Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
(2 Timotius 4:7).
Setahu saya, semua bayi yang baru lahir mengawali kehidupannya di dunia ini dengan menangis. Kita tidak usah repot-repot cari tahu mengapa, tetapi yang pasti saat sang bayi menangis, orang-orang di sekitarnya justru tersenyum bersukacita, apalagi ayah dan ibunya, menyambut kedatangan sang buah hati. Tangisan tersebut menjadi awal bagi si bayi. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana kita, yang dulunya pernah menjadi seorang bayi, menjalani hidup kita, sehingga saat kita meninggalkan dunia ini nantinya, kita tersenyum bersukacita, dan orang di sekitar kita menangis. Apa ukuran kita mencapai tahap tersebut? Momento mori. Suatu hari kelak, kita akan kembali ke rumah Bapa. Saat itu akan tiba sesuai waktu yang ditetapkan Tuhan; tak seorang pun dapat melawannya. Saat roh kita mencapai Rumah Bapa, akankah kita menerima sambutan Tuhan berikut ini, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia….” (Matius 25:23). Well done, my son!
Dalam hal apa pun, sambutan inilah ukuran terpenting bagi kita karena hal inilah yang menentukan bagaimana kita menjalani kekekalan kita.
Di dalam kekekalan, hanya ada dua pilihan, hidup bersama Kristus di Surga, atau binasa di dalam kekekalan Neraka. Karena sifat kehidupan di dunia fana ini berbeda dengan sifat kedua tempat tadi, tidak ada uraian di dunia ini yang secara persis menggambarkan bagaimana Surga dan Neraka sesungguhnya. Tetapi, yang pasti bahwa di Surga ada ALLAH, sedangkan di Neraka, ALLAH tidak ada. ALLAH adalah Sumber Segala Kehidupan. Makanya, ketiadaan ALLAH di Neraka, berarti kebinasaan. Hal inilah yang hendak digambarkan Yesus di dalam Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” ALLAH juga adalah Kasih. Galatia 5:22 menguraikan secara lebih konkret bagaimana Kasih diungkapkan, yakni “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri.”
Mari kita bayangkan bagaimana kehidupan Neraka, yang tanpa ALLAH, tanpa Kasih, dan karenanya hanya dipenuhi dengan kebencian, dukacita, ketakutan, ketidaksabaran, mau menang sendiri, kejahatan, pengkhianatan, kasar, dan tiadanya penguasaan diri di antara sesama penghuni Neraka. Makanya, dalam berbagai bagian di Kitab Matius, Neraka digambarkan sebagai kegelapan yang paling gelap, di mana akan terdapat ratap dan kertak gigi. Semua penghuninya hidup dalam kegelapan total, diisi hanya dengan tangisan dan gigi yang saling beradu, meratapi penderitaan dan penyesalan. Celakanya, semua ini akan berlangsung kekal, tanpa akhir, tanpa harapan, tanpa kesempatan kedua, dan hanya jalan buntu.
Karenanya, marilah kita menyadari dan menghargai bahwa salah satu kekayaan terbesar yang Tuhan berikan bagi kita saat ini adalah masih adanya kesempatan bagi kita di dalam kesementaraan ini untuk menentukan kekekalan kita. Terpujlah Tuhan karena IA memberikan kita salah satu Anugerah Agung-Nya, yakni hak kita untuk memilih (free will). Tuhan memberi kita sendiri kesempatan dan hak untuk menentukan pilihan kita. Uniknya, walau kita bebas memilih, kita tidak bebas dari konsekuensi pilihan kita. Apa pun pilihan kita, selalu ada konsekuensinya. You play, you pay.
Hidup kita adalah suatu pertandingan; pertandingan atas diri sendiri, yakni antara aku dan ego-ku; apakah kita mau mengandalkan dan memuliakan Tuhan, dan memperhatikan sesama; ataukah, mengandalkan, dan mencari pujian untuk diri sendiri.
Sebagai buah dosa, hidup kita di dunia ini diwarnai sejumlah kesukaran. Tiap orang punya “paket kesukaran”-nya sendiri. Tetapi, dengan kaca mata iman kita melihat kesukaran itu sebagai suatu bagian dari pertandingan. Setiap atlet tahu bahwa ototnya hanya akan dibentuk bila ia dengan sadar dan sungguh-sungguh, memberi beban-beban dan rintangan-rintangan kepada ototnya. Jangan berharap tokoh Arnold Schwarzenegger pernah ada bila ia tidak menghabiskan waktu dengan disiplin berjam-jam tiap harinya untuk membatasi diri dari makanan, pikiran dan aktivitas yang tidak perlu, dan berfokus pada latihan-latihan angkat beban. Melelahkan, dan mungkin dapat saja menjengkelkan. Tetapi semuanya ini membentuk dan mempersiapkan para atlet dalam pertandingan. Kolestrol dan unsur-unsur tidak baik dalam tubuh dengan sendirinya akan dikikis sebagai buah dari pola hidup yang sehat.
Demikian pula dengan otot iman dan rohani kita. Tuhan mengizinkan kita mengalami kesukaran, karena IA mengasihi kita. IA ingin kita memilih untuk menjalani kesukaran tersebut dengan iman, pengharapan dan kasih. IA ingin agar kita mengikis kolesterol-kolesterol rohani kita melalui beban-beban hidup. Pola hidup rohani kita yang tidak baik, dapat membentuk kolesterol-kolesterol rohani. Iman sama dengan otot tubuh. Mereka dibentuk lewat beban dan kesukaran.
IA ingin agar kita menjalani hidup seperti proses yang dialami lahirnya mutiara. Mutiara dikenal sebagai salah satu produk alam yang sangat indah. Warnanya membuat kita kagum. Banyak wanita yang menghiasi diri mereka dengan mutiara. Mutiara menjadi salah satu simbol keindahan, kemewahan dan kemakmuran orang yang memakainya. Tetapi, sesungguhnya, mutiara mempunyai kisah hidup yang tidak mudah. Ketika kulit kerang menerima “tamu tidak diundang” berupa pasir, ia akan bereaksi karena tajamnya pasir tersebut akan membawa rasa sakit di daging kerang. Kerang adalah binatang laut, dan karenanya mempunyai daging. Pada awalnya, kerang akan sangat menderita, gerakan perlawanan kerang justru membuat pasir makin bergerak dan menggores dagingnya. Perih. Tetapi, lama kelamaan, pasir tersebut tidak lagi terlalu mengganggu. Saat itu, sebagai bagian dari proses self-defense alamiah, kerang mengeluarkan lapisan mutiara untuk membungkus dan mengisolasi barang asing tersebut sehingga tidak akan membahayakan kerang. Proses sedemikian pada akhirnya menghasilkan sebuah mutiara yang indah.
Begitu pula kita. Setiap kita, pasti memiliki “pasir-pasir” yang menyakiti bahkan melukai kita. Tetapi, sebagaimana kisah hidup kerang tadi, ketika kita menerima “pasir-pasir” tadi sebagai kenyataan hidup yang harus kita sikapi dengan membuat pilihan-pilihan yang benar, hidup kita akhirnya akan menghasilkan “mutiara kehidupan.”
Kesukaran-kesukaran hidup akan membentuk karakter kita secara alamiah. Karakter yang sejati harusnya diraih sebagai hasil suatu proses. Kita akan dapat menjadi orang sabar yang sejati bila kita dapat menahan diri ketika kita, umpama, bertemu dengan orang lain yang memiliki karakter yang menjengkelkan. Semua karakter yang disebut dalam Galatia 5:22-23 lahir sebagai “buah-buah” yang dihasilkan dari suatu proses.
Sesungguhnya, pertandingan hidup ini dimaksudkan agar kita mempunyai karakter yang serupa dengan karakter Kristus. Roma 8:28-29: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya…” Karakter Kristus yang terutama adalah Kasih. Bahkan IA adalah Kasih itu sendiri. Dan, “terjemahan” dari Kasih dalam bahasa tindakan kita sehari-hari adalah buah Roh itu sendiri yang dimuat dalam Galatia 5:22-23.
Sebagaimana ketika kita berkunjung atau tinggal di rumah orang lain, salah satu syarat utama untuk itu adalah kita menyesuaikan diri kita dengan karakter tuan rumah. Saat kita kembali ke rumah Bapa, hanya ada satu karakter yang dikenal di sana, yakni karakter Kristus. Kasih. Kerinduan terbesar dari ALLAH sebagai seorang Bapa adalah berkumpul bersama dengan anak-anak-Nya, sebagaimana yang kita alami, rindukan dan lakukan juga sebagai ayah yang penuh kasih kepada anak-anak kita. Tinggal dan bercengkerama bersama anak-anak. Karena ALLAH adalah Kasih itu sendiri, kita hanya dapat bersekutu dengan-Nya bila selama hidup kita, kita secara sadar memilih menjalani pertandingan hidup kita dengan mata yang tertuju pada kekekalan bersama Bapa, sambil mengisi hidup kita selama di dunia ini dengan hal-hal yang memuji nama Tuhan dan menjadi saluran berkat bagi sesama. Dengan-Nya, kita akan mempunyai karakter Kristus dan selanjutnya akan dapat menutup mata kita dengan senyum, sambil dikelilingi orang-orang yang bersedih karena kita tinggalkan; dan di sisi lain, Tuhan Yesus menyambut kita di Surga: “Well done, my son. Welcome home.” Maukah kita? Mari, selagi masih ada waktu. Carpe diem. Raih kesempatan yang Tuhan masih berikan.
Fabian Buddy Pascoal
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.