Pernah terjadi, seorang pemuda dan seorang gadis yang hendak menikah di gereja, terganjal adat, padahal mereka berasal dari suku yang sama. Masalah utamanya adalah perbedaan prinsip menyangkut sikap terhadap adat yang sama di antara kedua keluarga mereka. Pihak yang satu menghendaki agar segala tata cara pernikahan menurut adat suku mereka dilaksanakan secara utuh dan lengkap. Sebaliknya, pihak yang lainnya sama sekali tidak setuju, bahkan berpendapat, sesuai dengan ajaran gereja mereka, bahwa pelaksanaan adat adalah salah, karena latar belakang praktik adat diyakini sebagai praktik penyembahan roh nenek moyang, yang berarti melanggar kehendak Tuhan.
Perbedaan prinsip menyangkut adat di antara kedua keluarga ini terus bereskalasi. Berbagai upaya mediasi gagal. Bahkan ditolak mentah-mentah terutama oleh keluarga yang menolak pelaksanaan adat, karena menurut mereka hal itu adalah masalah iman. Keluarga yang pertama sudah berusaha mengalah, dengan mengusulkan agar adat dilaksanakan secara minimal, asalkan yang utama dilakukan. Namun keluarga yang kedua bergeming pada sikap mereka.
Yang kasihan adalah kedua calon mempelai, yang bak pelanduk mati di tengah gajah yang bertarung. Mereka tentu kenal adat suku mereka sendiri, tapi seperti banyak orang muda sezamannya, mereka tak terlalu memusingkannya. Apalagi keduanya sempat mengenyam studi di Eropa selama beberapa tahun. Namun mereka dihadapkan pada dilema yang sulit: menurutkan hati atau melawan kehendak orangtua. Itu pun mereka masih harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kedua keluarga mereka bertentangan dalam masalah adat.
Akhirnya dengan berat hati dan setengah memaksa keduanya menyampaikan kepada keluarga masing-masing bahwa pilihan mereka cuma dua. Yang pertama mereka hendak menikah sendiri di luar negeri tanpa upacara apa pun. Atau yang kedua, mereka menikah di gereja yang netral, tanpa adat, hanya upacara gerejawi. Yang terakhir inilah yang kemudian diterima, walau tidak dengan mudah. Keluarga pertama sebenarnya merasa dikalahkan, karena adat sama sekali tidak diindahkan. Sedangkan keluarga kedua juga cukup kecewa karena ibadah pernikahan tidak dilaksanakan di gerejanya sendiri.
Apakah sebenarnya adat itu? Pentingkah, atau bahkan, begitu menentukankah ia, sehingga nyaris menggagalkan pertautan hati dua anak Tuhan yang hendak menyatukan diri dalam nama-Nya? Bagaimanakah kita sebagai orang percaya mesti menyikapinya?
Menurut banyak pakar, adat adalah “something that refers to the habitual behaviour of a society” 1. Ia merepresentasikan respons yang wajar dan tipikal dari setiap kelompok masyarakat, terhadap kondisi-kondisi hidup, relasi interpersonal dan lingkungan. Bisa juga dikatakan bahwa adat adalah praktik sehari-hari dari kebudayaan. Kebudayaan memberikan kerangka, tata nilai, kesepakatan dan aturan yang dipegangi turun-temurun. Di sini saya amat terkesan oleh ungkapan Voltaire (penulis/filsuf Perancis 1694-1778), tentang kebudayaan: “Culture is the spirit of the people”.
Oleh karena itu terdapat banyak sekali budaya dan lebih banyak lagi adat. Apalagi di bumi Indonesia yang sangat beragam ini. Sehingga perjumpaan, bahkan pergesekan berbagai adat dan budaya, adalah sesuatu yang alami, biasa. Terkadang gesekan itu bisa tajam, tetapi pada umumnya dapat diselesaikan dengan baik. Dan akibatnya lahirlah berbagai “penyesuaian” pada berbagai adat itu. Sehingga pada hakikatnya adat dan budaya itu dinamis, sebagaimana manusia sendiri juga (mestinya) tidak statis, tetapi tumbuh dan berkembang.
C.A. Van Peursen2 menganjurkan untuk merencanakan perkembangan kebudayaan dengan sebaik-baiknya, terlebih di tahap perkembangan budaya yang fungsional saat ini. Proses belajar dalam kebudayaan menghasilkan bentuk-bentuk baru dan menimbun (akumulasi) pengetahuan dan kepandaian. Ini tidak berarti bahwa lewat proses belajar selalu dihasilkan buah-buah yang positif. Lewat trial and error manusia menjadi kian bijaksana, kekeliruan dan kesalahan yang dialami, ada manfaatnya.
Namun, proses belajar itu tidak selalu terjadi dengan baik. Orang terkadang tergoda untuk bersikukuh pada yang dipeganginya, sehingga alih-alih “belajar”, yang mereka lakukan adalah memutlakkan apa yang dipeganginya dan mempertentangkannya dengan apa pun yang berbeda. Repotnya, kerap kali justru orang-orang Kristenlah yang tidak terlalu berhasil dalam proses belajar mengembangkan budayanya, karena terjebak dalam perangkap seperti itu.
Takkan terlupakan oleh saya ketika pada suatu hari Minggu, kami sekeluarga—ayah, ibu, saya dan adik saya laki-laki—bersiap untuk menuju ke pemakaman. Beberapa bulan sebelumnya adik saya bungsu, laki-laki, meninggal. Sejak itu setiap hari Minggu, seusai ibadah di gereja, kami ke makam adik saya dan berdoa di situ. Tiba-tiba datanglah seorang ibu yang mencela kami, dan mengatakan bahwa sebagai orang Kristen kami melakukan kesalahan karena berdoa di makam bagi adik kami yang telah berada aman di sisi Tuhan. Ibu saya amat marah. Ini adat Jawa yang baik untuk nyekar3, apalagi berdoa mengenang adik kami yang amat kami kasihi, sesuatu yang sangat kami pandang penting.
Hal yang mirip dengan itu saya alami dalam sebuah ibadah penghiburan, ketika menjadi calon pendeta di Klaten. Waktu saya tiba di rumah duka, seperti yang biasa dilakukan oleh banyak orang, saya berdiri sejenak di depan peti jenazah, menundukkan kepala. Anggota keluarga yang hadir langsung berdiri dan begitu saya selesai, mereka menyalami saya. Setelah itu ibadah penghiburan berlangsung dengan khidmat. Namun seusai ibadah, seorang penatua menegur saya dengan keras. Menurut beliau, sebagai seorang calon pendeta, saya seharusnya tidak memberi hormat atau mendoakan yang sudah meninggal, dan sebaliknya memberi contoh, bahwa menurut iman kristiani hal itu tidak dibenarkan.
Hemat saya sikap ini antara lain ditularkan kepada kita oleh para zendeling (pekabar Injil) asing (biasanya dari Eropa), yang membawa kekristenan Eropa ke Indonesia. Apa yang “tidak lazim” di Eropa dicurigai, bahkan ditolak, dan dihakimi sebagai tidak sesuai dengan iman kristiani. Sikap antagonistis terhadap budaya seperti inilah yang melatarbelakangi apa yang terjadi pada pernikahan pasangan sesuku di atas, maupun yang pernah dialami oleh keluarga saya dan saya. Barangkali karena inilah banyak orang Kristen tidak peduli, bahkan kurang menghargai budaya dan adat mereka sendiri.
Selain sikap antagonistis seperti itu, ada beberapa sikap yang lain terhadap budaya. Ada misalnya orang yang bersikap akomodatif, bahkan setuju penuh terhadap budaya. Untuk itu semua hal sebisanya dicocokkan dengan adat dan budaya. Banyak orang Kristen amat khawatir pada sikap ini karena takut bahwa iman Kristen lalu disesuaikan bahkan, dikorbankan demi adat dan budaya. Oleh karena itu, ada yang lalu bersikap dengan tegas bahwa iman kristiani harus diyakini di atas adat dan budaya. Apa yang tidak sesuai dengan iman Kristen, mesti ditolak, dan sebaiknya “ditobatkan”. Misalnya, kebiasaan upacara 40 hari sesudah kematian, diubah menjadi ibadah syukur dan penghiburan. Namun di titik ini perlu disadari bahwa kita berhadapan dengan keberagaman pendirian dalam kekristenan tentang banyak hal. Mulai dari kebiasaan-kebiasaan ibadah setiap hari, hingga nilai-nilai etis, bahkan pemahaman tentang kekudusan hidup dan keselamatan.
Itu sebabnya ada yang dengan sederhana memisahkan keduanya, adat dan budaya dengan iman kristiani, secara tegas. Ketika berada dalam ranah iman, maka semua yang berbau adat dan budaya dihindari. Dan sebaliknya, ketika berada dalam ranah adat dan budaya, semua aspek religius.
Pada akhirnya sikap kita terhadap adat dan budaya amatlah ditentukan oleh pendirian kita tentang banyak hal, termasuk nilai-nilai dalam iman kristiani. Ketimbang terburu-buru menghakimi adat dan budaya dengan kacamata sendiri-sendiri, tidakkah kita perlu menghargainya sebagai bagian dari jati diri kita? Bukan kebetulan bahwa kita dilahirkan di bumi Indonesia ini, dan di tempat-tempat yang berbeda, masing-masing dengan adat dan budayanya sendiri-sendiri.
Entah kita dilahirkan sebagai orang Jawa, atau Batak, Toraja, Timor, Tionghoa, atau suku mana pun, itu adalah anugerah Tuhan. Maka tidakkah mestinya kita bangga menjadi orang apa pun, yang adalah anak-anak Tuhan? Anak-anak Tuhan yang dalam segala keberadaan kita, dipanggil untuk mengaktualisasikan diri sebagai orang percaya, berarti juga sebagai “makhluk budaya”. Makhluk budaya, orang-orang yang tumbuh, dibesarkan dalam budaya masing-masing, yang berjumpa dengan Kristus.
Ada yang berpendapat bahwa kenyataan bahwa kita adalah orang Indonesia, dari suku mana pun, dan kenyataan bahwa kita adalah orang Kristen, bagaikan ayam dan telur. Mana lebih dulu, kita adalah orang Indonesia, atau kita adalah orang Kristen? Hemat saya kita adalah orang Indonesia, dari suku mana pun, yang Kristen. Sebab tidak ada orang Kristen yang bisa melepaskan, apalagi mengingkari, latar belakang dan konteksnya, juga tidak mungkin melupakan adat dan budayanya.
Panggilan untuk mengembangkan budaya kita kiranya jelas sejak manusia dikehendaki Allah untuk memenuhi dan menaklukkan bumi (Kej. 1:28). Namun di dalamnya, kita juga dikehendaki agar menjadi garam dan terang, agar akhirnya melalui karya kita, nama Tuhan dimuliakan (Mat. 5:15-16).
Maka, mari kita syukuri, hargai, dan kembangkan adat dan budaya kita masing-masing. Dan kita hanya bisa sungguh-sungguh melakukannya, bila kita menerima dan menghormati adat dan budaya yang lain dan berbeda. Dan di atas itu semua, kita boleh melakukannya di dalam dan dengan Tuhan yang empunya kehidupan dan dunia kita.•
»Pdt. Em.Purboyo W. Susilaradeya
Catatan
1 Smalley, William A., Custom, dalam Dictionary of Christian Ethics (Editor: John Macquarrie, Philadelphia: The Westminster Press, 1967.
2 Seorang filsuf Belanda, dalam Peursen, C.A. van, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2016.
3 Ziarah ke makam, menaburkan bunga (sekar).
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.