Gereja, jika mau terus hidup, haruslah berubah. Yang saya maksud, tentulah perubahan ke arah yang lebih baik. Karena, tentu saja ada kemungkinan, bahkan besar kemungkinannya, perubahan yang terjadi justru menuntun kita pada masa depan yang lebih buruk. Untuk perubahan yang lebih konstruktif ini kerap dipakailah kata “pembaruan”.
Sobat Kristus yang bernama Paulus itu pernah menunjukkan arah perubahan yang harus dilakoni setiap orang Kristen, yang tentulah berlaku pula untuk komunitas gerejawi. Ia menulis kepada umat di Roma: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu” (12:2a). “Berubah oleh pemba[ha]ruan budi” berarti berubah menjadi lebih baru; berubah mulai dari yang ada di dalam.
Jika “pembaruan budi” merupakan perubahan yang pantas untuk diidamkan, maka “menjadi serupa dengan dunia” merupakan perubahan yang seharusnya dihindari. Bukan konformitas tanpa transformasi.
Ada banyak orang Protestan mengatakan bahwa istilah ecclesia reformata semper reformanda-artinya: gereja yang sudah dibarui harus selalu diperbarui-merupakan trademark Protestantisme. Mereka lazimnya merujuk pada tulisan Gisbertus Voetius (1589-1676), yg di dalamnya muncul kalimat yang hampir mirip. Tepatnya berbunyi: ecclesia reformanda quia reformata (gereja harus diperbarui karena sudah diperbarui).
Sebenarnya pandangan ini kurang tepat, karena terma semper reformanda sebenarnya berakar jauh dalam tradisi Katolik sebelumnya pra Protestantisme. Bukan ecclecia reformata (gereja yang sudah dibarui) tapi semper reformanda (gereja harus dibarui) atau ecclesia semper reformanda (gereja selalu dibarui).
Gereja Katolik pun selalu mengklaim bahwa ecclesia semper reformanda (gereja selalu diperbarui) selalu harus didampingkan dengan klaim lain ecclesia semper eadem (gereja selalu sama). Ketika keduanya disatukan akan muncul pemahaman yang agak berbeda dari yang dipaparkan oleh Voetius. Dengan kedua terma itu Gereja Katolik ingin menegaskan bahwa gereja itu seharusnya “sama” sekaligus “diperbarui.” Singkatnya, pembaruan berarti pemurnian (semper purificanda).
Gereja Protestan memang memberi pelajaran yang sangat penting bagi kehidupan sebuah gereja. Ketika sebuah sistem hidup bersama kehilangan daya vitalnya, maka sistem itu harus dibarui. Namun, ada poin penting dari klaim Gereja Katolik yang harus digumuli juga oleh orang-orang Protestan. Yaitu: membarui tidak sama dengan meninggalkan yang lama sama sekali. Tugas membarui sekaligus menyimpan tugas merawat sesuatu yang mungkin masih baik pada apa yang lama. Tanpa kesadaran ini maka terma ecclesia reformata (gereja yang sudah diperbarui) bisa mengakibatkan keterputusan total dari gereja segala abad.
Joas Adiprasetya
1 Comment
Ecclesia Reformata Semper Reformanda | Joas Adiprasetya
Oktober 18, 2010 - 9:35 pm[…] Soal terminologi/istilah, tidak ada bukti jelas bahwa luther yang mencetuskan istilah2 tersebut. tetapi benar bahwa prinsip2 tersebut merupakan ciri Protestantisme. “Semper Reformanda” sendiri sebenarnya sudah lama ada sebelum Luther, yaitu justru di Gereja Roma. Ungkapan yang yang mirip sudah muncul dalam tulisan Coetius: ecclesia reformanda quia reformata. Lengkapnya, lihat http://gkipi.org/perubahan-dan-pembaruan/ […]