ruang

Rangkullah Dan Beri Ruang

Belum ada komentar 96 Views

Setiap pengalaman perjumpaan antar manusia selalu melahirkan beraneka ragam dinamika, penilaian, asumsi, dan ekspektasi. Pengalaman itu diolah oleh logika dan rasa sedemikian rupa sehingga melahirkan keadaan ribut-rukun. Tak terkecuali keluarga, ‘ribut-rukun’ juga terjadi di sana.

Salah satu penyebab keadaan ribut-rukun adalah adanya ekspektasi yang ditetapkan oleh satu anggota keluarga kepada yang lainnya. Apabila seorang ayah mengharap nilai yang baik dari putrinya di blangko rapor dan ternyata putrinya bisa memenuhi harapan itu, tentu keadaan akan baik-baik saja. Sebaliknya, bila nilai sang putri tidak sesuai dengan harapan ayah, keadaan ‘ribut’—baik konflik terbuka (marah, sedih, atau berantem antara ayah dan anak) maupun konflik tertutup (sang ayah memendam kepedihannya sendiri)— akan sangat mungkin terjadi.

Ekspektasi yang bermain dalam setiap kepala anggota keluarga terhadap anggota keluarga lain bisa berubah menjadi hal yang sangat berbahaya. Kadang kala dijumpai seorang ibu yang mengharapkan anaknya bisa mendapat nilai matematika yang sempurna, tetapi anak itu tak pernah bisa memenuhinya. Sang ibu tetap mempertahankan ekspektasinya dan memaksa anaknya dengan segala cara untuk memenuhi harapannya. Meski sang anak—dalam pemetaan kecerdasan—memiliki kecerdasan seni dan bahasa yang tinggi tetapi lemah dalam kecerdasan matematis— ibunya tetap saja memaksa. Apa yang terjadi? Anak itu akan jatuh dalam tingkat stres yang tinggi. Ia sering menangis, sakit perut bila menjumpai ulangan matematika atau fisika, dan suka melamun. Di sisi sang ibu, kemarahan selalu siap diledakkan kepada anaknya. Dari contoh ini, kita tahu bahwa ekspektasi yang tidak diselaraskan dalam sebuah keluarga akan berpotensi membuat penjara- penjara jiwa. Hal tadi baru satu di antara banyak kejadian yang dapat lahir dalam dinamika keluarga.

Kemampuan merangkul dan memberi ruang dapat dimulai dengan mengolah ekspektasi diri dan mengetahui ekspektasi pihak lain. Mengelola ekspektasi bersama dapat lahir dan dilahirkan dalam komunikasi yang positif antar anggota keluarga. Kadang kala orangtua merasa anak adalah pihak yang ‘harus patuh’.

Sering dijumpai bahwa anak tidak berkesempatan menyampaikan ekspektasinya, apalagi meraihnya. Bila sang ibu mau merangkul dan memberi ruang—dari contoh di atas—ia dapat memulai dengan melihat evaluasi kecerdasan anak. Sang ibu bisa mencoba mengubah ekspektasinya dan memberi perhatian lebih bagi kebahagiaan anak dengan memberi ruang bagi pengembangan seni dan bahasa, alih-alih memaksakan diri hanya dengan membangun kecerdasan matematisnya.

Bulan keluarga ini mengajak kita semua mengevaluasi kesediaan kita memberi cukup ruang bagi anggota keluarga kita dan merangkul mereka untuk mengembangkan talenta masing- masing. Bagi orang yang cemburuan, sudahkah Saudara memberi ruang gerak cukup bagi pasangan? Masih banyak pertanyaan reflektif lain yang bisa kita ajukan untuk membangun keluarga yang berbahagia dan bergembira. Selamat merangkul dan memberi ruang.•

» Pdt. Bonnie Andreas

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...