“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Luk. 6:20)
“Hidup saya akan bahagia jika saya bisa mendapatkan karier impian saya,” demikian tutur seseorang pada saat konseling. Kita dapat mengganti kata “karier” itu dengan “pasangan” atau “rumah” atau apa pun juga yang kita idamkan. Kita merasa akan berbahagia apabila kita mendapatkan sesuatu. Makin banyak yang kita dapatkan sesuai keinginan kita, maka kita merasa akan makin bahagia.
Yesus mengungkapkan jalan lain menuju kebahagiaan. Bukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin, tetapi dengan mengakui kelemahan dan keterbatasan kita. Orang yang miskin disebut-Nya berbahagia. Mengapa? Yesus mengungkapkan alasannya, yaitu karena merekalah empunya kerajaan Allah. Apa maksudnya? Jalan kebahagiaan sejati adalah ketika kita mengakui kelemahan dan keterbatasan kita sehingga bergantung sepenuhnya pada kemurahan Allah. Miskin, baik secara rohani atau jasmani, akan membawa kita mengalami kebergantungan pada Allah, sumber kehidupan. Kita hidup bukan mengandalkan kemampuan diri, tetapi mengandalkan kemurahan Allah. Inilah jalan kebahagiaan yang sejati.
Berapa banyak yang telah kita kumpulkan sampai saat ini? Apakah hal itu membawa kebahagiaan atau justru masalah dalam kehidupan kita? Mari kita menempuh jalan lain menuju kebahagiaan, yakni hidup bergantung sepenuhnya pada Allah; menyadari keterbatasan kita dan melekat kepada-Nya. [Pdt. Wahyu Pramudya]
DOA:
Tuhan, ajarlah kami untuk menyadari keterbatasan kami dan menjalani hidup dalam kebergantungan kepada-Mu. Amin.
Ayat Pendukung: Yer. 17:15-10; Mzm. 1; 1Kor.15:12-20; Luk. 6:17-26
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.