‘Menjadi manusia’ adalah pergumulan umat manusia sepanjang sejarahnya. Dosa memang sudah menyeret manusia dari kemanusiaannya. Lihatlah, Kain membunuh adiknya Habel.
Sejak saat itu, wajah kemanusiaan semakin bengis. Lamekh membunuh seorang muda karena memukulnya. Pembalasan buat Lamekh haruslah tujuh puluh tujuh kali lipat! (Kej. 4:23-24).
Tetapi ‘Sang Manusia itu’, Yesus Kristus, mengajarkan sebaliknya. Alih-alih membalas, kita malahan diajar untuk mengampuni sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali! (Mat. 18:21-22). Ketika Lamekh membawa kita semakin jauh dari kemanusiaan, maka Yesus menarik kita balik pada kemanusiaan.
Apakah berarti persoalan ‘menjadi manusia’ lalu selesai? O, tidak! Bahkan ‘Sang Manusia itu’ menjadi korban kebiadaban sesamanya.
Pilatus mencoba untuk ‘menyentuh kemanusiaan’ orang banyak. Ia menampilkan Yesus dengan wajah yang memelas. Mahkota duri dan luka sesahan mengalirkan rona merah di wajah dan tubuh-Nya. “Lihatlah Manusia itu!” Para pemuka agama dan penjaga melihat-Nya. Maka berteriaklah mereka dalam kebencian: “Salibkan Dia!” (Yoh. 19:5-6). Agama dengan para pemukanya, yang diharapkan membawa manusia kepada kemanusiaannya, malahan tampil dalam wajah bengis dan brutal. Bukankah sampai sekarang hal semacam itu masih terjadi di sekitar kita? Bagaimana dengan Pilatus? Sang pemimpin pun cuci tangan atas kebrutalan dan kebengisan yang terjadi. Ia harus tetap tampil suci.
Pencitraan pemimpin memang harus seperti itu. Tetapi di tangannya mengalir darah ‘Sang Manusia itu’.
“Lihatlah Manusia itu!” Sang Manusia itu, tidak pernah berhenti untuk membawa manusia pada kemanusiaannya. Di puncak derita-Nya, Ia menitipkan ibu-Nya pada Yohanes. Ia mengajarkan manusia untuk menerima sesamanya (Yoh. 19:25-27). Di kayu salib, Sang Manusia itu mengakhiri hidupnya. Alam semesta gelap pekat. Iblis pun tertawa. Angkara murka merajalela. Tetapi tiga hari kemudian, Sang Manusia itu bangkit dari kematian-Nya. Ia menang! Dan karena itu, manusia selalu mendapat jalan untuk kembali pada kemanusiaannya.
“Lihatlah Manusia itu!” Sang Manusia itu adalah contoh teladan kemanusiaan kita. Ketika kita tidak dapat lagi menemukan teladan kemanusiaan bahkan dalam wajah agama dan para tokohnya. Ketika para pemimpin tidak mampu membawa kita kembali pada kemanusiaan, maka kita diajak untuk melihat sekali lagi kepada Sang Manusia itu! Ialah teladan sempurna kemanusiaan kita. Dalam Dia, kita kembali belajar menerima sesama. Dalam Dia kita kembali belajar apa artinya maaf dan pengampunan. Dalam Dia kita kembali belajar mengasihi dengan kasih sejati. Semoga Paskah tahun ini, membawa kita kembali pada wajah kemanusiaan sejati. Tuhan memberkati!
| Pdt. Rudianto Djajakartika
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.