Alkisah, saat wabah global melanda di mana-mana, terjadilah percakapan antara malaikat dan iblis:
Malaikat: Apa yang sebenarnya sedang kaulakukan, hai iblis?
Iblis : Oh, aku sudah lama membuat umatmu terlena, karena itu kini aku ingin membuat kejutan. Izinkanlah aku meminta 10.000 korban saja.
Kemudian mulailah iblis melakukan aksinya. Setelah iblis selesai melakukan operasinya, tiba-tiba si malaikat menegurnya.
Malaikat: Dulu engkau berjanji minta korban 10.000 saja, tapi kenapa kini menjadi 20.000?” Iblis : Tunggu dulu penjelasanku, jangan keburu emosi, kawan. Hasil operasiku tetap tidak berubah sebagaimana yang sudah kukatakan, yaitu 10.000 jiwa. Adapun yang 10.000 lainnya bukan karena kubinasakan, tetapi karena mereka ketakutan.
TAKUT
Bukankah suasana seperti itu yang terjadi saat ini ketika pandemi COVID-19 menebar ketakutan besar di muka bumi, baik kepada pribadi, keluarga, maupun warga masyarakat di mana pun mereka berada? Dari hari ke hari, COVID-19 yang menakutkan ini terasa makin dekat dengan kita dan keluarga kita. Rasa takut seperti ini membuat kita tidak dapat melakukan segala sesuatu dengan wajar. Ketakutan sering kali menghalangi hal-hal yang sewajarnya kita lakukan, karena kita menjadi sensitif dan defensif. Ketakutan itu lawan dari kasih. Alkitab mengatakan bahwa kasih yang sejati melenyapkan ketakutan, tetapi juga sebaliknya, ketakutan melenyapkan kasih.
Biasanya orang yang takut hanya akan berfokus kepada dirinya sendiri, sehingga tidak peduli kepada orang lain, apalagi mengasihinya.
Bagaimana mengatasi rasa takut?
Pertama-tama kita mesti mengakui dan menghadapi rasa takut itu sendiri, jangan mengelak atau menyembunyikannya karena takut diketahui orang lain. Dalam hal ini, marilah kita belajar dari sikap Yesus ketika Dia mengalami ketakutan dan mengakuinya dengan jujur. Kata-Nya, “Aku merasa takut dan gentar seperti mau mati rasanya.” Hal ini terjadi ketika Dia berada di taman Getsemani menjelang kematian-Nya. Yesus mengakui, menghadapinya, dan tidak melarikan diri. Namun Dia juga tahu alamat untuk mengadukan ketakutan Nya: tidak kepada siapa pun, hanya kepada Sang Bapa. Dia berdoa dan menyerahkan semua ketakutan itu kepada Allah, karena tahu bahwa tak seorang pun mau mengambil alih ketakutan-Nya, kecuali Allah yang peduli dan sanggup melakukannya.
Manusia cenderung ingin mengambil kesuksesan atau harta kekayaan Anda, tetapi tidak bersedia mengambil ketakutan Anda. Hanya Allah yang bersedia menerima dan mengambil alih ketakutan Anda, sebab Dia itu kasih. Kasih yang sejati melenyapkan ketakutan.
PRAHARA KELUARGA
Pandemi COVID-19 ini bukan saja menyebar ketakutan, melainkan juga banyak menimbulkan gonjang ganjing di tengah keluarga, manakala anggota anggota keluarga memiliki banyak waktu di rumah karena mesti bekerja dari rumah atau dirumahkan, baik ketika penghasilan keluarga menurun tajam, maupun masih berkecukupan. Bahkan anak-anak pun harus belajar dan melakukan aktivitas dari rumah. Dalam kondisi seperti ini, perjumpaan dengan anggota keluarga yang terus-menerus setiap hari, sering menimbulkan rasa jemu dan jenuh. Rutinitas yang monoton pun mudah menyulut prahara keluarga, baik antara suami dan istri, maupun antara orangtua dan anak. Konon, selama masa pandemi ini setiap hari banyak pasangan yang mengajukan gugatan perceraian sebagai akibat prahara rumah tangga yang berkepanjangan.
Kenyataan ini menyadarkan kita semua, bahwa setiap orang pada hakikatnya ‘rapuh’ dan penuh keterbatasan. Pandemi ini telah menggerus kehidupan keluarga, baik secara finansial maupun sosial dan bahkan spiritual, sehingga kita sulit menanggapi hidup ini dengan baik. Dalam relasi dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang kita cintai, acap kali ego dan egosentris mengalahkan harmoni dan spirit cinta kasih. Dalam ketegangan dengan orang lain atau konflik keluarga, sikap menang-kalah yang disertai dengan mempertahankan ‘gengsi’ atau harga diri, menjadi prinsip yang kita pegang, sehingga kita sulit untuk saling memaafkan satu dengan yang lainnya.
MOMEN SPIRITUAL
Yang menjadi masalah sekarang ialah bagaimana menjadikan situasi di dalam dan selama masa pandemi ini, bahkan dalam kesadaran kita yang penuh kerapuhan ini, sebagai momen spiritual guna menopang kerapuhan kita. Dalam hal ini pemazmur pernah berucap, ”Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya” (Mazmur 127:1). Pemazmur mau menegaskan bahwa membangun kehidupan keluarga bukan sekadar membangun rumah dan memilikinya (house) tetapi bagaimana menciptakan suasana yang aman dan nyaman untuk didiami (home sweet home). Dalam rangka membangun keluarga yang seperti inilah, pemazmur sadar bahwa dengan kekuatannya sendiri, hal itu tidaklah mungkin. Kita bisa membangun rumah dengan bangunan fisik yang megah, tetapi semuanya itu bisa menjadi mubazir tanpa disertai dengan harmoni keluarga yang dilandasi spirit cinta kasih. Dan karena kita masing-masing rapuh, maka tanpa kehadiran Tuhan yang mengendalikan hidup rumah tangga kita, usaha itu akan sia-sia belaka. Jadi, yang mesti kita lakukan ialah, “Kasihilah Allah dengan segenap hatimu, dan segenap jiwamu, dan segenap akal budimu.” Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah, “Kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri” (Matius 22:37-39).
Apakah Allah yang mewujud dalam Kristus telah menjadi prioritas keluarga kita?
Dunia dan sekitar kita akan terus berubah, tetapi Tuhan Yesus Juru Selamat kita tidak akan pernah berubah, baik kemarin, hari ini, dan selama-lamanya. Kasih dan kesetiaan-Nya tetap menyertai kita sehingga dalam spirit seperti ini pula kita diajak untuk saling mengasihi dan mengampuni. Ketegangan dan perselisihan dalam relasi suami-istri, orangtua-anak, adalah dinamika keluarga yang mesti kita tempatkan dalam kerangka mencapai tujuan iman, yaitu Tuhan yang bertakhta dalam keluarga, sehingga tidak membiarkan ego dan nafsu menguasai diri kita.
Pandemi COVID-19 memang ‘perkasa’ dan bisa memorakporandakan biduk keluarga kita, tetapi ingat, ia bukan “yang maha kuasa.” Sebab itu, pandemi bukanlah sebuah ‘ending’, tapi tantangan hidup untuk terus membangun spiritualitas keluarga dengan menempatkan Tuhan Yesus sebagai ‘pengendali dan pemelihara’ hidup keluarga kita, sehingga kita makin tangguh dan teguh.•
| PDT. EM. AGUS SUSANTO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.