Harta Dalam Bejana yang Fana dan Rentan
Bersama dengan Paulus kita takjub merenungkan betapa kita yang fana dan rentan ini, bak sebuah bejana dari tanah liat yang tak berharga, dipakai oleh Tuhan untuk memuat harta yang tak ternilai harganya, yaitu Kristus dalam segala keanekaragaman karya-Nya yang tak terbayangkan luasnya itu (2 Kor. 4:7). Ini sejiwa dengan keyakinan bahwa keselamatan kita adalah semata-mata anugerah. Jadi bukan hasil upaya kita sendiri, bukan konsekuensi langsung dari perbuatan baik atau kesa-lehan kita, melainkan pembenaran yang hanya dimungkinkan oleh penebusan Allah dalam Kristus, melalui penderitaan dan pengorbanan-Nya. Itu sebabnya kita kerap kali menekankan bahwa usaha kita tidak mungkin dan bukanlah untuk mengusahakan keselamatan.
Sayangnya keyakinan ini (dapat) membawa orang pada pemahaman diri yang terlalu negatif. Alih-alih menekankan bahwa kapasitas kita sebagai manusia tidak dapat menyelamatkan, kita terlalu menonjolkan ketidakberdayaan dan kemudian ketidaklayakan manusia. Lambat-laun citra diri kita sebagai manusia adalah citra yang amat negatif. Seolah-olah tak ada sedikitpun unsur yang positif pada diri manusia. Manusia dalam sudut pandang ini sama sekali tidak ada harganya. Semata-mata identik dengan dosa dan kejahatan.
Penekanan berlebihan pada ketidaklayakan manusia ini biasanya dianggap sah-sah saja karena sebenarnya motivasi dasarnya adalah penekanan pada keselamatan dan pembenaran hanya oleh anugerah. Namun tak dapat diabaikan betapa anugerah itu diberikan karena entah bagaimana Allah menimbang bahwa manusia adalah berharga (worthed) untuk diselamatkan. Selain dalam teks kita, maupun misalnya dalam Mazmur 8, Yesus bahkan memperlakukan kita sebagai sahabat dan bukan sebagai hamba (Yoh.15:15).
Citra diri yang terlalu negatif selain tidak menguntungkan, juga (dapat) menuntun pada pesimisme, bahkan pemahaman yang tidak utuh mengenai providentia Dei. Bukan pula maksudnya mengukuhkan citra diri yang terlalu positif hingga lupa pada anugerah. Manusia memang pendosa, tetapi pendosa yang diampuni, karena menurut Allah kita punya potensi positif juga, sehingga dianugerahi kesempatan baru. Bahkan sebagai ciptaan baru, kita dikehendaki melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dimaksudkan-Nya dan yang telah dipersiapkan-Nya sebelumnya (Ef.2:8-10).
Kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai jemaat-Nya, adalah bejana tanah liat yang fana dan rentan. Namun kita berharga di mata-Nya (Yes. 43:4).Oleh karena itu selain digunakan untuk “menempatkan” harta yang tak ternilai harganya itu, kita juga dibangun dan diberdayakan-Nya agar bukan sekadar menyimpan harta itu, tetapi turut menjadi saksi atas dan pengelola harta itu sebagai harta yang tak ternilai harganya untuk siapapun.
Memberdayakan Bejana yang Fana dan Rentan
Pembangunan Jemaat (oikodomik/gemeenteopbouw/church-development, selanjutnya kita singkat PJ) adalah buah yang termuda dari pergeseran paradigma dalam disiplin teologi praktika, yaitu dari praksis jabatan ke praksis gereja/jemaat. Meminjam definisi Prof. K.A. Schippers, PJ adalah:
Fungsi dasar dari jemaat, yang dengannya jemaat, melalui pelayanan kepemimpinan, membuka diri bagi karunia kehidupan dan pertumbuhan, dan dengan bantuan metode-metode yang tersedia dan cocok, berusaha mewujudnyatakan hakikatnya sebagai jemaat yang sesuai dengan maksud Yesus Kristus di dunia.
Definisi di atas mengandaikan bahwa PJ, -yang dipilih GKI sebagai “payung” dari kinerja gereja/jemaat,- bukanlah suatu pelayanan (ministry) di samping berbagai pelayanan jemaat yang lain, apalagi sekadar sebagai sebuah kegiatan di antara berbagai kegiatan dalam jemaat. PJ adalah fungsi dasar jemaat dalam upayanya menjadi jemaat sesuai tugas panggilannya. Dengan rumusan “melalui pelayanan kepemimpin-an” (menggerakkan/mendampingi) di atas, PJ mengkualifikasikan segenap pelayanan jemaat (termasuk di dalamnya proses, metode, struktur) untuk menuju ke fungsionalisasi jemaat dalam situasinya yang tertentu. Maka kata kuncinya sebenarnya adalah koherensi dan finalisasi.
Sampai pada titik ini kita mesti berhenti sejenak untuk berefleksi. Sebab bila tidak timbul kesan kuat bahwa PJ adalah sekadar upaya transformasi sebuah organisasi biasa demi meningkatkan dan mengoptimalkan vitalitas dan fungsionalitasnya. Dari satu sisi memang demikian. Gereja atau jemaat memenuhi kriteria-kriteria untuk digolongkan dalam organisasi normatif-formal-sukarela, yang berbeda dari perusahaan atau rumah sakit misalnya.
Tetapi pada sisi lain gereja/jemaat adalah organisasi yang unik: persekutuan orang percaya yang dihimpunkan oleh Tuhan. Gereja/jemaat dipimpin dan dituntun oleh Roh Kudus bukan oleh manusia dengan kemampuannya. Dinamika gereja berdasar bukan hanya pada prinsip-prinsip organi-satoris seperti demokrasi, efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan, melainkan terutama pada Firman dan kehendak Allah.
Itu sebabnya fenomena gereja/jemaat ini merupakan sesuatu yang amat menarik bahkan bagi pada sosiolog (organisasi). Salah satu di antaranya adalah Mady A. Thung, seorang pakar sosiologi agama dari Nederland, yang menyebut gereja sebagai:
“…an organization which is focusing on deep-seated orientations, which have far-reaching consequences for the lives of its members… yet the normative orientations to which it is geared are more fundamental and reach farther than occurs in any other normative organization… they encompass the whole of life…”
Dua hal mendasar yang membedakan (organisasi) gereja/jemaat dengan organisasi biasa. Pertama adalah sumber keberadaannya (source for being) yang bukan dari dan/atau oleh manusia tetapi dari dan/atau oleh Tuhan. Yang kedua adalah dasar keberadaannya (reason for being) yang bukan sekadar visi manusia tetapi Yesus Kristus sendiri dan tugas pengutusan-Nya. Maka tibalah kita pada pertanyaan: bila demikian siapakah yang harus membangun gereja/jemaat-Nya?
Tentang ini Karl Barth, teolog besar itu mengajukan retorika yang amat menyejukkan hati: “Siapakah sang pembangun sejati dari gereja/jemaat-Nya?” Tak pelak lagi, “sang pembangun sejati” adalah Allah dan hanya Dia yang dapat melakukannya! Dan Ia melakukannya melalui Yesus Kristus dan kuasa Roh-Nya. Oleh karena itu bila Allah dalam Kristus dan kuasa Roh-Nya adalah pembangun dan subyek dari gereja/jemaat-Nya, maka jemaat-Nya adalah juga subyek dan pembangun gereja/jemaat-Nya. Karena Ia selalu melibatkan manusia, orang-orang percaya, bahkan bekerja melalui mereka (1 Pet 2:9; Kis 2:17).
Yesus Kristus sang pembangun itu “membangun” (baca: memberdayakan) gereja/jemaat-Nya agar dapat membangun dirinya sendiri. Dirinya, yang ternyata hanyalah bejana yang fana dan rentan itu. Tetapi Roh Kudus dikaruniakan dalam segala bentuknya untuk memberdayakannya. Memberdayakan bejana yang fana dan rentan itu, karena Ia menganggapnya berharga di mata-Nya. Karena Ia “percaya” padanya bahwa walaupun fana dan rentan bejana itu dapat dipakai untuk menyimpan “harta” yang tak ternilai harganya itu. Karena Ia punya keyakinan pada gereja/jemaat-Nya, dan itu berarti pada warga gereja/jemaat-Nya, bahwa mereka dapat melaksanakan tugas panggilannya yang berasal dari Kristus sang pembangun itu sendiri.
Dalam terang itulah PJ dilaksanakan. PJ sebagai usaha untuk secara sistematis menolong jemaat agar sungguh-sungguh menjadi jemaat Yesus Kristus pada masa kini. PJ sebagai fungsi dasar jemaat, karena jemaatlah subyek dan pembangun. Dan untuk itu “sang pembangun sejati” mengaruniakan berbagai karunia yang mesti dimanfaatkan dalam segenap proses pembangunan. Dan aset terbesar di situ adalah―memakai istilah H. Kraemer, kaum awam. Kraemer menyebut mereka sebagai aset gereja yang beku (the frozen asset of the church). Yang dimaksudkannya dengan “kaum awam” adalah warga jemaat (yang terutama bukan “pejabat gerejawi”), sesuai dengan keadaan pada zamannya.
Saat ini dalam pemahaman eklesiologis dan teologi jabatan GKI, kita memahami bahwa “pejabat gerejawi” adalah karunia Roh untuk gereja/jemaat. Dan bahwa “pejabat gerejawi” pada dasarnya adalah juga warga jemaat, sehingga setara dengan warga jemaat yang tidak memangku jabatan gerejawi. Dan segenap warga jemaat inilah yang adalah subyek dan pembangun, yang diberdayakan oleh Kristus.
Maka salah satu agenda utama, bahkan kriteria utama PJ, adalah pemberdayaan warga jemaat. Dengan itu mereka harus dimotivasikan, dikerahkan dan diperlengkapi. Pendeknya warga jemaat, orang percaya, diberdayakan, baik secara pribadi sebagai individu, maupun secara bersama sebagai entitas gereja/jemaat.
Mengokohkan dan Memoles Bejana yang Fana dan Rentan
Menyatakan bahwa warga jemaat sesungguhnya adalah subyek dan pembangun gereja/jemaat dalam segenap proses transformasinya adalah sesuatu yang dalam kenyataannya masih merupakan idealisme yang belum tercapai. Bahkan dalam Tata Gereja GKI jelas sekali peran sentral (baca: subyek) jemaat adalah warganya. Namun dalam praktik ada beberapa keadaan yang masih jauh dari pengejawantahan prinsip warga jemaat adalah subyek gereja/jemaat.
Pertama-tama, upaya pemberdayaan warga jemaat melalui pembinaan warga jemaat, pemberitaan dan penggembalaan di jemaat-jemaat GKI pada umumnya masih jauh dari optimal, bahkan kerap kali insidental sifatnya. Kalaupun ada pemikiran dan upaya untuk menjadikannya sebagai upaya yang utuh dan sinambung, biasanya hal itu tidak didukung dengan adanya program atau bahkan “kurikulum” yang jelas.
Yang kedua, partisipasi warga jemaat dalam kegiatan-kegiatan terutama yang menentukan arah dan kinerja jemaat amat kurang. Misalnya dalam proses perumusan visi-misi, penentuan tujuan-tujuan antara, dan penyusunan program, biasanya yang amat berperan adalah Majelis Jemaat, terutama pendeta, dan pengurus badan-badan pelayanan. Menurut hemat saya salah satu penyebabnya adalah peran pejabat gerejawi yang terlalu besar (secara struktural dalam Tata Gereja maupun dalam struktur jemaat). Prof. Schippers menyebut gejala seperti itu sebagai”pola dasar pendeta” (het pastorale grondmodel) dalam jemaat, yaitu pola dinamika hidup bergereja yang berpusat pada pendeta. Contohnya adalah syarat pelembagaan pendeta yang “mengharuskan” cukupnya dana untuk memanggil pendeta, atau ketetapan (lokal) bahwa ketua Majelis Jemaat haruslah seorang pendeta. Dan penyebab yang kedua adalah tidak tersedianya cukup “ruangan” bagi warga jemaat untuk terlibat, baik secara praktis maupun dalam hal-hal penentuan kebijakan. Salah satu contohnya yang sederhana adalah pengedar kantong kolekte yang di beberapa jemaat GKI harus dilakukan oleh para penatua.
Yang ketiga, yang amat erat kaitannya dengan yang kedua, warga jemaat kerap kali tidak didengar dalam pengambilan keputusan-keputusan, terutama yang menyangkut mereka sendiri secara langsung. Terlalu sering ungkapan seperti ini diperdengarkan: “Ini sudah diputuskan oleh Majelis Jemaat dalam PMJ…” Pernyataan ini bukan hanya tidak bijaksana, tetapi juga tidak sesuai dengan jiwa kepemimpinan kolegial dalam prinsip presbiterial-sinodal GKI, dan pasti bertentangan dengan prinsip kepemimpinan yang melayani (servant leadership).
Terlalu banyak kuasa untuk menentukan kebijakan yang menggumpal dalam Majelis Jemaat, dalam Persidangan Majelis Jemaat, bahkan Badan Pekerja Majelis Jemaat. Alur komunikasi dan informasi kerap kali hanya beredar dalam Majelis Jemaat. Kalaupun mengalir ke badan-badan pelayanan, hal itu hanyalah karena tidak bisa lain.
PJ adalah pemberdayaan warga jemaat yang adalah “aset utama” gereja/jemaat yang terlalu lama dibiarkan membeku. Pemberdayaan haruslah menuju kepada upaya sengaja dan sistematis untuk mencairkannya demi dibangunnya gereja/jemaat menjadi “tubuh Kristus” yang sesuai dengan kehendak-Nya, sang Kepala Gereja, sang Pembangun Sejati. Untuk itu dua hal prinsipial yang harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh gereja/jemaat.
Hal pertama yang mesti dipertimbangkan untuk diubah adalah paradigma subyek jemaat. Mestinya disadari, dipegangi serta diejawantahkan bahwa subyek jemaat bukanlah pejabat gerejawi, tetapi warga jemaat secara keseluruhan, termasuk di dalamnya para pejabat gerejawi dan para pegiat dalam badan pelayanan. Bagaimana warga jemaat diperlakukan dan dihargai akan menumbuhkan iklim bergereja yang menyenangkan, sehingga warga jemaat bukan hanya merasa “memiliki” jemaatnya, tetapi dengan senang hati turut memba-ngunnya. Untuk itu mesti dipikirkan dan ditata ulang:
- Prinsip dan gaya kepemimpinan yang diterapkan, yang mestinya bukan meme-rintah dan mengandalkan wibawa/kuasa, tetapi sungguh-sungguh melayani (dalam jiwa Ef. 4:11-15).
- Sebagai konsekuensi dari hal di atas proses pengambilan keputusan yang diberlakukan mestinya bukan lagi gerakan dari atas ke bawah tetapi meluas dari lingkup tersempit yang partikular menuju ke lingkup yang lebih luas, dengan selalu melibatkan semua pihak yang terkait.
- Alur komunikasi dan informasi yang tidak lagi menggumpal pada para pemimpin (Majelis Jemaat: BPMJ & PMJ; pengurus badan pelayanan) tetapi mengalir ke segala arah: dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan ke samping.
- Untuk itu struktur jemaat yang ada sekarang ini mestinya tidak lagi dilihat sebagai memadai, mengingat struktur yang ada sekarang ini (di GKI: pembidangan sesuai “ministry” jemaat) menyebabkan penggumpalan kuasa dan peran pejabat gerejawi, serta tidak menyediakan ruangan yang cukup bagi partisipasi warga jemaat yang seluas-luasnya.
Hal kedua yang harus dipertimbangkan untuk diubah adalah upaya pemberdayaan warga jemaat yang mencakupi pembinaan warga jemaat, pemberitaan dan penggembalaan. Hal ini mesti diupayakan juga secara sengaja dan sistematis melalui antara lain:
- Adanya kurikulum pembinaan warga jemaat yang utuh/menyeluruh (mencakupi kategori umur bahkan profesi) dan sinambung, yang melayani visi-misi jemaat yang disepakati bersama.
- Pemberitaan Firman, khususnya yang berpusat pada khotbah dalam ibadah Minggu, juga perlu disinkronkan dengan seluruh gerak pembangunan jemaat dan pembinaan warga jemaat.
- Penggembalaan yang tidak hanya “menunggu bola tetapi menjemput bola” yang direncanakan dengan sistematis dan yang mempertimbangkan konteks jemaat yang khas, dalam terang pembangunan jemaat, seperti yang dikatakan dengan indah oleh M. Bons-Storm: “…tujuan terakhir dari penggembalaan adalah supaya jemaat Yesus Kristus dibangun.”
Tuhan Mengokohkan dan Memoles Bejana yang Fana dan Rentan
Akhirnya tinggal ini yang sekali lagi harus dikatakan: sang Pembangun yang Sejati tidak pernah berhenti dalam karya-Nya membangun jemaat-Nya dalam rangka misi-Nya di dunia ini. Maka sebagai bejana yang fana dan rentan, menjadi tugas kitalah untuk mensyukuri kepercayaan Tuhan itu dengan terus berusaha menjadi gereja/jemaat yang kian taat dan kian dapat diandalkan sebagai mitra Allah dalam karya penyelamatan-Nya di dunia dan di tengah masyarakat.
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.