Problem jemaat Tiatira adalah pembiaran. Munculnya ajaran sesat dari seorang nabiah bernama Izebel dibiarkan tumbuh subur oleh para pemimpin gereja di kota Tiatira. Namun, di sisi lain, jemaat yang sama dipuji Allah karena pekerjaan dan pelayanan yang mereka lakukan ternyata sangat berhasil dan bertumbuh.
Jemaat Tiatira adalah cermin sebuah jemaat yang bergumul di dalam ketegangan antara ajaran dan praktik, doktrin dan praksis. Keduanya sama pentingnya. Yang satu seharusnya membutuhkan yang lain; yang satu mustinya mendorong yang lain. Masing-masing berfungsi seperti sayap pesawat. Jika salah satu patah, maka olenglah pesawat itu.
Belakangan ini, makin banyak gereja yang merasa bahwa yang terpenting bagi sebuah gereja adalah karya pelayanannya. Doktrin atau ajaran iman dianggap tak penting, jika tidak malah mengganggu pelayanan. Doktrin dinilai telah usang dan tidak lagi punya arti. Anggapan ini tentu saja keliru. Sebab, praksis yang sehat membutuhkan doktrin yang sehat. Sebaliknya, mutu sebuah doktrin barulah teruji di dalam praksis yang bertumbuh. Tanpa praksis yang tepat, doktrin dan pertumbuhan iman hanya akan memunculkan obesitas spiritual; sebaliknya, tanpa doktrin yang sehat, praksis serajin apa pun berpotensi membawa kita ke dalam kondisi malnutrisi spiritual yang berbahaya.
Seorang bapa gereja bernama Tertulianus pernah berujar, “Engkau dapat menilai mutu iman mereka dari cara mereka berperilaku. Gaya hidup seorang murid adalah sebuah penunjuk pada doktrin.” Ucapan Tertulianus sangat tepat ditujukan kepada jemaat Tiatira … dan mungkin pula kepada kita sekarang di sini.
JA
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.