Selagi kita menghabiskan waktu melihat update sosial media, seorang prodigy terus bertumbuh melakukan hal kesukaannya.
Prodigy adalah seseorang yang mempunyai kemampuan luar biasa di suatu bidang tertentu. Beberapa orang sering mengaitkannya dengan anak di bawah usia kerja, tapi ada juga yang disebut prodigy dewasa. Konon katanya, jika kita mempunyai suatu bakat, dan bakat itu mulai diasah dari umur lima tahun, maka ketika menjadi pemuda, kita mungkin menjadi seorang prodigy. Misalnya, Badu mempunyai bakat melukis, lalu pada umur lima tahun, ia dimasukkan ke sekolah seni. Di situ ia melukis, dan melukis, dan melukis. Pada umur 17 tahun, kemungkinan besar ia akan menjadi seorang prodigy melukis. Namun masalahnya, pada umur lima tahun, seorang anak belum ketahuan mempunyai bakat dan minat di mana. Bisa jadi, Badu mempunyai bakat melukis, tapi pada umur lima tahun, ia malah masuk sekolah sepak bola. Mungkin karena ayahnya senang main bola. Atau yang paling umum terjadi, pada umur lima tahun, anak masuk ke sekolah umum, yang di dalamnya disuguhkan semua bidang pelajaran, sehingga bakat sesungguhnya tidak terasah, dan tidak memunculkan seorang prodigy.
Inilah kisah nyata tentang seorang anak bernama Efren Reyes. Di sebuah kota di Filipina, Reyes yang berumur lima tahun dibesarkan oleh pamannya dengan bekerja di tempat bilyar, karena ayahnya tidak mempunyai uang. Bayangkan, umur lima tahun bekerja di tempat bilyar. Di tempat ini, Reyes bermain dan belajar bilyar. Beranjak sebagai pemuda, Reyes menjadi pemain bilyar yang sangat baik, memenangkan turnamen lokal dan berhasil dilirik seorang promotor. Umur dua puluh empat, ia mewakili Filipina dalam permainan bilyar di Jepang. Umur dua puluh sembilan, ia berhasil mengalahkan pemain top di Filipina dan namanya masuk dalam golongan pemain bilyar nasional. Menjalani umur tiga puluhan, ia berkeliling dunia memenangkan turnamen demi turnamen internasional. Dan sampai sekarang, Reyes dikenal sebagai pemain bilyar terbaik di dunia. Inilah salah satu contoh seorang prodigy yang dalam hal ini sangat mahir bermain bilyar. Efren Reyes menemukan bakat, kesukaan, dan jalan hidupnya ketika pada umur lima tahun ia dikirim ke tempat bilyar milik pamannya, dan menjadi pemain bilyar yang luar biasa.
Di Alkitab juga ada kisah seperti Efren Reyes. Ayahnya bernama Elkana, ibunya bernama Hana. Ia seorang anak bernama Samuel. Ia diserahkan ke bait Allah, kepada seorang imam yang bernama Eli. Jika Efren Reyes diserahkan ke tempat bilyar pada umur lima tahun, Samuel diserahkan ke bait Allah pada umur tiga tahun. Bayangkan, umur tiga tahun sudah hidup di Bait Allah. Karena dibesarkan di bait Allah, tidak heran bila ia menjadi seorang prodigy. Ia dipakai Tuhan menjadi orang yang multitalenta. Samuel bisa menjadi nabi, bisa jadi hakim, bisa jadi imam, dan dialah yang mengurapi raja pertama Israel. Efren Reyes dan Samuel keduanya dikenal serba bisa di bidangnya, alias prodigy.
Membaca biografi Efren Reyes, atau Samuel, membuat kita terinspirasi, atau bisa juga kehilangan motivasi. Karena kita tidak seperti Efren Reyes yang menemukan kesukaan, bakat, dan jalan hidup sejak kecil. Atau Samuel yang tujuan hidupnya sudah ditentukan oleh orangtuanya semenjak batita. Kita hanya pemuda biasa dengan kesukaan biasa, bakat seadanya, dan jalan hidup yang dialami pemuda lainnya. Lagi pula pada umur lima tahun kita tidak seperti Reyes yang tidak sekolah dan hanya menghabiskan waktu untuk fokus di tempat bilyar. Kita masuk sekolah, belajar seperti anak-anak biasa. Selain itu, bisa jadi kita kehilangan motivasi karena disadarkan bahwa kita menghabiskan waktu kita melakukan hal yang tidak berguna—sekalipun menyenangkan—tapi tidak membuat kita lebih baik di bidang tertentu, sama sekali. Kita bermalas-malasan, sambil di saat yang sama kita bermimpi menjadi prodigy seperti Reyes.
Namun, ada suatu fakta unik tentang seorang prodigy. Pertama, ia tidak peduli bahwa ia sangat hebat. Efren Reyes diberi nama tengah “Bata” oleh penggemarnya dari Filipina. Jadi ia sering dipanggil Efren “Bata” Reyes. “Bata” dalam bahasa Filipina, artinya bocah. Ini karena saat bermain bilyar, Efren selalu tersenyum, sama seperti seorang bocah ketika bermain mainan kesukaannya. Oleh karena itu, ia dijuluki bocah. Efren selalu menikmati permainan, baik ketika ia melawan orang yang hebat, maupun ketika ia melawan yang amatir. Walau ia sangat hebat, ia seperti tidak peduli dengan kehebatannya, yang penting baginya adalah bermain bilyar. Bermain bilyar adalah yang utama, sedangkan kejuaraan, uang, dan ketenaran hanyalah bonus. Sama seperti Samuel. Samuel juga seorang pemimpin rohani yang sangat hebat. Ia adalah hakim yang terakhir. Namun, karena anak-anaknya berlaku tidak jujur, maka keturunannya tidak bisa meneruskan jejaknya menjadi hakim. Pada saat yang sama, rakyat Israel meminta sistem hakim diganti dengan sistem monarki. Samuel bertanya kepada Tuhan, dan Tuhan menerima permintaan rakyat Israel. Samuel ikut Tuhan dan mengurapi Saul menjadi raja. Karena amat mencintai Tuhan, ia tidak peduli keturunannya tidak jadi raja. Ia pun tidak tertarik menjadi raja. Selama dekat dan taat kepada Tuhan, kedudukan atau jabatan tidak penting. Ia hanya ingin menjalankan tugasnya sebagai hamba yang dipakai-Nya.
Fakta unik yang kedua dari seorang prodigy: ia tidak berusaha membuat dirinya menarik. Pada saat remaja, kita mencari jati diri. Kita memilih dan memutuskan mau jadi apa kita nanti. Kita mau menjadi seorang yang terbaik dalam bidang tertentu, sehingga dapat terlihat menarik di mata teman-teman. Seorang prodigy tidak melewati masa itu. Ia sudah memutuskan siapa dirinya sejak kecil. Dan karena ia sangat hebat dengan apa yang dilakukannya, ia sudah otomatis menjadi menarik. Memang sungguh mengesalkan jika menjadi teman seorang prodigy. Badu adalah teman Efren Reyes. Ia juga hobi bermain bilyar. Suatu ketika, ia membawa temannya—seorang perempuan yang disukainya—ke klub bilyar yang cukup bergaya. Ia mau menunjukkan beberapa trik tembakan dan teman perempuan ini kagum. Namun, terdengar sorakan dari keramaian di meja lain yang menarik teman perempuan Badu untuk ke sana. Ternyata Efren Reyes sedang bertanding. Ketika Efren Reyes menembak bola bilyarnya dengan trik yang sangat hebat, seluruh penonton bersorak. Termasuk teman perempuan Badu yang langsung menjadi fans berat Efren Reyes. Badu pun ditinggal, ia bermain bilyar sendirian. Tiba-tiba, tiga orang pria asing mendatangi mejanya. Mereka mengajaknya bermain, karena ternyata nasib mereka juga ditinggal teman kencan mereka. Semua perempuan ingin melihat pertandingan Reyes. Begitulah nasib menjadi orang yang berkemampuan biasa-biasa saja.
Fakta unik yang ketiga dari seorang prodigy adalah: ia tidak mempunyai keinginan menjadi orang lain. Ia tidak pernah mengidolakan seseorang. Mungkin ketika masih kecil, Reyes mengidolakan seorang pemain bilyar yang sangat jago. Namun, pada saat remaja, ia sudah bisa melakukan trik tembakan idolanya. Ketika beranjak pemuda, trik tembakan tersebut sudah disempurnakan dan bahkan lebih baik lagi. Tokoh idola yang dulu menjadi gurunya, kini telah disusulnya. Ada yang mengatakan bahwa tembakannya seperti sulap. Ada juga yang mengatakan bahwa ia sangat beruntung, maka tembakannya bisa masuk terus. Namun sebenarnya, ia hanya menghabiskan sebagian besar masa kecilnya dengan berlatih bilyar sehingga tembakannya sangat sempurna dan tampak seperti sulap. Dan makin sering ia berlatih, makin sering ia kelihatan beruntung.
Refleksi dari Prodigy
Ciri-ciri orang yang bukan prodigy adalah hidupnya biasa saja. Orang yang biasa saja sepertinya punya tujuan yang dikejar dalam hidupnya. Kita berharap menjadi prodigy dalam suatu hal. Beberapa dari kita amat senang dan menikmati kata “improvisasi”. Kita menginginkan suatu perkembangan, suatu perubahan yang menuju lebih baik. Jika dalam persekutuan pemuda, kita ingin ibadah yang lebih membangun atau jumlah jemaat yang hadir lebih banyak. Kita mengadakan rapat untuk membuat perubahan yang lebih hebat, bahkan studi banding ke gereja lain untuk mengambil beberapa ilmu baru guna diterapkan di persekutuan pemuda. Kadang-kadang kita belum sempat fokus dan setia dalam bidang pelayanan yang kita lakukan, tetapi lebih tertarik dengan improvisasi. Lalu, yang sering terjadi adalah, ketika masa pelayanan berakhir, kita merasa belum melakukan apa-apa bagi Pemuda—karena kita hanya mencoba, memikirkan, dan meneliti suatu improvisasi—dan belum sempat melakukan pelayanan secara fokus dan detail. Padahal masih ada tugas yang amat besar, yaitu sebuah keharusan melakukan estafet improvisasi yang kita inginkan kepada pengurus setelah kita. Ketika tahun berikutnya kita melihat pengurus baru tidak bisa mengerjakan improvisasi yang telah kita estafetkan, kita merasa kecewa dan gagal. Padahal sebenarnya tidak ada yang salah, hanya pelaksanaan improvisasi saja yang kurang waktunya. Karena memang sebuah improvisasi sebenarnya memerlukan proses waktu yang panjang.
Jika kita terlalu fokus pada improvisasi, kita berisiko lupa untuk menikmati pelayanan yang kita lakukan. Prodigy tidak pernah berusaha untuk menarik orang. Namun karena ia amat setia dalam bidangnya—sehingga amat hebat—maka ia menarik orang. Kita ingin jemaat yang lebih banyak, atau kebaktian yang lebih membangun—tapi kita sendiri melayani dengan setengah hati—bagaimana mungkin kita bisa menarik orang? Kadang-kadang, kita juga lupa bahwa kita paling baik menarik orang-orang yang mempunyai profil seperti kita. Seorang senior veteran yang baru pertama masuk ke gereja, akan melihat apakah ada orang-orang seusianya yang beribadah di tempat yang sama. Jika ia menemukannya, besar kemungkinan ia akan kembali Minggu depan. Sepasang suami istri dengan dua anak—yang baru pertama kali masuk gereja—juga akan melihat sekitarnya, jika bisa menemukan keluarga dengan komposisi yang sama. Seorang pemuda yang baru pertama kali datang ke kebaktian pemuda, akan mencari pemuda dengan pose berdiri yang sama, gaya tepuk tangan yang mirip, gaya berpakaian yang serupa, atau gadget yang sama. Jika ia menemukan profil pemuda yang mirip atau sama, kemungkinan besar ia akan kembali tertarik untuk bergabung. Jemaat baru akan melihat sekeliling, karena mereka pun mencari teman yang senasib. Jemaat baru paling baik disambut oleh pengurus yang mempunyai profil yang paling mirip dengannya. Bukan oleh pengurus yang bertugas sebagai usher, pengurus pemerhati yang lebih ekstrover, lebih humoris, lebih ramah, dan sebagainya. Jika saja semua pengurus setia dan fokus melayani Tuhan, jemaat pasti akan merasakannya. Jika jemaat merasakan bahwa semua yang melayani itu menikmati apa yang mereka lakukan, ia akan otomatis kembali Minggu depan. Dan semua yang dibicarakan mengenai pengembangan jemaat akan terjadi dengan mudah.
Lakukan apa yang kita harus lakukan. Tidak peduli kita seorang prodigy atau bukan. Pertandingan Efren Reyes sudah selesai. Keempat laki-laki yang ditinggalkan teman kencan mereka masih menunggu. Para gadis sudah kembali, menghampiri keempat laki-laki itu, termasuk gadisnya Badu. Setelah tiap pasangan bersatu, mereka berpisah melanjutkan aktivitas masing-masing. Teman Badu—si gadis ini—masih bersemangat mengulas pertandingan bilyar tadi. “Hebat sekali tadi Om Efren Reyes!” Badu tidak merespons apa-apa. Si gadis melanjutkan “Pasti Efren Reyes sangat sibuk bermain bilyar. Bahkan mungkin, dia tidak punya waktu untuk jalan-jalan seperti kita sekarang. Untung kamu bukan Efren Reyes, jadi bisa jalan-jalan. Yuk, sekarang cari snack lalu lanjut nonton.”
>>Samuel Sebastian
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.