Natal, Perayaan Termeriah
Tak pelak lagi Natal adalah hari raya kristiani yang disambut paling meriah. Peristiwa ini dinikmati orang di seluruh dunia, baik umat Kristen maupun non-Kristen, meskipun ada juga yang merasa haram untuk ikut merayakan atau mengucapkan selamat atas perayaan tersebut. Bahkan Natal diidentikkan dengan sukacita yang diasosiasikan dengan pesta, hadiah, baju baru, dan keramahtamahan.
Di zaman modern ini bahkan asosiasi Natal sudah berkembang jauh, merambah, tidak saja dalam kehidupan keagamaan tapi juga dalam aspek sosial dan konsumerisme. Natal disamakan dengan great sale, mega discount, special gift, crazy offer, serta kemeriahan dan kemudahan fasilitas belanja lainnya. Maka tidak heran manakala kemeriahan Natal lebih dirasakan di mal daripada di gereja melalui visualisasi ikon-ikon Natal yang sudah dikenal sangat umum, seperti Santa Claus dengan rusa dan kereta terbangnya (terkadang juga menyertakan Piet Hitam), onggokan hadiah, Christ-boom, salju, lampu warna-warni, dan akhir-akhir ini penari-penari seksi yang melenggak-lenggok lincah dengan atribut Natal sambil menawarkan dagangan yang juga dibuat menarik.
Natal yang dimaksudkan untuk memperingati dan merayakan hari kelahiran Yesus Sang Juru Selamat ke dunia, sering lupa menampilkan atau mengedepankan Sosok Sentral itu. Terlepas dari kontroversi bahwa Natal adalah christian packaging dari perayaan kelahiran dewa kafir dalam berbagai versi, peristiwa ini paling dihayati sebagai perayaan keagamaan Kristen yang mencerminkan sukacita. Sebuah perayaan syukur karena diyakini sebagai pembawa sukacita dan damai sejahtera.
Banyak fakta yang mengatakan bahwa Natal tidak alkitabiah dengan menyodorkan bukti-bukti bahwa tidak ada perintah di Alkitab untuk merayakan Natal. Perayaan itu memang baru ada sekitar tahun 325 Masehi ketika Kaisar Konstantin meresmikan tanggal 25 Desember sebagai peringatan hari kelahiran Tuhan Yesus. Sebagian gereja reformasi (Lutheran) pun pada awalnya melarang perayaan tersebut. Namun dalam terang iman Kristen, semua itu tidak penting lagi diperdebatkan. Hal yang menjadi fokus bukan perayaan itu sendiri, melainkan makna peristiwa kelahiran Yesus sebagai inkarnasi Allah ke dunia, dalam rangkaian proses penebusan dosa yang digagas Alah bagi keselamatan manusia. Natal menjadi sangat alkitabiah, sangat kristiani, dan sangat berarti bagi yang mengerti, memahami, dan mengimaninya.
Paska, Peribadatan Teragung
Perayaan hari raya Kristen besar lainnya adalah Paska, yang merupakan peringatan kebangkitan Tuhan Yesus dari kematian-Nya. Kita, yang—karena dosa-dosa kita—telah binasa dan terpisah dari Allah, telah ditebus Yesus melalui kematian-Nya di kayu salib, sehingga melalui kebangkitan inilah kita juga turut dibangkitkan dari kematian. Itulah peristiwa rekonsiliasi terpenting manusia dengan Allah setelah kejatuhannya dalam dosa.
Paska Kristen diimani sebagai peristiwa penebusan dosa yang riil dari simbolisasi Paska Yahudi. Darah anak domba yang dioleskan dan dilewati oleh malaikat maut adalah lambang darah Yesus yang tercurah untuk menebus dosa manusia dan menyelamatkannya dari kematian kekal, menuju kehidupan abadi. Setelah peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus, Paska Kristen memiliki makna yang berbeda sekali dengan Paska Yahudi. Umat Kristen—bahkan Yahudi Kristen—tidak perlu lagi melakukan dan melanjutkan Paska Yahudi yang hanya simbol dari Paska yang sebenarnya. Mereka tidak perlu lagi mempersembahkan korban darah sembelihan bagi penebusan dosa, karena Yesus telah melakukannya sekali untuk selamanya dan semuanya. Tidak ada lagi korban penebusan dosa kecuali pertobatan dan kesediaan kembali ke Jalan Allah. Jadi, orang yang masih melakukan korban sembelihan seperti Paska Yahudi, masih hidup dalam bayang-bayang, meskipun hal yang sesungguhnya sudah terjadi.
Bagi banyak orang Kristen, Paskalah yang dianggap sebagai hari raya terbesar dan terpenting umat Kristen, karena peristiwa inilah puncak karya penebusan Allah untuk menyelamatkan manusia. Maka sangat wajar apabila Paska mendapat perhatian lebih dibandingkan hari raya Kristen lainnya, termasuk Natal. Ada banyak peristiwa yang secara khusus dirayakan dalam rangkaian Paska untuk lebih memberi penekanan pada kebesaran makna Paska.
Masa pra-Paska dimulai dari Rabu Abu, Minggu Palem, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Sunyi. Selama masa ini umat Kristen juga menyelenggarakan puasa untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan dengan menghayati sengsara Kristus.
Manakah Yang Terpenting?
Akhirnya banyak orang Kristen yang mendikotomikan perayaan Natal dan Paska: yang satu sebagai pesta dan yang lain sebagai ibadah. Agak jarang yang memahami bahwa Natal sangat erat hubungannya dengan Paska. Natal adalah jalan menuju Paska, sehingga bisa dikatakan bahwa tujuan Natal adalah Paska. Natal menjadi lantaran bagi Paska yang merupakan puncak/titik kulminasi karya keselamatan Allah bagi manusia.
Tulisan ini dibuat sebagai upaya menyuguhkan argumen atas apa yang disampaikan oleh guru besar saya, Pdt. Dr. Joas Adiprasetya, yang menulis di fb pada malam Natal 2018 tentang “Natal Lebih Penting daripada Paska” dan juga penjelasan, argumen, serta tafsir yang disampaikannya dalam diskusi teologi di @theovlogy #28 –“Natal Lebih Penting daripada Paska?” bersama Ev. Perdian K. Tumanan, dosen UK Petra, di Manhattan; Pdt Nindyo Sasongko, Pdt GKMI dan dosen STFT Jakarta, Ph.D. student pada Systematic Theology di Fordham University; dan Daniel Sihombing, teolog muda yang tengah menyelesaikan studi pascasarjananya di Protestant Theological University – Belanda, di Malang.
Pdt. Joas menuturkan bahwa tradisi teologis Fransiskan menekankan inkarnasi sebagai pusat iman dan bukan penebusan. Artinya, Natal lebih penting ketimbang Paska. Di dalam Natal, Paska telah dihadirkan. Inkarnasi adalah plan-A Allah. Itu berarti penebusan bukanlah plan-B Allah karena dosa yang muncul kemudian. Pemahaman spiritualitas Fransiskan yang menjadikan inkarnasi sebagai pusat teologi kekristenan menyatakan bahwa peristiwa inkarnasi itulah puncak rencana Allah, sebab inkarnasi merupakan rencana Allah sejak semula, andaikan pun Adam tidak berdosa (tesis Fransiskan). Atas dasar inilah para teolog Fransiskan mengatakan bahwa Natal merupakan peristiwa terpenting dalam kekristenan. Inkarnasi adalah intensi awal dari Allah, hanya kebetulan karena ada dosa, inkarnasi itu dipakai sebagai eksekusi untuk menyelamatkan manusia dari dosa.
Penghayatan Awam
Saya sebagai penghayat tradisi Kristen klasik tidak pernah memperoleh pengajaran bahwa Allah merencanakan inkarnasi sejak awal (sekalipun tanpa manusia jatuh ke dalam dosa) seperti tesis Fransiskan. Iman saya dibentuk untuk memahami bahwa meskipun keputusan untuk berinkarnasi jelas adalah inisiatif/prakarsa Allah, tapi alasan di balik itu adalah kasih-Nya kepada manusia yang sudah terlanjur jatuh dalam dosa dan tak mampu menemukan sendiri jalannya kembali kepada Allah. Inisiatif untuk berinkarnasi dalam rangka mewujudkan karya keselamatan-Nya adalah untuk menebus dosa manusia melalui kematian Yesus di kayu salib.
Selama ini saya cenderung menghayati bahwa Paska adalah hari raya terpenting. Karena pada Paskalah karya besar keselamatan manusia oleh Allah itu dituntaskan. Saya—yang tidak mendalami spiritual Fransiskan—mencoba memahami bahwa tidak dari semula Allah menetapkan kejatuhan manusia dalam dosa. Allah, yang begitu mengasihi ciptaan-Nya, tentunya punya rencana indah dan agung bagi kelangsungan hidup manusia dalam pemeliharaan dan kedekatan dengan-Nya. Dalam kemarahan-Nya karena manusia lebih memilih untuk berdosa daripada taat kepada-Nya, Allah mengusirnya keluar dari Taman Eden. Namun demikian Allah masih tetap mengasihi manusia dan memberi harapan untuk bisa datang dan bergaul akrab kembali dengan-Nya. Allah merindukan manusia datang kembali ke haribaan-Nya. Allah memberi kesempatan kepadanya untuk membangun sarana dan menemukan jalan untuk kembali berdamai dan bergaul akrab dengan-Nya.
Kejatuhan manusia karena kebodohan yang mendatangkan dosa itulah yang membuatnya terpisah dari Allah. Keterpisahan dari Allah itulah yang menimbulkan penderitaan, ketakutan, bahkan kematian padanya. Hal itu benar-benar membuat kehidupannya tidak sejahtera. Manusia berupaya untuk memperoleh pengampunan dan perkenan agar bisa bergaul akrab kembali dengan Allah. Sepanjang sejarah peradabannya, dengan berbagai cara ia mencoba mencari jalan pendamaian dengan Allah. Namun kemanusiaannya yang sombong, tinggi hati, congkak, peragu, tidak setia, kurang taat, dan lemah hati membuat upaya-upaya itu senantiasa berujung pada kegagalan.
Allah yang mengasihi dan senantiasa merindukan manusia untuk kembali bergaul akrab dengan-Nya, pada akhirnya berprakarsa untuk menciptakan jalan pendamaian itu karena tergerak oleh belas kasihan, splagchnizomai. Karena itu Dia berkenan mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk turun ke dunia menjadi Juru Selamat manusia. Saya meyakini bahwa sejak awal Allah tidak merencanakan kejatuhan manusia ke dalam dosa, sehingga saya juga meyakini bahwa keputusan-Nya untuk mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal sebagai Juru Selamat manusia, sepenuhnya merupakan inisiatif-Nya dalam memanifestasikan kasih-Nya. Allah merespons kegagalan-kegagalan manusia untuk menemukan jalan pendamaian dengan-Nya, karena manusia tidak pernah bisa menemukannya sendiri. Jadi inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus, berbeda dengan tesis Fransiskan, dan sepenuhnya merupakan desain lanjutan dari karya keselamatan yang dirancang Allah.
Implementasi dari karya keselamatan Allah kemudian berlangsung dalam suatu rangkaian proses logis yang saling berhubungan. Keputusan Allah untuk mengaruniakan Juru Selamat mengantar pada peristiwa inkarnasi Allah menjadi Yesus Kristus, dan, melalui kelahiran Yesus, terjadilah karya-karya kasih dalam kehidupan manusia hingga kematian-Nya di kayu salib sebagai puncak karya keselamatan Allah yang sempurna. Dari uraian ini semua bagian dan terminal dalam proses ini menjadi penting, berhubungan, dan saling terkait. Karena itu terjadi suatu ambigu ketika dipertentangkan bagian mana yang lebih penting dari yang lain.
Argumen Awam
Menyitir Pdt. Joas yang menyatakan bahwa di dalam Natal, Paska telah dihadirkan, sangat bisa dipahami karena memang demikianlah urutan logis kejadiannya. Paska tidak akan terjadi tanpa Natal. Namun jika hal itu dipakai sebagai argumen untuk menyatakan bahwa Natal lebih penting daripada Paska, maka di titik inilah tawaran argumen saya untuk meninjau kembali kesahihan pendapat tadi.
Pertama, bahwa tanpa Natal tidak akan terjadi Paska atau adanya Paska karena terlebih dahulu ada Natal, saya sangat setuju. Ini hanya soal urutan kejadian. Namun demikian, hal itu tidak selalu berarti bahwa yang lebih dulu lebih bermakna dari yang sesudahnya, bukan?
Kedua, ketika Natal sudah terjadi, dan andaikan dalam keutuhan kemanusiaan-Nya, Yesus memilih tidak taat pada rencana Allah untuk menyerahkan diri-Nya mati di kayu salib, apakah Paska akan terwujud? Lalu, apakah Natal masih punya makna? Bukankah kunci kesuksesan itu terletak pada ketaatan Yesus ‘meminum cawan’-Nya? Jadi bisa saja terjadi Natal tanpa Paska jika kemanusiaan Yesus memilih untuk tidak taat.
Ketiga, saya mempertanyakan tesis Fransiskan yang menyatakan bahwa inkarnasi adalah inisiatif Allah sejak awal dengan atau tanpa manusia jatuh ke dalam dosa. Jika manusia tidak jatuh ke dalam dosa dan tetap hidup di Taman Eden (gambaran dunia ideal yang diciptakan Allah untuk kehidupan manusia) bersama Allah, lalu untuk apa Dia berinkarnasi? Jika alasannya untuk lebih mendekatkan diri kepada manusia, bukankah tanpa inkarnasi pun Allah sudah bergaul akrab dengan manusia di sana? Bukankah berinkarnasi ke dalam dunia untuk juga turut merasakan penderitaan manusia adalah konsep pemikiran setelah terusirnya manusia dari Taman Eden ke dalam dunia yang telah menerima kutuk Allah, sehingga manusia harus bersusah payah mengupayakan tanah bagi kelangsungan hidupnya? Kecuali kejatuhan manusia juga telah direncanakan oleh Allah, maka tesis Fransiskan bahwa inkarnasi adalah rencana Allah sejak penciptaan (bahkan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa) bisa diterima secara wajar. Namun demikian, apakah pantas kita mencurigai bahwa pohon pengetahuan baik dan jahat dan pohon kehidupan diciptakan Alah sebagai sarana untuk membuat manusia jatuh ke dalam dosa?
Inkarnasi Allah pastilah punya alasan yang signifikan sehingga Dia harus meninggalkan takhta kemuliaan-Nya untuk bergaul dengan manusia yang hina dan penuh dosa ini. Yohanes 1:1-4 memang menjelaskan keberadaan sang Firman—yang adalah Allah sendiri—yang telah berinkarnasi menjadi manusia, tanpa mengaitkannya dengan dosa manusia. Namun apakah tanpa alasan ketika Yohanes 1:29 menyajikan catatan: Keesokan harinya, Yohanes melihat Yesus datang kepadanya, dan ia berkata, “Lihatlah, Anak Domba Allah yang menghapuskan dosa dunia!”… Bukankah jelas bahwa hal inkarnasi Allah menjadi manusia itu untuk menghapuskan dosa dunia?
‘Milestone’ Karya Keselamatan
Bukan soal Allah reaktif terhadap dosa—apalagi orang Kristen berlebihan dengan membesar-besarkan peran dosa ini—tetapi semuanya dimulai saat Allah tergerak oleh belas kasihan, splagchnizomai. Allah melihat bahwa dengan upaya dan kekuatannya sendiri, manusia tidak mampu melepaskan diri dari dosa dan menemukan jalan untuk kembali kepada-Nya. Dalam prakarsa-Nya membuka jalan pengampunan itulah terletak puncak kemuliaan, keagungan, dan kasih Allah.
Keputusan untuk berinkarnasi menjadi Jalan keselamatan itulah hal terpenting yang melebihi peristiwa Natal maupun Paska. Hal inilah yang harus menjadi titik sentral iman Kristen dalam merespons kasih Allah. Dengan demikian tidak relevan lagi membandingkan tingkat kepentingan Natal atau Paska, terlebih perayaan untuk memperingati kedua peristiwa itu. Natal adalah sukacita karena keputusan inkarnasi itu mewujud. Paska adalah syukur karena penebusan itu terselenggara tuntas. Masing-masing punya tingkat kepentingan yang tidak bisa dibandingkan apple to apple. Keduanya adalah peristiwa logis yang saling melengkapi keniscayaan karya keselamatan itu sendiri.
Beberapa dekade terakhir ini, gereja berjuang untuk menekankan bahwa Paska lebih penting daripada Natal karena pada Paskalah terjadi peristiwa penebusan yang dianggap sebagai puncak karya Allah. Dan sepertinya, meskipun perlahan, umat mulai bisa diajak dan diarahkan untuk membangun pemahaman serta penghayatan yang demikian. Namun, selain menekankan pemahaman itu, gerakan ini sekaligus merupakan upaya untuk memperbaiki sikap dan moralitas kebablasan yang menyeret umat menuju praktik hedonisme pada perayaan-perayaan Natal. Umat diarahkan untuk kembali menjadikan Natal sebagai perayaan ibadah syukur atas kelahiran Yesus (inkarnasi Allah), dan bukan pesta pora mewah yang bahkan sering lupa untuk memberi ‘tempat’ bagi Yesus Kristus. Menyampingkan dikotomi mana yang lebih penting di antara kedua peristiwa itu, umat lebih perlu diajak untuk memahami bahwa pada akhirnya peristiwa Natal dan Paska merupakan ‘milestone’ rencana Allah untuk menunjukkan kasih-Nya kepada manusia melalui proyek penebusan dosa yang diprakarsai-Nya melalui inkarnasi tersebut.
| sujarwo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.