Salib adalah simbol utama dari iman Kristen. Salib berarti Kristus yang rela menderita sampai mati demi kita. Salib adalah pengejawantahan kasih Allah kepada kita, kepada kemanusiaan, bahkan kepada dunia, meski dunialah yang menyalibkan-Nya. Salib adalah Kristus yang dikorbankan bagi keselamatan dunia dan segenap ciptaan. Maka mestinya bagi kita, konotasi salib adalah pengorbanan yang siap untuk kita lakukan demi mengikut Tuhan.
Namun dalam kenyataannya salib kerap kali disalahmengertikan, bahkan disalahgunakan. Ada yang menjadikannya “senjata” melawan Dracula dan sejenisnya. Ada pula yang menjadikannya sebagai sekadar investasi, sebab kian banyak dan besar berlian yang melekat padanya, kian berhargalah ia. Bahkan, – mudah-mudahan tidak dalam spirit yang sama,– salib yang dikalungkan di leher pendeta GKI pun adalah salib emas (sepuhan). Koyama, seorang teolog Jepang, pernah mengingatkan bahwa banyak orang Kristen menyepelekan salib. Mereka membuat sebuah gagang atau pegangan (handle) dan melekatkannya pada salib, salib Kristus. Alasannya tentu adalah kemudahan dan kepraktisan, yang adalah roh zaman yang konsumtif serta serba instan ini.
Mari dalam Minggu Pra-Paska ke-4 ini kita renungkan dengan sungguh-sungguh makna mengikut Kristus (baca: menjadi orang Kristen). Yaitu menyangkali diri, meneladani Kristus dan berjalan pada tapak kaki Yesus apapun yang terjadi. Dan tentu saja memikul salib, bukan menggeser, menarik atau meninggalkannya di sudut gudang hidup kita yang pengap dan gelap.
Salib hanya dapat dipikul, seperti yang dilakukan Yesus…
PWS
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.