Ketika kita berbicara tentang kemerdekaan, paling sedikit ada tiga pemikiran mengenai kemerdekaan yang harus kita pertimbangkan:
Kemerdekaan definitif
Yaitu saat kemerdekaan itu diproklamasikan. Dalam konteks negara Indonesia, berarti mengacu pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesa, 17 Agustus 1945. Dalam konteks iman kristiani, berarti mengacu pada peristiwa salib dan kebangkitan Kristus, di mana kita sebagai pengikut-Nya ikut mati terhadap dosa dan kehidupan lama, serta bangkit dalam kehidupan baru yang sungguh merdeka.
Kemerdekaan sebagai sebuah proses
Berangkat dari kemerdekaan definitif, kita memasuki sebuah proses untuk mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamasikan. Dalam sebuah proses, bisa saja perjalanan mengisi kemerdekaan itu justru terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Misalnya, korupsi yang merajalela, penindasan kepada kelompok minoritas dan banyak lainnya. Di sinilah perjuangan untuk mengawal dan mengisi kemerdekaan, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan itu sendiri, lalu menjadi penting. Perjuangan demi kemerdekaan ternyata tidak berhenti pada proklamasi kemerdekaan, melainkan merupakan proses yang sinambung sampai kapan pun. Panggilan untuk menjadi pejuang kemerdekaan selalu berkumandang buat siapa pun dan sampai kapan pun. Dalam konteks iman, kita pun harus mengisi kemerdekaan yang Kristus sudah karuniakan. Berjuang melawan ‘kedagingan’ dan hidup menurut Roh.
Kemerdekaan subyektif
Yaitu cara pandang kita terhadap kemerdekaan definitif. Cara pandang itu akan memengaruhi perilaku kita. Apakah kita hidup sebagai orang merdeka atau menjadi orang yang tidak merdeka. Dalam ranah subyektif inilah, iman dan keyakinan kita terhadap kemerdekaan dipertaruhkan. Bisa saja perjalanan kemerdekaan itu terbelokkan dan menjauh dari cita-cita kemerdekaan, tetapi sepanjang kita mengimani dan meyakini kemerdekaan definitif, maka tidak ada yang bisa membelenggu kita. Kita tetap orang merdeka! Dalam Alkitab kita menjumpai kisah Paulus dan Silas yang dimasukkan ke dalam penjara di Filipi. Bukan hanya dipenjara, tetapi kaki mereka juga dipasung! (Kis. 16:24). Secara fisik, mereka sungguh tidak merdeka! Namun lihatlah: mereka menyanyikan pujian kepada Allah! (Kis. 16:25). Tidak ada kekuatiran, ketakutan dan bentuk perilaku lain yang muncul dari orang yang tidak merdeka. Paulus dan Silas sungguh merdeka! Berbeda dengan mereka adalah kepala penjara Filipi. Ia adalah orang merdeka. Namun lihatlah bagaimana ia penuh ketakutan dan akan bunuh diri! (Kis. 16:27). Ternyata ia bukanlah orang yang merdeka.
Dalam ranah subyektif inilah, pertanyaan: “Sudahkah kita merdeka?” sering muncul. Tidak ada yang salah dengan pertanyaan ini. Justru kita harus selalu mempertanyakan kembali kemerdekaan definitif, dalam rangka mengisi dan mengarahkan kemerdekaan sesuai cita-cita yang diharapkan. Namun pertanyaan ini menjadi keliru, ketika muncul dari pesimisme dan keraguan kita atas kemerdekaan itu sendiri. Di sinilah, nasihat dari 1 Petrus 2:16 lalu menjadi penting. Hiduplah sebagai orang merdeka!
Sejatinya, kemerdekaan itu letaknya di dalam pikiran dan hati kita. Dalam iman dan keyakinan kita. Sepanjang kita memeliharanya, maka apa pun boleh terjadi, tetapi kita tetap orang yang merdeka! Jangan pernah kehilangan harapan dan keyakinan terhadap kemerdekaan. Bahwa realita sering kali membelokkan kemerdekaan dari cita-citanya, mari sebagai orang yang merdeka kita mengoreksinya bersama dan mengarahkan kembali pada cita-cita awal kemerdekaan itu sendiri. Hiduplah sebagai orang yang merdeka!
Pdt. Rudianto Djajakartika
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.