Perkembangan dunia dan masyarakat di mana kita hidup ini terjadi sedemikian rupa sehingga hal-hal yang pragmatis, dangkal dan yang sifatnya tidak hakiki justru dipentingkan. Sebaliknya hal-hal yang utama dalam kehidupan, seperti makna dan visi kehidupan, dan terutama makna serta nilai kemanusiaan cenderung dianggap relatif, terlalu ideal dan tidak realistik. Akibatnya terjadi proses pemiskinan harkat manusia dan hal-hal yang melekat padanya. Salah satu di antaranya adalah relasi antar manusia.
Kehidupan yang moderen, konsumtif, hedonis dan yang dibelenggu oleh teknologi memberi ruang dan peluang yang kelewat kecil bagi relasi-relasi. Maka konflik, pertikaian bahkan permusuhan kerap terjadi, dan yang kerapkali disebabkan oleh pementingan diri atau uang. Atas nama upaya mengejar kemakmuran, kejujuran, kesetiaan dan kesetiakawanan dianggap relatif. Keindahan bahkan kebahagiaan diterjemahkan ke dalam banyak-sedikitnya uang yang didapatkan atau yang dihabiskan. Hidup individualistik dengan cepatnya menggeser hidup komunal. Atas nama “privacy” apartemen lebih menarik ketimbang rumah biasa yang mengharuskan hubungan dengan tetangga.
Itu semua adalah sekelumit contoh dari kecenderungan yang terjadi yang mengakibatkan banyak orang, sadar atau tidak, mengalami krisis relasi. Dan keluarga-keluarga, yang pada hakikatnya adalah justru wadah orang membangun dasar relasi, juga terancam untuk jatuh ke dalam perangkap krisis relasi. Dan berjalannya waktu krisis relasi antar manusia kian meluas dan mendalam.
Syukur Tuhan tidak tinggal diam. IA berprakarsa untuk memulihkan relasi-relasi, relasi manusia beserta segala ciptaan dengan-Nya, sang Khalik, dan relasi antara manusia. Kasih dan rakhmat-Nya yang tak terukur dalam, lebar dan tingginya, menjadi dasar dan contoh dari relasi-relasi itu. IA yang berkenan mendamaikan diri-Nya dengan dunia, menghendaki agar segenap ciptaan-Nya hidup dalam damai-Nya, bahkan mengupayakan terwujudnya damai yang diprakarsai-Nya itu. Damai yang merujuk pada penggenapan “damai sejahtera” (syalom) kelak pada saat tibanya Kerajaan Allah.
Keadaan “damai sejahtera” itu sudah mesti menjadi kenyataan sejak peristiwa Kristus juga saat ini di dalam gereja dan jemaat-Nya. Jemaat-Nya haruslah menjadi semacam “hidangan pembuka” dari hidup dalam Kerajaan Allah. Koinonia bukanlah sekadar tugas, tetapi hakikat dan realita jemaat. Dan bicara tentang persekutuan jemaat tidak bisa tidak kita bicara juga tentang hakikat yang paling basik dari koinonia yaitu keluarga. Dan salah satu di antara upaya keluarga untuk “menjadi” koinonia adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk memulihkan relasi-relasi, baik dalam keluarga maupun dalam lingkup yang lebih luas.
Untuk itu kita sebagai individu maupun sebagai keluarga kita dapat belajar dari Yusuf yang berhati begitu lapang untuk mau berdamai dengan saudara-saudaranya, yang pernah menjualnya sebagai budak (Kejadian 45:1-15). Bagaimanakah itu mungkin pada Yusuf?
- Pertama-tama, Yusuf melalui berbagai pengalaman hidup yang keras dan tidak adil, justru tiba pada pemahaman yang mendalam, bahwa semua yang telah terjadi adalah dalam kerangka rencana serta kasih Tuhan bagi umat Israel. Yusuf menundukkan diri pada usaha terus-menerus Allah mendamaikan diri dengan umat-Nya.
- Yang kedua, Yusuflah yang berprakarsa. Dalam situasinya, ia menyadari bahwa bola ada di tangannya. Bila bukan Yusuf yang memulai maka takkan terjadi pendamaian antara dirinya dengan saudara-saudaranya. Inilah yang digemakan oleh Paulus dalam Roma 12:18.
- Yang ketiga, rekonsiliasi tak mungkin terjadi tanpa pengampunan. Kasihlah yang menjadi pemenang dalam konflik Yusuf versus saudara-saudaranya. Kasih Yusuf terhadap merekalah yang mencairkan dendam dan menjadi dasar dari kemampuan Yusuf untuk mengampuni mereka semua.
Ketiganya adalah tugas panggilan kita, baik sebagai pribadi maupun bahkan sebagai keluarga. Mari kita menjadi kawan sekerja Allah dalam memulihkan relasi-relasi. Untuk itu mari kita “tundukkan diri” pada karya pemulihan Allah. Mari kita menjadi “peprakarsa-peprakarsa” pemulihan relasi-relasi, baik dalam keluarga maupun dalam lingkup yang lebih luas. Dan marilah kita mendasarkannya bahkan mendasarkan segenap hidup kita pada kasih dan pengampunan.
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.