Pohon terang didirikan indah berkelap-kelip. Lagu-lagu Natal mengalun. Mimpi tentang salju dan Sinterklas. Wajah-wajah ceria dan sedih hilir-mudik tak kuasa mengubah kehangatan Natal yang begitu kuat mewarnai segalanya. Natal mencairkan dambaan yang menyesakkan dada. Dambaan atas keteduhan, kedamaian, malam kudus, damai sejahtera di bumi.
Selama beberapa minggu ini kita seolah-olah berada dalam perangkap magis dari sebuah lukisan Rembrandt yang mencekam. Sebuah dunia yang amat berbeda dari yang kita kenai setiap hari. Amat bagus, tertata, bahkan ideal. Itulah yang kita alami dalam ibadahibadah, konser, kantata dan pesta Natal. Semua begitu simpel, indah bahkan sempurna. Para gembala dan malaikat. Yusuf, sang ayah yang berdiri dengan bangga di samping Maria istrinya yang begitu cantik jelita. Pandangan mata indahnya sulit ditebak karena semua dipendamnya dalam hati. Dan tentu saja sang bayi kudus dalam palungan. Begitu mungil tetapi memancarkan wibawa surgawi yang membuat setiap orang yang melihat-Nya akan berlutut menyembah-Nya. Cocok sekali dengan apa yang digambarkan Lukas sebagai damai sejahtera (Luk. 2:14).
Namun andaikan Lukas pada zaman ini menuliskan injilnya, mungkin ia akan menggunakan kata yang lain, ketimbang “damai sejahtera.” Karena apa yang kita dengar, saksikan dan lihat saat ini, sungguh bertolak belakang. Apa yang terjadi di Suriah, Mesir, Gaza, serta berbagai kerusuhan di tanah air, pasti tak dapat dikarakteristikkan sebagai damai sejahtera. Dan bagaimana kita dapat menyanyikan “damai sejahtera di bumi”, ketika menyaksikan berbagai tindak kekerasan di jalan, terutama terhadap mereka yang lemah dan tersisih, baik kaum minoritas, atau pun mereka yang dimusuhi hanya karena berbeda. Belum lagi bila kita memikirkan luka-luka usai berbagai perang dan bencana. Damai sejahterakah mereka?
Akan tetapi, dunia Lukas-pada waktu itu bukanlah dunia mimpi yang indah. Bila dibandingkan dengan zaman kita, keadaannya belum tentu lebih baik. Apalagi kawasan Palestina saat itu adalah bagian dari provinsi Yudea dalam wilayah penjajahan kekaisaran Romawi. Penindasan pemerintah penjajah, pajak yang berat, pemungut cukai dan aparat yang korup, kemiskinan, dekadensi moral dan peribadahan, adalah ciri zaman Lukas. Mestinya Lukas memilih kata lain, bukan damai sejahtera dalam pemberitaannya tentang kelahiran Yesus.
Namun ada kesan bahwa Lukas sengaja memakai damai sejahtera. Bahkan bisa dikatakan bahwa Lukas tak punya pilihan lain, karena kata damai sejahtera itu bukan berasal dari dirinya, tetapi dari Tuhan. Lalu bagaimanakah kita mesti memahaminya saat ini.?
Ada yang berpendapat bahwa pemberitaan Lukas adalah mimpinya. Semacam pelarian spiritual dari realita tanpa harap pada zamannya. Apalagi bila kita simak kata-kata yang mengikuti kata “damai” dalam Lukas 2:14: ‘..di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Pertanyaannya lalu, apakah ada orang-orang semacam itu? Orang-orang yang diperkenan Tuhan?
Sekali lagi ada yang mengatakan bahwa ini cuma ilusi. Sedang yang lain, terutama kelompok tertentu Protestantisme, mengklaim bahwa yang dimaksudkan para malaikat di situ adalah para pendosa yang dipilih untuk diselamatkan. Kita! Dan bila kita runut jalan pikiran ini, maka damai sejahtera adalah semata-mata bagi kita, orang orang Kristen, umat Allah, pilihan- Nya. Apa pun yang terjadi pada orang-orang lain, betapa pun berat dan sulitnya, itu tidak akan mempengaruhi kenyataan ini. Bahkan dikatakan juga dalam terang ini, bahwa segala permasalahan dan penderitaan di dunia ini, adalah akibat yang tak terhindarkan dari kehidupan di luar Kristus!
Lalu bagaimanakah kita mesti memahami kata damai sejahtera itu? Karena memang kenyataan kita dan dunia kita saat ini, tak mungkin dapat mencakupinya. Kalau ada orang yang bertanya mengapa, dengan tegas kita mestinya balik bertanya. Tidakkah damai sejahtera adalah sebuah keadaan di mana orang sungguh-sungguh tenteram serta bebas dari berbagai tekanan dan kekuwatiran yang selalu membebaninya? Dan di situlah justru persoalannya. Keadaan seperti itu tak mungkin dapat diharapkan dari kita dan dunia kita saat ini.
Lihatlah pada sejarah dunia kita. Dalam skala besar kita saksikan betapa man usia, atas nama kepentingan dan idealisme tak pernah ragu untuk menindas sesamanya. Hitler, Lenin, bahkan banyak rezim, baik dad suatu negara, mau pun kelompok ekstrim tertentu, dapat bersenda gurau dengan anak-anak dan keluarganya sendiri, dan sesudah itu tanpa berkedip menghabisi banyak keluarga, dari kakek hingga anak-cucu. Dalam skala kecil, seorang manusia bisa merupakan warga masyarakat teladan, sekaligus seorang pembunuh, seorang yang saleh sekaliglis koruptor, seorang rohaniwan sekaligus orang tak bermoral.
Pendeknya bila kita hanya melihat dari sejarah dan berita dari berbagai media masa, rasanya tak mungkin mengharapkan sesuatu yang baik dari manusia. Pertanyaannya kemudian, apakah Tuhan juga berpikir dan menerapkan prinsip- prinsip seperti itu tentang kita? Sebab tampaknya Tuhan “melihat” lebih jauh ketimbang kita, bahkan jauh lebih dalam. Karena, pertama-tama, yang dimaksudkan dengan damai sejahtera dalam Alkitab, sama sekali tak dapat dibayangkan sebagai makanan yang siap saji, yang dapat segera disantap dan dinikmati. Sebaliknya, damai sejahtera itu adalah muara dari sebuah proses yang panjang, sulit, berat, bahkan kerap kali menyakitkan. Dan damai sejahtera adalah sebuah kemustahilan bila hanya bergantung kepada manusia dan dunianya. Damai sejahtera itu hanya mungkin bila Tuhan berkenan memprakarsainya. Damai sejahtera adalah sebuah keniscayaan ketika
Tuhan berkenan diam bersama kita, Imanuel! Dalam Kristuslah kenyataan itu diwujudkan!
Dan damai sejahtera seperti itu tidak hanya dimaksudkan bagi mereka yang disebut sebagai “terpilih”, atau tidak cuma bagi orang-orang Kristen. Tak seorang pun berhak dan boleh mengklaim, entah dia Kristen atau bukan, betapa pun salehnya dia, bahwa hanya ia yang masuk ke dalam kelompok “orang-orang yang diperkenan, bahkan dikasihi Tuhan!” Karena siapa pun dimasukkan Tuhan ke dalamnya. Kristus lahir untuk setiap orang, untuk dulftia, untuk segenap ciptaan. Tentang ini jelaslah kiranya apa yang ditulis oleh Yohanes: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16).
Dalam Kristus, yang tak mungkin menjadi mungkin. Betapa pun parahnya dunia kita saat ini, Tuhan masih melihat apa yang baik di dalamnya. Betapa pun jahatnya sosok manusia dalam sejarah dan berita di media masa, Tuhan masih melihat kebaikan dalam diri manusia. Betapa pun, Tuhan masih berkenan untuk percaya dan berharap kepada manusia, untuk mewujudkan damai sejahtera Allah, serta memeliharanya. Tetapi untuk itu Tuhan tidak membiarkan manusia berjalan sendiri. Yesus lahir bagi kita. Namun Ia bukanlah program damai sejahtera dunia, dan pasti bukan sekadar jalan keluar bagi berbagai permasalahan dunia zaman ini.
Yesus adalah maksud Allah bagi manusia. Yesus sebagai manusia, yang berkenan untuk tinggal bersama dengan dan di tengah kita. Kita niscaya mampu mewujudkan damai sejatera Allah, serta memeliharanya, karena kita tidak sendirian. Ia, Sobat kita yang setia, ada di sisi kita. Ia, Gembala yang baik, menuntun kita. Ia, Juru Selamat kita, berjalan di depan kita. Segenap hidup-Nya, pengorbanan-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya, adalah teladan dan pedoman kita.
Lalu bagaimana dengan pertanyaan, apakah hanya mereka yang “percaya” yang dapat menikmati damai sejahtera Tuhan? Ternyata jawabnya tidaklah hitam-putih. Karena jawabnya adalah “ya” dan “tidak”. Jawabnya adalah “ya” karena hanya di dalam Yesus, damai sejahtera Allah adalah sebuah keniscayaan. Tetapi jawabnya adalah “tidak” karena damai sejahtera-Nya dimaksudkan-Nya bagi dunia yang dikasihi-Nya. Ketika seseorang mendapatkan damai sejahtera di dalam Kristus, sekaligus ia mendapati bahwa damai sejahteranya bukanlah damai sejahtera bila ia tidak berbagi dan menikmati damai sejahtera itu dengan sesamanya. Ketika gereja memberitakan damai sejahtera Kristus, maka gereja mestinya juga mendapati bahwa pemberitaannya tidaklah lengkap dan utuh bila ia tidak berusaha untuk mewujudkmnya di lingkungan dan konteksnya.
Natal ini, Kristus lahir di dunia kita, di gereja dan jemaat kita, dalam keluarga kita dan dalam hati kita masing-masing. Maka tak ada yang dapat kita lakukan selain berjalan di jejak langkah-Nya. Karena kelahiran-Nya bukanlah sekadar mimpi tentang kasih dan kelembutan. Ia adalah sebuah awal dari kehidupan yang berakhir di atas kayu salib di Golgota. Natal bukanlah cerita manis sebelum tidur. Ia adalah awal dari perjuangan Allah untuk mewujudkan damai sejahtera-Nya di dunia kita. Oleh karena itu Natal juga harus menjadi awal bagi kita untuk mewujudkan damai sejahtera Allah serta hidup di dalam realitanya. Dengan demikian baru kita akan dapat menyanyi dengan tulus: “Damai sejahtera di bumi….”
Pdt. Purboyo S. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.