Ketika kata tak cukup untuk mencurahkan isi hati, maka nada pun ikut tertutur. Seperti yang dikatakan Augustinus: Qui cantat, bis orat, mereka yang bernyanyi sekali, berdoa dua kali. Itulah yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa Natal. Natal merupakan sebuah peristiwa agung yang menjadi jendela yang mengantarai kerahiman ilahi dan pergumulan abadi manusia. Dan mereka yang membuka hati dan hidup untuk melongok ke dalam jendela itu memasuki dimensi kemanusiaan yang baru, yaitu kemanusiaan yang dicurahi oleh keselamatan dari Allah. Juga, dari luar jendela itulah terang hangat anugerah Allah menyinari kegelapan ruang batin manusia. Maka meluncurlah kata dan nada baru penuh sukacita: Sebuah kidung baru, kidung keselamatan.
Di dalam bacaan leksionari di Malam Natal (Yesaya 9:1-6, Mazmur 96, Titus 2:11-14, Lukas 2:1-20) pemahaman dan pemaknaan di atas muncul dengan sangat gamblang. Yesaya 9:1, misalnya, bertutur bahwa umat manusia yang “berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” Maka, yang muncul tak lain adalah “sorak-sorak dan sukacita yang besar.” Sukacita besar itu memuncak, khususnya, karena “seorang anak telah lahir untuk kita” (ay. 5). Kegembiraan yang serupa meluap-luap dalam Mazmur 96, yang memakai ekspresi yang beredar banyak di mazmur-mazmur lain: “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan” (ay. 1). Dan secara khusus kidung baru itu muncul “sebab Ia datang” untuk menyatakan kasih, kesetiaan dan keadilan-Nya (ay. 13).
Bacaan dari surat rasuli Titus, dengan bahasa yang lugas, menegaskan bahwa “kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (ay. 11), yaitu keselamatan di dalam Kristus, “yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita” (ay. 14). Berita Injil, tentu saja, paling jelas menggambarkan kidung baru, sebagaimana yang dimadahkan oleh para malak surgawi, yang mewartakan kelahiran Sang Penyelamat itu.
Berita Natal yang terungkap lewat tema Natal 2008-Kidung Baru, Kidung Keselamatan-adalah berita yang sederhana: Allah di dalam Kristus mendatangi manusia dan menawarkan keselamatan. Kedatangan Kristus itu sungguh paradoksal, karena pada saat bersamaan memertontonkan surplus anugerah Allah yang melimpah dan pengosongan diri Kristus yang memanusia di sebuah titik sejarah tertentu, di sebuah lokasi marginal tertentu. Penuh melimpah, sekaligus kosong merendah. Terhadap paradoks ilahi itulah, kata tak cukup mengungkap ketakjuban kita. Maka nada pun ikut tertutur, untuk menyanyikan kidung baru, kidung keselamatan. Amin.
Joas Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.