Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka. (Yak. 2:1)
Apakah kita seorang yang lebih peduli akan merek pakaian kita dibandingkan fungsinya? Apakah gaya hidup kita telah menganggap barang-barang mewah sebagai kebahagiaan kita? Apakah kita lebih terpaku pada kesuksesan lahiriah daripada batiniah? Apakah kita menjauh dari orang-orang yang kelas sosialnya “lebih rendah” daripada kita? Jika ya, bisa jadi kita termasuk snobs (snobbery) yang memiliki kecenderungan bersikap angkuh dan pamer berdasarkan hal-hal yang lahiriah.
Dengan kecanggihan teknologi informasi saat ini, godaan untuk menjadi snob sangat besar. Bukankah kita merasa senang bisa memperlihatkan di media sosial barang-barang, perjalanan wisata, ataupun restoran-restoran mewah yang pernah kita datangi? Bukankah kita menanti-nantikan “like” ataupun pengakuan dari orang lain terhadap semua unggahan kita? Kebergantungan terhadap hal itu tentunya akan memengaruhi kejiwaan kita dan orang lain. Bahkan, bisa memancing iri hati dan perbuatan jahat.
Gereja mula-mula pun tidak lepas dari permasalahan sosial seperti itu. Yakobus menggambarkan tentang perlakuan jemaat yang berbeda terhadap seseorang berdasarkan penampilan atau status sosial mereka. Hal itu bisa menghancurkan jemaat. Padahal, di hadapan Tuhan, setiap orang adalah sama. Bagaimana dengan kehidupan bergereja kita saat ini? Apakah orang miskin bisa beribadah dengan nyaman tanpa merasa dibedakan dan dipermalukan? [Ibu Yessy Sutama]
REFLEKSI:
Gereja adalah tempat di mana setiap orang bisa diterima dan merasa nyaman terlepas dari status sosial apa pun.
Ayat Pendukung: Mzm. 7; Amos 3:9-4:5; Yak. 2:1-7
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.