Dari perumpamaan yang Yesus sampaikan mengenai orang Farisi dan Pemungut Cukai, kita dapat melihat bagaimana tindakan dan sikap batin dapat menentukan keberkenanan Allah pada diri kita.
Benar, jika kita menghayati bahwa kasih Allah adalah sebuah anugerah.
Benar, jika kita percaya cinta-Nya unconditional.
Juga benar, Allah yang kita sembah bukanlah allah yang transaksional – kita memberi baru kemudian Ia mau memberkati.
Tapi di sisi lain, kita perlu memeriksa diri dan sikap batin. Jangan sampai, kita menjadi seperti orang Farisi dalam perumpamaan itu, yang mengucap syukur dalam doanya bukan karena kebaikan Allah, tapi justru membeberkan prestasi demi kemegahan diri. Ia membandingkan ‘kesucian’ nya dengan orang lain yang melakukan kesalahan. Membanggakan ritus keagamaan yang ia lakukan, demi sebuah kepuasan.
Berbanding terbalik dengan seorang pemungut cukai yang dicap pendosa, namun doanya tulus dalam kerendahan hati mengakui kesalahan.
Apa yang terjadi kemudian?
Si pemungut cukai lah yang menurut Yesus dibenarkan oleh Allah.
Saudara yang dikasihi Tuhan, hendaklah kita bersama keluarga terus mengupayakan diri melakukan hal yang berkenan di hadapanNya. Bukan agar dikasihi, tapi justru sebagai bentuk ungkapan syukur atas kasih setia-Nya yang tak berkesudahan.
Tuhan Yesus memberkati kita. Amin.
ASC
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.