Titik Balik
Kisah-kisah yang menggambarkan terjadinya titik balik dalam kehidupan seseorang pasti sangat menarik. Kita bisa heran ketika mendengar seseorang yang dulunya perokok berat, sekarang sudah tidak merokok sama sekali. Orang yang tadinya suka mengganggu orang lain dengan melakukan bullying, sekarang justru suka membantu dan peduli terhadap masyarakat di sekitarnya. Siswa atau mahasiswa yang tadinya malas, sekarang sangat rajin belajar dan berperan aktif dalam kegiatan di sekolah atau di kampus.
Namun juga ada yang sebaliknya. “Lo, bukankah dia dulu anak yang periang dan suka berpartisipasi dalam setiap kegiatan di kampung? Mengapa sekarang menjadi pendiam dan sama sekali tidak mau berperan apa-apa lagi?”
Peristiwa kebangkitan Yesus dari kematian merupakan dasar utama terjadinya titik balik dalam kehidupan para murid. Pada zaman Yesus, tentu peristiwa kebangkitan itu menjadi viral di masyarakat. Bagaimana tidak? Masyarakat Yahudi pada umumnya memahami bahwa kebangkitan orang mati hanya akan terjadi pada akhir zaman, tapi ternyata Yesus membuat pengecualian. Kisah ini bermula dari kehidupan seseorang bernama Lazarus.
Mari kita perhatikan dialog antara Yesus dan Marta yang merasa kehilangan Lazarus—saudara laki-lakinya—karena Yesus datang terlambat (ay. 21). Yesus pun menjawab: ”Saudaramu akan bangkit” (23) dan Marta membalas dengan berkata: ”Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman.”
Jawaban Marta adalah gambaran pengharapan umum tentang kebangkitan yang dipahami orang-orang Yahudi saat itu. Mereka percaya bahwa akan ada kebangkitan orang mati. Mereka percaya bahwa Lazarus nanti akan bangkit, semua akan digenapi, dan Tuhan akan mengakhiri segala sesuatu yang ada di dunia ini. Memang akan ada kebangkitan. Kita semua percaya kalau akan ada kebangkitan setelah kematian, tetapi ternyata gambaran ini tidak seperti yang Yesus maksudkan.
Mari kita perhatikan jawaban Yesus yang sangat penting pada ayat 25, “Akulah kebangkitan dan hidup.” Kata I AM (present) yang dengan sengaja digunakan Yesus, mengingatkan para pendengar saat itu tentang “I AM THAT I AM” (Keluaran 3:14) yang merujuk pada tradisi Pentateukh. Mendengar kata ini, para pendengar yang berlatar belakang Yahudi langsung mengetahui bahwa Yesus sedang memperkenalkan diri sebagai YAHWEH. Hal ini tentu membuat mereka mempertanyakan keberadaan Yesus.
Menarik untuk kita simak, Yesus tidak mengatakan, “I will be the Resurrection” ( dalam bentuk future tense), tapi “I AM the Resurrection” (dalam bentuk present tense).” Bukannya Aku akan menjadi Kebangkitan, melainkan Akulah kebangkitan itu sendiri. Gambaran pernyataan Yesus ini menjadi jelas ketika Lazarus dibangkitkan pada hari itu juga dan bukan menunggu sampai akhir zaman. Apa pesan penting yang mau disampaikan di sini? Pasti bukan keajaiban terkait dengan keberadaan Lazarus yang sudah mati dan bisa bangkit kembali, melainkan kebangkitannya—yang menurut gambaran umum seharusnya terjadi pada akhir zaman—ternyata sudah terjadi di sini dan saat ini.
Perhatikan perkataan Yesus, “Akulah Kebangkitan dan Hidup.” Kalau Lazarus dibangkitkan nanti pada akhir zaman, semua orang juga sudah tahu, tetapi ketika kebangkitan itu terjadi pada saat ini juga, hal itu menyalahi waktu yang ditentukan dalam pengertian Yudaisme. Inilah ciri khas latar belakang pemikiran kitab Yohanes: Tuhan tidak dibatasi oleh waktu past, present, future, masa lalu, masa sekarang atau masa depan, tapi Dia selalu ada pada masa sekarang. Dia tidak pernah akan ada atau telah ada. Tuhan tidak dikurung oleh waktu, sebaliknya waktu harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya, sebab Dialah juga Tuhan atas waktu.
Ketika kita mencoba memahami kisah ini, kita akan mendapati seperti ada waktu yang salah. Mengapa Lazarus bangkit pada waktu yang salah? Bukankah seharusnya ia bangkit pada akhir zaman setelah orang-orang bangkit? Mengapa terjadi kebangkitan pada saat ini? Jawabannya: karena Yesus adalah kebangkitan itu sendiri, sehingga kapan pun Dia akan membangkitkan seseorang, maka kebangkitan itu akan terjadi. Kebangkitan dalam kisah Lazarus menjadi nyata dan bukan merupakan gagasan filosofis, karena diri Yesus sendiri. Karena itu tidak ada yang dapat memahami hal ini apabila tidak membuka diri untuk percaya kepada Yesus.
Lebih jauh lagi pada ay. 25 Yesus berkata,“Barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” Di dalam Alkitab, ketika dikatakan tentang kematian, arah bicaranya adalah tentang suatu relasi yang rusak, bukan terutama kematian secara fisik dan biologis. Nah, ini persoalannya. Katanya setelah Adam makan buah terlarang ia akan mati, tapi kenyataannya kok tidak mati? Di dalam Alkitab, ketika dikatakan tentang kematian, hal itu terutama tentang putusnya atau hancurnya sebuah relasi. Seperti kegentaran yang dihadapi Kristus ketika menghadapi salib. Bukan masalah kematian-Nya, melainkan keterputusan relasi-Nya dengan sang Bapa di Surga.
Kematian adalah simbol rusaknya relasi seseorang dengan Tuhan (baca Roma 6). “Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah. Demikianlah hendaknya kamu memandangnya, bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Roma 6: 10-11). Karena itu, ketika kita berbicara tentang kehidupan, artinya ialah restoration of relations, adanya perbaikan relasi.
Orang-orang yang menderita kusta contohnya, tidak bisa berelasi dengan yang lain, meskipun mereka secara fisik masih hidup. Pada zaman Yesus, mereka sudah seperti orang mati. Mereka harus mengatakan “najis, najis, najis,” supaya orang tidak mendekat. Mereka tidak bisa beribadah kepada Tuhan karena dianggap telah dikutuk, dan mereka juga tidak bisa punya relasi dengan sesama. Yesus bangkit untuk memberi kita kehidupan, dan memulihkan kembali relasi dengan-Nya.
Dalam kenyataan hidup saat ini, kita dihadapkan pada kehidupan yang sangat miskin dalam relasi. Relasi antar umat manusia sering kali dikuasai oleh “rasa senang atau tidak senang”, mirip sekali dengan orang Farisi pada zaman Yesus. Saya hanya mau duduk semeja kalau sama orang ini, dengan yang lain saya tidak mau. Apa sebabnya? Karena dia tidak sekaya saya, tidak sepandai saya, tidak selevel saya. Sementara itu kita menyaksikan Yesus duduk bersama dan semeja dengan orang Farisi yang congkak dan orang-orang tersisih lainnya.
Apa yang dilakukan oleh Yesus mengingatkan kita pada perumpaan “Anak yang hilang”. Fokus kita ketika membaca ini biasanya pada anak bungsu itu. Namun coba kita perhatikan, sang Bapa keluar menjemput anak sulungnya. Anak bungsu itu tidak dijemput, tapi balik sendiri. Ia sadar bahwa ia sudah jatuh, sudah jauh dari Tuhan dan mesti kembali lagi. Namun terhadap anak sulungnya, sang Bapa mesti menjemputnya ke ladang. Anak sulung ini berada di tempat lain dan harus dijemput. Kejatuhan anak sulung ini dalam sekali, sampai Tuhan perlu keluar untuk menjemputnya. Intinya, kalau kita berbicara tentang kehidupan, kita berbicara tentang pemulihan relasi. Yesus berkata, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang Engkau utus” (Yoh.17:3).
Pemulihan Relasi Juga Terjadi Setelah Kebangkitan Kristus
Para murid Yesus—yang memang berlatar belakang sederhana dan bahkan dikenal sebagai kelompok masyarakat yang tidak terlalu diperhatikan apalagi diperhitungkan—pada awalnya adalah orang-orang yang tidak percaya diri, penakut bahkan cenderung pengecut. Namun sekonyong-konyong mereka mengalami perubahan drastis. Masyarakat banyak memerhatikan perubahan yang sangat mencolok ini. Mereka yang selalu ada dalam persembunyian dan sama sekali tidak punya peran dalam masyarakat, tiba-tiba muncul dan memengaruhi masyarakat luas untuk mengakui keberadaan Kristus yang disalibkan.
Peristiwa penyaliban itu sendiri pada saat itu dipahami sebagai sesuatu yang tak berharga, suatu perendahan kemanusiaan, simbol kebodohan, kelemahan, ketersisihan, dan tak diperhitungkan. Namun di balik gambaran yang pada umumnya dianggap sebagai kelemahan dan kebodohan, Yesus mendemonstrasikan ketaatan-Nya yang total kepada Allah, sang Penguasa Kehidupan.
Totalitas ketaatan Yesus pada kehendak Allah membuktikan adanya relasi yang sangat dekat dengan sang Pencipta, dan keyakinan yang pasti bahwa di balik seluruh peristiwa itu ada rancangan Allah yang baik.
Menjalani penderitaan di kayu salib adalah contoh nyata ketaatan melaksanakan kehendak Tuhan di dunia ini, dan sekaligus gambaran dari pemulihan relasi manusia dengan Allah. Melalui peristiwa jalan salib, Yesus mewakili manusia untuk mengembalikan relasi dengan Allah melalui ketaatan-Nya untuk melakukan kehendak Tuhan sampai mati di kayu salib. Apa yang dilakukan Yesus dalam perjalanan akhir di kayu salib itu—sebagai gambaran ketaatan kepada Tuhan dan sekaligus rekonsiliasi relasi dengan-Nya—merupakan undangan kepada umat manusia untuk masuk dan mengambil bagian dalam rancangan Tuhan membangun dunia ini seperti yang dikehendaki-Nya.
Undangan ini berlaku tanpa batas latar belakang umur, jabatan, karier, prestasi, profesionalisme atau sekat-sekat lain yang dapat memisahkan orang dari tujuan ini. Yang dibutuhkan hanya satu, yaitu ketaatan dan kesetiaan untuk melakukan kehendak Tuhan.
Kesadaran tentang pentingnya ketaatan melakukan kehendak Tuhan ini, baru dipahami oleh para murid ketika mereka menyaksikan sendiri Yesus yang bangkit. Yesus, yang setelah kematian-Nya menampakkan diri berkali-kali kepada para murid dalam keadaan tubuh yang utuh. Semua itu bukan halusinasi, karena kehadiran-Nya kembali di dunia ini tidak saja disaksikan oleh seseorang, tapi sekelompok orang dari latar belakang yang berbeda-beda, bahkan orang-orang yang membenci-Nya.
Kebangkitan Kristus, sebagai wujud kemenangan-Nya atas maut karena taat pada kehendak Bapa di Surga, mengubah pola pikir dan pola hidup para murid, bahwa ketika mereka memutuskan untuk taat kepada kehendak Tuhan dan masuk dalam rancangan-Nya, maka tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang perlu ditakuti dan dapat menghalangi kehendak-Nya atas hidup mereka.
Inilah kabar gembira, bahwa melalui kebangkitan Kristus mereka diundang untuk memasuki kehidupan bersama Tuhan, menjadi mitra-Nya di dunia ini, dan sekaligus dipulihkan hubungannya dengan Tuhan.
“Kebangkitan” menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi para murid, ketika kata ini bukan sekadar merupakan gagasan atau pengertian, melainkan sesuatu yang “dihidupi”, artinya mereka mengambil keputusan untuk mengarahkan hidup mereka—bukan untuk diri mereka sendiri—melainkan untuk melakukan pekerjaan Allah yang lebih besar. Keputusan inilah yang kemudian mengubah pola pikir dan pola hidup mereka, sehingga banyak orang heran dan kagum akan perubahan-perubahan sikap hidup mereka.
Kehidupan itu Dimulai di Sini dan Sekarang
Seperti Lazarus yang dibangkitkan oleh kuasa Yesus, kebangkitan Yesus yang disaksikan oleh para murid terjadi pada saat itu juga, bukan pada akhir zaman. Dua peristiwa besar tentang kebangkitan ini menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui kisah Lazarus yang dibangkitkan, kita belajar bahwa kebangkitan bukanlah slogan, ide, pemikiran, atau ajaran semata, melainkan diri Yesus Kristus sendiri yang berkuasa membangkitkan tanpa dibatasi oleh waktu seperti yang dipahami manusia pada umumnya. Ketika Yesus mau membangkitkan seseorang, maka Dia akan membangkitkannya pada saat ini juga. Kebangkitan dari kematian pada saat ini juga harus dipahami sebagai suatu perbaikan relasi dengan Tuhan. Ketika relasi manusia dengan Tuhan sudah diperbaiki, maka manusia kembali dilayakkan untuk mengambil bagian dalam rencana Tuhan di dunia ini, sehingga hidupnya mempunyai tujuan yang pasti, sebagaimana Tuhan telah menciptakannya. Pengenalan akan Allah yang benar dan Yesus Kristus yang diutus-Nya, menjadi tanda bahwa seseorang telah berada dalam kehidupan yang kekal (Yoh.17:3).
Belajar dari kisah kebangkitan Yesus setelah kematian-Nya di kayu salib seperti yang disaksikan oleh para murid, memberikan gambaran bahwa Yesus adalah kebangkitan itu sendiri dan sekaligus membuktikan bahwa Dia tidak berada di bawah kuasa kematian. Karena itu, orang yang percaya kepada-Nya tidak perlu takut lagi pada kematian, sebab ia sudah dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus dan telah menjadi bagian dari kehidupan yang kekal bersama-Nya.
Ketika kematian bukan lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, maka manusia akan hidup dengan penuh antusias, sukacita, keberanian dan semangat untuk melakukan banyak kebaikan seperti yang Tuhan kehendaki.
Ketakutan kita pada kegagalan, kesepian, kesendirian, sakit penyakit, musibah, kecelakaan, kemiskinan, keterpurukan, keputusasaan dan hal-hal lain yang akan menghancurkan kehidupan kita, tidak akan memengaruhi keberadaan kita dalam kehidupan ini, selama relasi kita dengan Tuhan dipulihkan.
Kesadaran akan kuasa kebangkitan inilah yang memberikan keberanian dan semangat kepada para murid untuk mengerjakan kehidupan ini seoptimal mungkin dan dengan tak mengenal lelah terus berjuang melakukan kebenaran dan mewujudkan kehendak Allah di dunia ini.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat dan cenderung tidak bisa dikontrol lagi. Permasalahan global yang makin mengimpit dan kekhawatiran pada tekanan dari orang-orang yang memiliki kekuasaan di abad ke-21 ini akan sangat memengaruhi kehidupan iman kita. Kenyataan yang mengimpit akan makin menekan kehidupan kita dan pada saat itulah dibutuhkan iman yang teguh untuk terus mencari pengenalan akan Allah dalam situasi apa pun. Katekismus Jenewa menulis bahwa tujuan terakhir kehidupan manusia itu adalah mengenal Allah. “The Chief end of human life is to know God by whom we were created (Genevan Catechism). Kalau kita tidak mengenal Allah, maka tujuan hidup kita juga tidak jelas, mau diarahkan ke mana. Tanpa mengenal Allah kita tidak mendapati tujuan yang paling puncak dalam kehidupan manusia.
Pengenalan akan Allah dimulai dari percaya pada Yesus Kristus sebagai perwujudan dari kehendak Allah yang dapat kita pahami, karena segala hal yang dibicarakan dan diajarkan oleh Kristus, diterima dari Bapa-Nya.
Pengenalan akan Allah akan mengarahkan seseorang memberi diri untuk diutus, seperti Yesus yang diutus oleh Bapa.
Kerinduan untuk diutus Tuhan, didasari oleh keinginan mempersembahkan diri pada Tuhan, seperti yang dilakukan para murid. Reaksi atau respons mereka atas kebangkitan Kristus yang mereka saksikan, adalah mempersembahkan seluruh hidup mereka untuk berkarya bagi Tuhan dengan membawa kabar keselamatan kepada banyak orang, dan sekaligus memberikan pengharapan untuk hidup dengan optimal, yaitu dengan mengerahkan seluruh kemampuan bagi kemuliaan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama di mana pun mereka ditempatkan.
Seperti kata Rasul Paulus, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya” (Filipi 3:10).
>> Pdt.Tumpal Tobing
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.