada para murid. Tak seorang pun dapat menyangkalnya. Namun apakah telah terjadi sesuatu pada Yesus sendiri? Masih dapatkah kita memahami dan memercayainya secara harfiah lebih dari 20 abad kemudian? Tidakkah lebih baik bila kita memusatkan perhatian pada nilai-nilai yang rohani sifatnya? Oleh karena itu tidakkah sebaiknya Paska dipahami saja sebagai kebangkitan roh? Tidakkah efek dari pesan kebangkitan jauh lebih penting ketimbang kebangkitan itu sendiri? Apalagi efeknya amat jelas: olehnya para rasul begitu tergerak untuk mengabarkan dan menyebarkan Injil. Pula sejak itu gereja terus bertumbuh, betapa pun rintangan yang dialaminya. Tidakkah lebih aman dan lebih baik bila kita tidak terlalu berkeras memberitakan kebangkitan tubuh dari Kristus? Sebab bagaimana pun tak seorang pun dapat menyangkali bahwa Kristus dan kasih-Nya adalah sumber yang tak ternilai dari motivasi orang percaya. Dan tidakkah itu tidak ada hubungannya dengan pertanyaan apakah Ia benar bangkit atau tidak? Begitulah kira-kira beberapa pemikiran dan pertimbangan yang berkecamuk di kepala banyak orang di zaman ini.
Paulus menjawab berbagai keraguan dan ketidakpercayaan semacam itu dengan amat bersemangat, tetapi juga dengan cara yang luar biasa. Dalam 1 Korintus 15:14 ia berkata: “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan…” –yang dimaksudkan Paulus adalah: “Bila pada hari yang pertama pada minggu itu tidak terjadi apa-apa pada Kristus, jika pada Paska tidak terjadi apa pun pada Yesus di dalam kubur– “…maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu!” Jadi menurut Paulus, bila pada hari itu hanya terjadi sesuatu pada murid-murid dan tidak terjadi apa pun pada Yesus, maka segalanya itu tak ada maknanya. Sebab itu berarti bahwa semua pemberitaan para rasul dan gereja tak berisi. Maka tak ada gunanya membaca Alkitab atau pergi ke gereja. Tak perlu lagi kita menyebut diri Kristen, karena iman kita kosong-melompong.
Banyak orang berpendapat bahwa ucapan Paulus ini aneh, keras bahkan tak dapat diterima. Karena tidakkah amat penting bahwa banyak orang dimotivasikan dan diilhami oleh Roh Kudus, oleh teladan dan kasih Kristus? Bukankah itu semua amat hakiki bagi hidup orang-orang itu dan bagi hidup orang lain? Tidakkah itu jauh lebih penting ketimbang perdebatan teologis mengenai penampakan Yesus yang bangkit, dan tentang apa yang terjadi pada tubuh Yesus yang mati? Begitulah biasanya berbagai reaksi yang dapat kita dengar, baik di luar mau pun di dalam gereja.
Tetapi Paulus mengatakan: “Bila Kristus tidak bangkit, dan pada-Nya tidak terjadi apa pun, kubur-Nya tidak kosong sehingga Ia tidak dapat dilihat oleh murid-murid-Nya, maka semua pemberitaan tentang-Nya tak berisi…!” Maka memang telah terjadi sesuatu pada para murid, namun tak ada apa pun yang patut diberitakan, yaitu karya penyelamatan Allah. Tak ada pula topik iman yang berisi bukan tindakan manusia, melainkan tindakan Allah.
Karena, bila kebangkitan Kristus hanyalah berarti Ia bangkit dan tetap hidup di hati para pengikut-Nya, maka Kristus cuma salah satu dari para nabi, pahlawan, atau martir. Sebab mereka itu juga, setelah kematian mereka, tetap hidup dalam kenangan atas keberanian mereka, atas kekuatan ucapan-ucapan mereka, atas teladan dan kasih mereka. Tentu itu semua bukanlah sesuatu yang tak bermakna. Sebaliknya semua itu adalah luar biasa. Bagaimana mereka itu tetap hidup dalam hati kita. Contohnya adalah bagaimana tetap mengalami kehadiran seorang ayah, ibu atau pasangan hidup, walau pun mereka telah lama tiada. Tetapi itu bukanlah Injil. Bukan pula iman Kristen. Dan dengan begitu tak ada karya besar Allah pada hari itu yang patut untuk diberitakan. Tak ada pula apa pun yang patut untuk dipercaya.
Bila tak terjadi apa pun pada Kristus, maka kita tak bisa berkata apa pun mengenai penderitaan dan kematian-Nya. Bila Kristus tidak bangkit, maka pengorbanan Kristus memang bisa menjadi teladan dan inspirasi bagi banyak orang, tetapi tidak lebih dari itu. Memang Ia mati karena dosa kita, namun Ia tidak dibangkitkan demi pembenaran kita. “…dan kamu masih hidup dalam dosamu…” kata Paulus. Maka tiada harapan bagi kita.
Paulus melanjutkan penjelasannya dengan ini: “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia…” Mengapa? Karena lalu kita bahkan lebih malang ketimbang orang-orang yang tidak percaya. Bukan karena lalu tak ada yang dapat diharapkan sesudah hidup ini, sebab dengan begitu kita sama dengan orang-orang yang tidak percaya. Kita adalah orang-orang yang lebih malang ketimbang orang-orang yang tidak percaya, karena ternyata harapan dan kepercayaan kita dalam hidup ini sama sekali meleset. Karena bukankah Kristus pernah berkata kepada kita: “Nantikanlah Allah! Ia akan menyelamatkanmu!” Ia telah menjelaskan kepada kita hal dosa dan pengampunan, hal keadilan serta penghakiman. Ia telah menaungi kita di bawah bayang-bayang salib-Nya. Ia telah menghisabkan kita dalam janji dan panggilan Allah.
Pada hari pertama minggu itu, hari Minggu Paska, telah terjadi sesuatu pada para murid, yang menjadikan mereka lebih ketimbang sekadar murid-murid. Mereka menjadi rasul-rasul, para utusan Kristus. Dan itu hanya bisa terjadi, karena pada saat itu terjadi sesuatu pada Yesus. Inilah dasar bahkan hakikat dari segalanya: Tuhan benar-benar bangkit!
Bila masih ada pertanyaan begini: “Mengapa Anda justru percaya kepada Yesus dari Nazaret itu ketimbang para martir dan nabi di sepanjang sejarah manusia?” maka mestinya hanya ada satu jawaban: “Karena saya percaya kepada Allah, maka saya percaya kepada Yesus dan kebangkitan-Nya!” Atau bisa juga kebalikannya: “Karena saya percaya kepada Yesus, maka saya percaya kepada Allah!” Karena kita percaya bahwa Allah adalah Allah, maka kita dapat percaya pada kebangkitan. Dan bila Allah tidak membangkitkan Kristus, maka kita mestinya bukan hanya mengatakan bahwa mati adalah mati, tetapi juga mengatakan bahwa kita masih berada dalam dosa. Berada dalam keadaan sebelum Paska.
Karena Kristus bangkit dan hidup, maka telah terjadi sesuatu pada para murid. Karena Ia bangkit dan hidup, maka telah dan terus terjadi sesuatu pada kita dan pada gereja. Kata-kata dari sebuah lagu rohani yang amat kita kenal berbuyi demikian: “S’bab Dia hidup, ada hari esok… S’bab Dia hidup, ‘ku tak gentar…” Amat tepat. Kita memang tak perlu takut pada apa yang akan terjadi pada hari esok, bahkan pada apa yang akan terjadi sesudah kehidupan ini. Oleh kematian dan kebangkitan-Nya, Kristus telah menjadikannya sesuatu yang tidak lagi menakutkan. “Kar’na ‘kutahu Dia pegang hari esok… Hidup jadi berarti s’bab Dia hidup..!” Benar. Hidup hanyalah bermakna bila ada harapan. Harapan yang hanya mungkin karena Ia hidup!
Karena Ia hidup kita dapat melakukan apa pun yang harus kita lakukan sebagai pengikut-pengikut-Nya. Karena Ia hidup, maka gereja dan jemaat punya makna. Karena Ia hidup, kita bahkan tak perlu mengkhawatirkan masa depan gereja dan jemaat serta orang percaya di mana pun, betapa pun berat permasalahan mereka. Karena Ia hidup, kita bangun masa depan kita dalam hidup ini, mau pun dalam Kerajaan-Nya. Karena Ia hidup, maka kita hidup bergereja di mana-mana, merayakan Perjamuan Kudus, membaptiskan orang percaya dan anak-anak kita, dan memberitakan Firman Tuhan.
Maka sekarang pertanyaannya adalah: “Percayakah kita… percayakah kita bahwa Kristus telah bangkit dan hidup? Apakah kita mendasarkan iman kita pada fundamen ini: karena Ia hidup..?” Bila tidak, maka hidup ini tak ada artinya. Gereja dan jemaat pun tak berguna. Dan bila tidak, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.
Pdt. Purboyo W Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.