Tears are words the heart can’t express (anonim)
Tak sepatah kata pun terluncur dari mulut perempuan itu. Bungkam. Diam. Jika pun ia berucap, riuhnya pesta di rumah Simon pastilah bakal meredam suara lirihnya. Situasi siang itu sungguh canggung. Yesus datang ke rumah seorang Farisi, yang terpisah dari kebanyakan orang karena cara hidupnya yang saleh. Lantas, si perempuan berdosa itu mendesak masuk. Di hadapan Yesus, dua dunia berhadapan: si Farisi dan pendosa. Dan, untunglah, Yesus tidak mencoba memperdamaikan keduanya. Yesus justru mengkonfrontasikan keduanya. Dan Ia tak berdiri di tengah dan berkata bijak, “Saya netral!” Tidak!
Yesus memilih untuk berdiri di sisi si pendosa itu. Hati-Nya tergerak oleh airmata penuh penyesalan si perempuan itu, air mata yang muncul karena pengampunan ilahi. Dan segera, wewangian rahmat Allah memenuhi ruangan rumah itu … jauh lebih semerbak ketimbang bau parfum yang dituang perempuan itu. Semerbak menakjubkan itu muncul tatkala rangkulan ilahi penuh pengampunan dibasahi oleh tetes air mata si pendosa. Geoffrey dari Vendome (1093-1132) menulis peristiwa indah itu begini:
Kita tidak membaca bahwa perempuan itu berbicara, namun bahwa ia menangis; dan sekalipun demikian kita percaya bahwa ia berbicara dengan cara yang lebih baik, namun dengan air mata ketimbang kata-kata. Sungguh, berbicara dengan air mata lebih berarti di mata Allah. Sementara perempuan itu menjaga mulutnya bungkam, air mata mengalir deras; dan sementara lidahnya diam, air matanya mengucap pengakuan dengan lebih baik. (Sermon IX, PL 158, 271-72)
JA
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.