Sukacita Bagi Semua

Sukacita Bagi Semua

Belum ada komentar 485 Views

IA yang datang di  “tepian kehidupan”

Natal sama sekali bukanlah kisah romantik. Kitalah yang acap menghiasinya dengan warna-warni dekorasi baik fisik maupun rohani-spiritual. Sedemikian rupa sehingga Natal bukanlah Natal bila tidak meriah dan menyukacitakan, lengkap dengan makanan mewah-lezat serta hadiah-hadiah mahal. Sedemikan rupa sehingga terkadang maknanya mirip dengan hari raya, sekadar pesta sekaligus kesempatan keluarga berkumpul serta saling bermaafan.

Natal bukanlah peristiwa surgawi, tetapi sebaliknya duniawi, bahkan amat duniawi. Intinya adalah Allah yang berkenan datang dan tinggal di antara kita manusia. Ini tidak sama dengan pejabat pemerintah yang datang meninjau sebentar ke pasar, naik bus-way, atau kereta api bumel, guna memberi kesan merakyat. Padahal sesudah itu ia menaiki mobil dinasnya yang mewah dan sejuk kembali ke rumah dinasnya yang amat besar dan megah.

Oleh karena itu tidak perlu diherankan bahwa Kitab Suci kita sarat dengan kisah yang duniawi dan manusiawi. Karena Natal adalah kisah bagaimana Tuhan menjadi duniawi dan manusiawi. Tak ada tempat bagi-Nya di penginapan, lahir di kandang Betlehem. Ia lahir dalam keluarga tukang kayu, keluarga yang bersahaja seperti kebanyakan dari kita. Tuhan kita adalah Tuhan yang datang di “tepian kehidupan” bukan di “pusat kehidupan”.

Tuhan tidak datang bergelimang kuasa apalagi kemewahan. Ia juga tidak hadir di puncak peradaban di lingkungan kaum borjuis. Sebaliknya pertama-tama IA datang dan menyapa orang-orang yang juga ada di tepian. Mereka yang harus berjuang agar dapat tetap hidup. Mereka yang tersisih. Mereka yang paling sering menjadi korban dari ulah mereka yang berada di pusat.

Mereka yang berada di tepianlah yang kerap ditinggalkan serta tidak dipedulikan oleh mereka yang berada di tengah. Merekalah yang paling membutuhkan pertolongan bahkan pembebasan yang tak mungkin datang dari siapapun kecuali dari Tuhan. Maka sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru mereka “yang di tepian” justru yang diperhitungkan Tuhan. Misalnya, alih-alih Barak justru Debora yang dipakai Tuhan untuk memenangkan umat-Nya.  Dalam daftar panjang orang-orang tepian itu, kita kenal nama Yefta si anak haram, Rahab sang pelacur, murid-murid Yesus yang sebagian besar orang bersahaja, Maria Magdalena, dan tentu saja para gembala di padang Efrata.

Belajar dari para gembala

Maka bukanlah suatu kebetulan bahwa kelahiran Yesus Kristus diberitakan kepada para gembala. Padahal mereka adalah orang-orang sederhana, yang hanya tahu tentang ternak, dan bersedia berbulan-bulan tinggal di padang. Mereka tidak berpendidikan dan tidak kenal tata sopan-santun. Ditinjau dari aspek religius para gembala jelas tidak dapat diandalkan. Mereka nyaris tidak pernah memenuhi aturan dalam Taurat, misalnya tentang kebersihan dan kemurnian. Sedangkan dalam aspek sosial, para gembala tidaklah dapat dipercaya. Itu sebabnya para gembala tidak dibolehkan menjadi saksi dalam suatu perkara pengadilan.
Tetapi justru dari mereka inilah, yang jelas-jelas berada di tepian, kita dapat belajar bagaimana menyambut kedatangan Kristus. Setidaknya mereka menunjukkan tiga reaksi atas warta kelahiran Yesus, yang jelas berdasar pada sikap hidup yang mesti kita refleksikan senyampang kita berada dalam masa raya Natal.

Takut

Pertama-tama, para gembala terkejut dan takut ketika malaikat Tuhan datang kepada mereka. Memang mereka bukan orang yang modern dalam zamannya, sebaliknya mereka adalah orang-orang sederhana dan lugu. Maka malaikat memulai pewartaan kedatangan Kristus dengan imbauan lembut: “Jangan takut…!” (Lukas 2:10). Inilah hidangan pembuka yang amat serasi dengan hakikat berita Natal.

Tetapi takut mereka bukan sekadar “takut anak kecil akan gelap” atau sekadar “takut atas melapetaka”. Pada saat itu mereka lebih mirip dengan seorang anak yang terkejut dan takut karena ketahuan berbuat nakal, atau seorang pengendara mobil yang terkejut dan takut ketika melihat mobil polisi di kaca spion, karena di perempatan terakhir ia melewati lampu merah. Takut para gembala adalah perasaan tidak berdaya di hadapan kuasa dan kehadiran Allah. Takut mereka adalah takut Musa di depan semak-semak yang menyala namun tidak terbakar di gurun, takut Maria yang dikunjungi malaikat Gabriel.

Kitalah, yang berada di pusat kehidupan pada zaman ini, yang tidak terlalu biasa dengan sikap takut para gembala dalam menyambut kedatangan Tuhan. Bila malaikat Tuhan datang kepada kita saat ini mungkin memang agak kaget dan sedikit takut. Tetapi kalau seorang pendeta atau pastor dalam suatu khotbah menyerukan kita agar takut, kita niscaya akan mengernyitkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala. Padahal justru di sinilah letak persoalannya.

Pada zaman ini kita tidak terkejut dan takut dalam menyambut berita Natal, kedatangan Kristus. Bahkan kehadiran Allah pun tidak kita sambut dengan semestinya, alih-alih takut. Sebab kita lebih mudah takut pada krisis moneter global, fluktuasi bunga deposito di bank, kenaikan pajak, kian mahalnya asuransi-asuransi. Bahkan dalam kenyataannya kita lebih takut terhadap hal-hal itu daripada terhadap kedatangan Kristus dan kehadiran Allah dalam hidup kita. Maka tak perlu diherankan bila akibatnya kita tidak terlalu memedulikan kehendak Tuhan serta mengabaikan norma-norma ketuhanan. Sehingga dunia dan kehidupan menjadi kian rusak.

Percaya

Hal berikut yang dapat kita pelajari dari para gembala adalah sikap percaya. Dari malaikat Tuhan para gembala tidak hanya boleh menerima hidangan pembuka dari berita Natal, tetapi juga hidangan utama yang sangat mendasar dan krusial, yaitu kelahiran Kristus, Tuhan, Juruselamat bagi dunia, bagi segenap umat manusia. Dan seperti berita kelahiran pada umumnya, ia adalah sekaligus undangan untuk menjenguk dan mengagumi bayi yang baru lahir. Berita kelahiran dan kedatangan Kristus, adalah sekaligus undangan untuk menemui-Nya, yang tidak disia-siakan oleh para gembala.

Para gembala pergi ke Betlehem bukan untuk mengetahui atau memeriksa apakah berita yang dibawa malaikat itu benar atau tidak. Mereka pergi karena percaya pada firman Tuhan melalui malaikat-Nya. Maka itu mereka tidak kecewa ketika ternyata yang mereka dapati sangatlah bersahaja. Seorang bayi kecil dan lembut di kandang hewan, terbaring di tempat makanan ternak. Mereka percaya bahwa bayi yang bersahaja itu adalah sang Kristus!

Di sinilah acapkali masalah kita yang berada di pusat kehidupan pada zaman ini. Sikap percaya gembala hanya mungkin karena mereka mulai dengan sikap takut di hadapan Allah. Sikap mereka mengakui ketidakberdayaan dan kebergantungan mereka terhadap Allah. Inilah sikap yang sangat mendasar dalam relasi dengan Allah. Tanpa ini kita takkan mungkin percaya dan mengalami kehadiran Kristus dalam hidup kita. Dan inilah sebabnya mengapa kita kerap kali merasa begitu (terlalu) cemas tanpa dapat mengatasinya, terutama dalam menghadapi berita buruk, prediksi masa depan yang suram dan masalah-masalah kehidupan kita. Menghadapinya kita cenderung lari, atau mencari jalan pintas dan mudah, walau secara prinsip kita tahu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Maka tak perlu diherankan bahwa kehidupan dan dunia kita kian hari menjadi kian buruk.

Memuji TUHAN

Sikap yang ketiga adalah “memuji Tuhan”. Setelah menyembah Kristus para gembala kembali ke padang. Padang yang kini seperti sebelum para malaikat datang, gelap, sepi, dingin, tanpa malaikat yang menyanyikan kidung pujian mereka. Dan itulah memang dunia orang-orang yang hidup di tepian. Namun para gembala kembali dengan memuji Tuhan (Lukas 2:20).

Para malaikat yang datang memuji Tuhan tidak ada lagi, tetapi kini para gembalalah yang memuji Tuhan dengan suara dan kata-kata sendiri. Memuji Tuhan dengan kidung baru, kidung keselamatan. Perjumpaan dengan sang Kristus mengubah mereka. Memang mereka kembali memasuki dunia orang tepian yang sama, tetapi dalam pujian kidung yang baru. Kidung pujian yang mengubah segalanya, perspektif kehidupan, harapan yang baru, keselamatan! Inilah makna Natal yang terdalam: Kristus lahir maka para gembala lahir kembali! Anak datang agar kita datang kepada Bapa. Inilah yang telah terjadi pada para gembala.

Bersama Kristus menuju ke tepian

Sebentar lagi maka kita pun, yang berada di pusat kehidupan pada zaman ini akan kembali ke dunia kita seperti sebelum masa raya Natal. Apa yang dalam kebaktian dan perayaan Natal terasa begitu indah, teduh, damai, ceria, akan kembali menjadi pekat, penuh pergumulan dan persoalan. Dan itulah kenyataan keseharian kita di pusat kehidupan.

Namun dengan kedatangan Kristus kita punya pilihan lain. Yaitu meninggalkan zona aman kita di pusat menuju ke tepian kehidupan di mana Kristus hadir. Di situ ALLAH tidak menghendaki kidung malaikat. Di situ IA menghendaki kidung kita masing-masing. Seperti bagi para penghuni tepian kehidupan, dan bagi para gembala, kedatangan-Nya adalah agar kita melantunkan kidung kita masing-masing. Kidung yang bukan sembarang kidung, melainkan yang dikehendaki-Nya adalah kidung yang baru. Kidung keselamatan! Kidung yang dinyanyikan oleh orang yang punya harapan, apapun yang terjadi saat ini maupun kelak.

Oleh karena itu mari menuju ke tepian kehidupan dan belajar dari para gembala. Mari belajar  untuk takut, percaya serta memuji TUHAN dengan kidung yang baru. Bukan kidung malaikat, tetapi kidung orang-orang tepian. Sebab kepada merekalah Tuhan datang. Dan merekalah yang empunya kerajaan surga. Agar pada akhirnya semua yang berada di tepian bisa datang ke pusat kehidupan bersama Tuhan. Sehingga “Imanuel” menjadi kenyataan bagi semua. Dan sukacita pun dirasakan oleh semua.

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...