Lalu Ia berfirman: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” (Kel. 3:5)
Saat menyebut tempat kudus, pikiran orang biasanya akan langsung tertuju ke rumah-rumah ibadat. Pikiran ini tentu didasarkan pada keyakinan bahwa di rumah-rumah ibadat itulah Allah yang kudus berdiam, dan menjadi alasan tempat itu disebut tempat kudus. Lalu, bagaimana dengan “areal” di luar rumah ibadat?
Saat Musa berjumpa dengan Allah di gunung Horeb, Allah menyebut tempat di mana Musa berdiri adalah tempat yang kudus. Tidak ada kemah suci di situ, yang ada adalah semak- semak di gunung Horeb. Itu berarti tanah atau bumi juga menjadi tempat Allah berdiam. Apalagi, bumi dan semesta adalah karya ciptaan Allah. Allah sendiri memilih untuk berinkarnasi, tinggal melalui Yesus Kristus di dalam dunia, di atas bumi. Roh Kudus juga hadir di dunia, bahkan berdiam dalam diri manusia. Karena itu, bumi dan diri manusia itu sendiri menjadi kudus. Ketika Allah meminta Musa menanggalkan kasut, hal ini dapat kita tafsirkan sebagai seruan untuk menjaga kekudusan. Allah itu kudus, maka manusia pun harus menjaga hidup kudus.
Bumi tempat kita hidup adalah tempat kudus sebab Allah berdiam bersama dengan kita di bumi. Karena itu, kita tidak boleh mencemarkan dan merusak bumi, sama seperti kita tidak merusak hidup kita sendiri yang sudah dikuduskan oleh Kristus. Orang percaya mesti menjaga integritas dirinya sebagai cara menjaga kekudusan hidup, dan sekaligus merawat bumi sebagai cara kita menghormati Allah kehidupan. [Pdt. Hariman Pattianakotta]
REFLEKSI:
Merawat bumi sama penting dengan merawat diri sendiri. Itulah cara kita mensyukuri kehidupan yang di dalamnya Allah berdiam.
Ayat Pendukung: Mzm. 72; Kel. 3:1-5; Ibr. 11:23-31
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.