Baru-baru ini kami sangat sedih mendengar kabar bahwa sahabat kami sakit. Suatu hari, kami mengunjunginya. Ia sedang berada dalam keadaan sangat lemah, terutama mental dan spiritualnya. Ia bergumul luar biasa dengan kondisi fisiknya, yang membuatnya frustrasi. Tidak ada tindakan yang bisa dilakukan lagi, tapi masih menyisakan banyak keraguan dan kebingungan untuk menegakkan diagnosis. Di tengah situasi itu, laki-laki tua yang bijak itu—yang selalu mendukung dan menguatkan kami dalam pelayanan—menangis. Ia lemah, tak berdaya, tapi di dalam perjuangannya tetap mau taat kepada Allah. Kami tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dan turut larut dalam kebingungan, tangis dan ratapannya. Di dalam hati, saya terus berbisik, “Ya, Allah, kasihanilah kami.”
Kisah sahabat kami adalah salah satu cerita pengalaman hidup yang kita jumpai sehari-hari. Ada begitu banyak orang merintih, berjuang mencari jawaban, marah, kecewa, kesepian dan kebingungan. Situasi ini mengundang reaksi yang beragam pula. Ada yang frustrasi, ada yang penuh dengan kemarahan, ada yang dirundung duka yang dalam. Dengan segala daya, mereka mencoba bertahan dan berjuang untuk memelihara pengharapan, untuk menatap masa depan yang lebih baik dari hari ini. Perjalanan hidup menjadi tidak mudah dan terasa amat berat. Jalan instan bukanlah penyelesaian, tapi justru merumitkan keadaan. Lalu, bagaimana Paska akan dirayakan? Masih adakah mulut yang mengangkat sorak-sorai bagi-Nya?
Belum lagi begitu banyak penderitaan, ketidakadilan, kebencian dan dendam meracuni relasi kita dengan sesama. Pada saat peristiwa Paska kita peringati, mendadak kita disentakkan oleh ledakan bom pada ibadah Paska di Sri Langka. Ratusan korban jiwa berjatuhan. Kita makin tidak paham mengapa relasi kita sedemikian rusaknya sehingga kematian yang satu menjadi perayaan bagi yang lain. Di manakah belas kasihan? Amat menyedihkan. Kita hidup di tengah situasi darurat cinta kasih. Kehadiran seseorang telah menjadi mangsa bagi yang lain. Ketidakpercayaan dan kecurigaan menebal. Sungguh amat memprihatinkan.
Kita juga dihadapkan pada penderitaan yang bukan saja dialami manusia, melainkan juga alam semesta yang telah rusak akibat keserakahan dan ketidakpedulian kita. Hewan-hewan laut mati akibat keracunan plastik. Sampah plastik 5,9 kg ditemukan dalam perut ikan paus yang mati di Wakatobi. Penyu mati karena makan plastik atau terjerat plastik yang melilit tubuhnya. Betapa sengsaranya binatang-binatang itu menjumpai ajal. Sangat menderita. Situasi ini amat menyedihkan. Bumi kita tengah berada di situasi darurat sampah plastik. Paska dirayakan di tengah situasi yang amat menyedihkan dan memilukan. Masih adakah sorak-sorai dari segenap ciptaan-Nya untuk mempermuliakan nama-Nya?
Situasi yang sarat dengan penderitaan juga hadir di seputar peristiwa Paska waktu itu. Tindakan kemarahan dan kebencian berujung pada peristiwa kematian Yesus Kristus. Kecurigaan, diskriminasi, penjajahan, menjadi konteks hidup para murid. Pada saat harapan diletakkan pada diri Yesus yang akan membebaskan Israel dari Romawi, keadaan terbalik terjadi. Sosok yang diharapkan mengubah kehidupan, justru mati di tangan penguasa karena ketidakadilan, persekongkolan, dan niat jahat. Apakah Paska akan mengubah keadaan?
Yesus yang mati itu bangkit. Ini pesan Paska. Di dalam penghayatan iman kita, kebangkitan Yesus dari kematian ditandai dengan kuasa pemulihan Allah yang dianugerahkan kepada segenap ciptaan-Nya. Pemulihan yang utuh meliputi pemulihan relasi dengan Allah, sesama, diri sendiri dan alam semesta. Kemenangan ini memang tidak serta merta mengubah keadaan, tapi kemenangan Paska memberikan jaminan akan perubahan itu sendiri. Ini bukan utopia tapi janji yang digenapi.
Peristiwa Paska menegaskan kepada kita bahwa Allah berkuasa atas seluruh hidup ciptaan-Nya. Namun kuasa-Nya diliputi oleh limpahan cinta kasih, karena Allah mewujudkannya tanpa kekerasan dan arogansi. Cinta kasih Allah itu memulihkan dan memberi ruang bagi segenap ciptaan untuk memperjuangkan nilai Kristus. Peristiwa Paska menegaskan kepada kita bahwa apa yang baik dan benar dapat ditegakkan di bumi ini.
Pemulihan relasi yang dinyatakan Allah adalah pemulihan kepercayaan untuk melakukan misi Allah di tengah dunia. Bukankah relasi yang dipulihkan selalu memberi ruang kepercayaan, karya, dan cinta kasih? Nah, inilah yang Allah kembali percayakan kepada kita. Beritakanlah kabar baik di tengah dunia yang menangis. Perjuangkanlah cinta di tengah relasi yang menajam. Peliharalah kehidupan di tengah perusakan dan pengabaian.
Jadi, apakah Paska dirayakan dengan sorak-sorai atau dengan ratapan? Bagi saya, lebih tepatnya, perayaan Paska mengubah ratapan menjadi sorak-sorai. Kita bersukacita karena melalui peristiwa Paska kita menyadari bahwa perjuangan kita untuk terus berbagi kebaikan, cinta kasih, dan kepedulian, akan membuat hidup ini berarti dan bernilai. Paska mengentakkan kita untuk mengubah gaya hidup kita agar tidak terarah pada gengsi, ego dan keserakahan, tetapi sebaliknya.
Sorak-sorai Paska tidak membuat kita lupa akan konteks di mana kita hidup. Kegembiraan Paska bukanlah candu untuk melupakan persoalan hidup, tetapi sebaliknya. Paska memberi semangat untuk terus berharap dan berjuang. Paska adalah daya pendorong untuk bertindak dengan penuh ketekunan dan kesetiaan. Paska memberikan jaminan bahwa segala karya dapat kita lakukan di dalam berkat dan pertolongan Allah. Terlebih lagi, Paska memberikan penggenapan janji Allah bahwa di akhir semuanya, langit dan bumi yang baru akan menjadi kehidupan yang kita nikmati dengan penuh syukur dan sukacita.
Paska mengajak kita untuk bertindak dari hal paling sederhana yang dapat kita lakukan. Mari bertanya pada diri kita, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki relasi antar sesama manusia yang telah rusak oleh kebencian? Apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah kondisi alam semesta yang telah rusak oleh keserakahan dan ketidakpedulian manusia? Apa yang dapat kita lakukan untuk menghangatkan relasi kita dengan Allah?
Banyak, amat banyak yang bisa kita lakukan. Allah memberikan kreativitas dan kuasa kepada kita untuk melakukannya di dalam hidup ini. Mari kita melakukannya—bukan dengan beban dan sungut-sungut—melainkan dengan kegembiraan. Kegembiraan akan membuat langkah kita ringan. Kegembiraan akan membuat pengharapan kita meluap. Kegembiraan akan membuat kita makin mensyukuri keberadaan orang-orang di sekitar kita. Mari bergembira dan berkarya karena Kristus sudah bangkit!
>> Dahlia Vera Aruan
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.