Setiap perjumpaan selalu melahirkan kesan baik yang positif maupun negatif. Kesan-kesan itu berkumpul, berkelindan, dan melekat sedemikian rupa sehingga menciptakan satu kesimpulan kuat mengenai seseorang atau sekelompok orang. Contohnya seorang ibu berjumpa seorang anak muda bernama Budi. Si Budi selalu tersenyum saat berjumpa dengannya. Hari demi hari dan bulan demi bulan perjumpaan mereka itu membuat si ibu mengambil kesimpulan si Budi adalah orang yang ramah.
Lain lagi (contoh saja), seorang dari luar negeri berkesempatan tinggal di Jogja selama 4 bulan. Dia bertemu dengan beberapa orang Jawa yang selalu membantunya. Lalu di akhir perjumpaan ia mengambil kesimpulan bahwa orang Jawa itu senang membantu.
Contoh di atas adalah contoh positif. Tidak jarang bahwa seseorang kemudian membentuk stigma (tanda) terhadap orang lain atau sekelompok orang bahkan dirinya sendiri secara negatif. Bahkan stigma yang dimiliki banyak orang membentuk generalisasi dan stereotyping. Dan sigma model ini membangun benteng kuat yang menghambat persahabatan.
Bukankah setiap orang ada positifnya yang harus diapresiasi dan punya kekurangan yang harus diterima? Bukankah setiap kelompok ada beragam orang yang berbeda-beda pemikiran dan selalu ada black swan (angsa hitam) yang membuktikan stereotyping itu adalah sebuah ilusi? Apakah stigma yang Saudara buat bagi orang lain? Sebenarnya stigma itu bukan hanya mengganggu persahabatan tetapi juga menyiksa diri sendiri dengan menyuburkan pikiran negatif di dalam jiwa kita. Bersahabatlah!
#Beyond
#Adven4
#Natal21
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.