Suatu ketika, seorang CEO (Chief Executive Officer} atau Pejabat Eksekutif Tertinggi perusahaan besar yang sangat sukses, bepergian bersama isterinya dengan mengendarai sebuah mobil mewah. Biasanya ia menggunakan sopir, tapi kali ini tidak, karena ia ingin menikmati perjalanan itu bersama istrinya. Di tengah jalan, parameter bahan bakar menunjukkan bahwa persediaan bahan bakar menipis, sehingga ia segera memasuki salah satu SPBU yang ditemuinya dan memesan kepada petugas agar mobilnya diisi bahan bakar.
Sambil menunggu tangki bahan bakarnya diisi, CEO sukses ini berjalan-jalan sejenak ke taman di tengah SPBU tersebut. Sekembalinya dari taman, ia melihat istrinya sedang asyik berbicara dengan petugas SPBU, namun ketika mereka melihatnya datang, mereka langsung menghentikan pembicaraan mereka. Sambil melanjutkan perjalanan, CEO sukses ini bertanya kepada istrinya, “Kelihatannya, kamu tadi asyik sekali berbicara dengan petugas SPBU itu. Bicara apa sih?” Sang istri menjawab, “Oh, dia adalah mantan pacarku waktu di SMU. Kami pernah berpacaran selama satu tahun.”
Dengan bangga CEO itu lalu berkata, “Untung kamu menikah dengan aku, sehingga sekarang kamu menjadi istri seorang CEO yang hebat dan sukses. Coba kalau kamu menikah dengannya, mungkin sekarang kamu menjadi istri seorang petugas SPBU.” Sang istri lantas menimpali, “Oh sayang, jika aku menikah dengannya, maka ia akan menjadi CEO yang hebat dan sukses, sedangkan kamu akan menjadi petugas SPBU!” (diambil dari buku “Fight Like A Tiger Win Like A Champion”).
Belajar Merendahkan Diri itu Sukar Tetapi Hasilnya Indah
Ada dua hal yang sering bergandengan erat, yaitu meninggikan diri dengan cara merendahkan orang lain, Karena itu biasanya ada orang yang dijadikan korban untuk memperoleh kepuasan hati! Tuhan Yesus mengajarkan dan melakukan sikap rendah hati dan merendah, agar supaya sebagai para pengikut-Nya, kita dapat memancarkan sikap itu dalam seluruh kehidupan kita. Yesus bukan sedang mengajarkan sikap yang lemah kepada kita, tetapi sebaliknya justru sikap yang sangat kuat, menarik dan dapat memberkati orang-orang di sekeliling kita.
Ketika Naaman, panglima perang Aram yang mempunyai sakit kusta itu, mau merendah dengan mendengarkan nasihat para pembantunya dan mengikuti perintah Elisa, melalui budaknya, untuk mandi di sungai Yordan, apa yang terjadi saat itu? Ia telah menjadikan orang-orang yang rendah derajatnya itu terangkat dan bersemangat sebab merasa dihargai dan berguna, sedangkan Naaman sendiri memperoleh berkat kesembuhan dari Tuhan! Seseorang bernama Thomas Washbourne mengatakan, “Walaupun surga tinggi, gerbangnya rendah, dan siapa yang datang harus menunduk.”
Suatu hari, seorang ayah dan anak kecilnya berjalan di Chicago dan melewati tempat di mana sebuah gedung pencakar langit sedang dibangun. Ketika menengadah ke atas, mereka melihat orang-orang sedang bekerja di lantai atas gedung itu.
“Ayah,” kata anak itu, “Apa yang dilakukan anak-anak kecil di atas sana?”
“Mereka bukanlah anak kecil, tetapi orang dewasa, Nak.”
“Tetapi mengapa mereka terlihat kecil?”
“Karena mereka sangat tinggi,” jawab ayahnya.
Setelah diam sejenak, anak itu bertanya lagi, “Lalu, Ayah, ketika mereka sampai di sorga, mereka tidak akan kelihatan lagi, benar kan?”
“Ya benar. Makin dekat kita pada Kristus, makin kecil orang melihat kita, dan makin besar melihat Kristus” (dari buku “Melakukan Buah Roh”).
Yesus Datang, Dia Merendahkan Diri.
Di dalam Lukas 14:1 kita membaca bahwa Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin orang Farisi untuk makan. Kedatangan-Nya pasti bukan hanya karena Ia merasa lapar atau menginginkan makanan yang enak. Jangan lupa pada perkataan-Nya di dalam Markus 10:45, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Inilah kerendahan hati paling hebat yang pernah dilakukan di dunia ini, dan tidak ada yang menyamai-Nya. Yesus paling mengetahui makna merendahkan hati dan merendahkan diri. Setiap kehadiran-Nya berkaitan dengan pelayanan dan penebusan yang dilakukan dengan kerendahan hati, seperti yang dilakukan-Nya pada hari itu, sebab di rumah itu pasti sudah berkumpul banyak orang Farisi yang memusuhi-Nya.
Dalam kesempatan lain, kita baca Lukas 16:14, “Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi, hamba-hamba uang itu, dan mereka mencemoohkan Dia.” Juga di dalam Matius 12:14, “Lalu keluarlah orang-orang Farisi itu dan bersekongkol untuk membunuh Dia.” Jadi, ketika merendahkan diri-Nya, Yesus seperti sedang memasuki kandang Singa. Di dalam ayat 1 dikatakan bahwa semua yang hadir mengamat-amati-Nya dengan saksama. Mereka memandang-Nya dengan penuh curiga dan mencari-cari kesalahan yang mungkin akan dilakukan oleh Yesus. Namun demikian sikap Yesus tetap wajar, tak ada rasa takut terhadap siapapun, dan hati-Nya tergerak untuk menyembuhkan orang yang sakit busung air meskipun hari itu Sabat. Sesudah merendahkan diri dalam pelayanan yang berisiko tinggi itu, selanjutnya Tuhan Yesus juga memberikan pelajaran tentang bagaimana seharusnya kita membawa diri dalam pergaulan di tengah masyarakat, supaya di manapun juga kita tetap dapat menjadi terang dunia dan tidak menjadi batu sandungan.
Pelajaran Penting Apakah yang Disampaikan Tuhan Yesus Kepada Kita?
Pertama
Jadilah orang yang dapat menempatkan dan membawa diri di manapun juga. Dalam hal ini lebih baik merendah, dan kemudian ditinggikan, daripada meninggikan diri dan akan direndahkan. Dalam Amsal 25:6,7 ada nasihat supaya kita jangan berlagak di hadapan raja atau para pembesar, bisa berabe. Tapi di Amsal 22:29 kita membaca yang sebaliknya, “Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.” Kalau begitu, menempatkan diri dan membawa diri sangat penting di dalam pergaulan dengan semua lapisan masyarakat. Kesan pertama dalam suatu penampilan dan perjumpaan kita dengan siapa saja, akan berdampak luas. Dalam pelajaran-Nya, Tuhan Yesus mencela kecenderungan manusia yang mengejar kehormatan bagi dirinya. Dampak negatifnya adalah haus sanjungan, merasa bangga jika sampai dikagumi, dan terbius oleh kemuliaan semu. Kalau sudah begitu, sebagai orang yang gila hormat, ia tidak lagi dapat menghargai sesamanya, dan tidak mempunyai rasa takut kepada Tuhan.
Kedua
Adalah sangat baik jika kita membiasakan untuk tidak menonjolkan diri serta rela berada di tempat yang rendah. Bukankah Tuhan dan Guru kita juga telah memberikan teladan yang sangat mengesankan? Biarlah orang lain menilai diri kita, sebab siapa tahu kalau-kalau kita hanya dipandang dengan sebelah mata.
Ketiga
Menjaga diri untuk tidak dipermalukan, dan memiliki rasa malu menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia. Lukas 14:9 mengatakan, “… lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah.” Ternyata Tuhan telah mengaruniakan rasa malu kepada kita dengan multi maksud. Bayangkan seandainya kita tidak lagi memiliki rasa malu dalam segala hal. Hidup ini akan teramat kacau-balau dalam segala aspeknya, termasuk dalam bidang ibadah. Perlu terus dipupuk rasa malu yang pada tempatnya, supaya kita jera melakukan kebodohan-kebodohan. Rasa malu juga dapat memacu kita untuk lebih bersungguh-sungguh dalam berprestasi dan terutama menjadi tali kekang yang kuat pada saat kita tergerak untuk menyombongkan diri, kekayaan dan kepandaian kita.
Keempat
Belajar menghargai sesama yang kurang beruntung dan hina (Lukas 14:13), dan berbagi sukacita serta kebahagiaan dengan mereka yang tidak mungkin dapat membalasnya. Merendahkan hati dan diri bukan hanya secara teori tetapi di dalam praktik hidup yang senyatanya. Jangan pernah berpikir bahwa kita lebih saleh, lebih suci dan lebih baik daripada orang hina dan kotor itu, sebab Tuhanlah yang menilai.
Ada sebuah cerita menarik tentang seorang pertapa yang sombong. Suatu hari datang seorang pendosa menghadap kepadanya untuk mengungkapkan isi hatinya yang penuh dengan penyesalan dan kerinduan untuk memperoleh pengampunan dari Tuhan. Pertapa itu menanggapinya dengan sangat sinis sambil berkata, “Anda mengharapkan pengampunan, Anda yang pendosa kelas kakap? Mawar akan lebih cepat tumbuh pada tongkat ini, daripada Allah yang memberikan pengampunan atas semua dosamu.” Sesudah berkata demikian, pertapa itu berbalik meninggalkan pendosa yang begitu putus asa itu. Tetapi tiba-tiba ujung tongkat milik pertapa itu masuk ke dalam tanah dan berakar sehingga tidak bisa dicabut lagi. Muncullah batang dan daun-daun melingkar pada tangkatnya, juga bunga yang mekar dengan indahnya. Seketika terdengar suara Tuhan kepada pertapa itu, “Sebelum mawar ini mekar pada tangkai yang kering, Aku sudah lebih dahulu mengampuni si pendosa yang bertobat, dan menolak orang yang sombong.” Setelah mendengar suara Tuhan, sang pertapa segera menemui si pendosa yang bertobat itu untuk berdamai.
Merendahkan Diri di Dalam Praktik Hidup
(Ibrani 13:1-8. 15-16)
- Bersedia menjadi repot, karena menerima orang menumpang di rumah kita.
- Peduli kepada orang-orang hukuman serta mereka yang diperlakukan tidak adil.
- Menghormati perkawinan kita yang sudah ditetapkan oleh Tuhan.
- Selalu menjadi hamba Allah dan bukan hamba uang.
- Memperhatikan kebutuhan hidup para pemimpin yang sudah menyampaikan Firman Tuhan.
- Dengan rendah hati mempersembahkan korban syukur kepada Allah, melalui berbagai macam cara di sepanjang hidup kita.
- Semakin hari semakin menyadari dan meyakini bahwa Allah berkenan kepada persembahan korban yang bukan ritual saja, melainkan juga perbuatan baik dan pemberian bantuan kepada orang lain. Dengan demikian, kegiatan ini tidak mencari pujian bagi diri sendiri, tetapi dipersembahkan bagi kemuliaan Yesus Kristus yang tidak pernah berubah.
“Berbahagialah orang yang takut akan Tuhan, anak cucunya akan perkasa di bumi. Di dalam gelap akan terbit terang bagi orang benar!” (Mazmur 112).
[Pdt Em. Daud Adiprasetya]
1 Comment
Mardi Sagala
Agustus 23, 2013 - 4:14 pmTerima kasih sangat memberkati ….syalom !