Ritualisme secara sederhana dapat diartikan mengerjakan rutinitasnya tetapi kehilangan tujuan dan maknanya. Seseorang memiliki kecenderungan membangun pola perilaku yang berulang dalam semua hal termasuk dalam peribadahan. Tengoklah kebiasaan berdoa dengan lipat tangan dan tutup mata. Pada awalnya, lipat tangan dan tutup mata adalah upaya untuk menjadi terarah pada Allah dimana doa itu ditujukan. Namun bisa saja, hal ini kemudian berubah menjadi sebuah tindakan ritualistis semata tanpa lagi memiliki makna. Orang bisa saja nampak berdoa tetapi pikirannya terarah pada hal lain selain Allah.
Ritualisme, kalau boleh disebut sebagai penyakit, dapat menjangkiti semua orang di semua agama. Dari jaman dahulu pun penyakit ini menjadi momok kaum beragama. Orang Yahudi yang rajin menjalankan puasa tanpa makna, imam yang melayankan peribadahan hanya sebagai sebuah kebiasaan, dan para Farisi yang menjaga aturan keagamaan tanpa memahami tujuan dan maksud terdalam dari aturan itu.
Di Minggu adven ketiga ini kita diajak untuk menengok kembali kehidupan ritual kita. Masihkah dengan makna yang kokoh dan kuat serta dalam kesadaran yang penuh, ataukah sekedar ritualisme semata. Yesus dalam banyak kesempatan mengingatkan kembali makna-makna dalam ritual-ritual beragama, misalkan mengenai puasa, berdoa, memberi persembahan, dan tentang hari Sabat. Mari menjalani ritual yang bermakna. Lampauilah ritualisme dan kembalilah pada tujuan yang mulia.
#Beyond
#BA
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.