Karena Dicinta
Yesus berkata, ”Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Akulah yang memilih kamu” (Yohanes 15:16). Ketika Tuhan Yesus berkata demikian, Dia menegaskan bahwa murid-murid-Nya menjadi sahabat-sahabat Kristus bukan karena mereka terlebih dulu mencintai-Nya. Cinta datang dari Allah. Dalam cinta-Nya, Tuhan Yesus berkenan menjadikan kita sahabat-Nya.
Bersama Yesus, persahabatan penuh cinta terjalin. Yesus ada di dalam diri kita dan kita berada di dalam diri Yesus. Karena itu, ketika kita berjalan, kita berjalan bersama-Nya. Ketika menjalankan aktivitas, semua dilakukan bersama-Nya. Semua yang dilakukan sebagai pribadi, bersama keluarga, bersama persekutuan dan seluruh hidup, benar-benar bersama Dia yang mencintai kita apa adanya.
Dalam salib-Nya, Yesus memberi cinta kepada manusia. Cinta-Nya sejati. Yesus menerima manusia dengan beragam latar belakang, temperamen yang unik, dan perbedaan cara pandang hidup. Kekuatan cinta membuat-Nya merengkuh segala perbedaan. Rengkuhan cinta Yesus menumbuhkan persekutuan yang akrab, bebas dari rasa takut. Bebasnya rasa takut karena cinta itulah yang membuat Yesus menyatakan pengampunan, mampu menghadapi penderitaan tanpa jatuh dalam kebencian, dan berani merengkuh kematian di kayu salib. Dalam cinta, Dia turun ke dalam kerajaan maut dan dengan cinta pula Dia bangkit dari kematian pada hari ketiga. Kebangkitan-Nya merengkuh manusia agar saling mencintai satu sama lain. Sebagaimana Yesus bangkit karena cinta-Nya, manusia benar-benar mengalami hidup bila merasa dicintai dan bersedia mencintai.
Percaya kepada Yesus merupakan respons terhadap cinta yang diberikan Yesus. Thomas Merton menegaskan bahwa akar cinta “bukan muncul dari kehendak untuk mencinta, melainkan iman bahwa seseorang dicintai”. Cinta hanya dapat muncul dari seseorang yang merasa bahwa dirinya dicintai. Penghayatan religius yang mendalam menghasilkan iman bahwa seseorang merasa dirinya dicintai secara mendalam. Itulah iman yang hidup.
Mari Mencinta
Gerakan Yesus dengan cinta-Nya merupakan gerakan revolusioner dan relevan sepanjang zaman. Dicinta dan mencinta merupakan kebutuhan manusia sepanjang zaman. Namun kompleksitas budaya modern cenderung menghambat peluang manusia untuk dapat mencintai dan dicintai secara tulus.
Cinta dalam hidup bersama dibutuhkan untuk mewujudkan kedalaman relasi. Sosiolog Australia, Ben Agger menunjukkan bahwa kecenderungan komunikasi di dunia modern membuat manusia terhubung melalui media sosial. Relasi antar manusia yang semacam ini kurang memiliki kedalaman. Manusia modern cenderung memilih berada di dalam rumah dan menikmati media sosial. Kecenderungan relasi semacam ini mereduksi relasi antar manusia. Percakapan dari hati ke hati menjadi kurang dan dampaknya adalah hilangnya pemahaman hidup bersama. Di sisi lain, kecurigaan bisa tumbuh dengan sangat cepat.
Rasa curiga yang berlebihan menghilangkan cinta. Dampaknya adalah ketiadaan toleransi. Toleransi mengandalkan adanya sikap terbuka, tidak mudah mengadili, sabar, menghargai kebebasan berpendapat dan berekspresi, berempati, bersimpati, menanggapi situasi lingkungan orang per orang tanpa reaksi berlebihan. Dalam toleransi terdapat penghargaan, kebebasan dan kesetaraan. Sikap mencinta pasti sangat terkait dengan toleransi. Dalam cinta, penghargaan dan penghormatan terwujud seiring sejalan.
Cinta, sebagaimana diajarkan oleh Yesus, merupakan kekuatan besar untuk merangkul sesama sebagai sahabat. Gereja sebagai pengikut Yesus diundang untuk berpartisipasi dengan mewujudkan diri sebagai persekutuan yang bersahabat. Di tengah paradoks relasi manusia yang dangkal melalui media sosial, Henry Nouwen menawarkan sebuah alternatif dalam mewujudkan persahabatan. Linna Gunawan mengutip pemikiran Henry Nouwen dan Jesse Rice, yang mendefinisikan hubungan yang berkualitas lewat penderitaan manusia yang disebutnya sebagai “homeless”, yaitu mereka yang tidak memiliki tempat untuk merasa dicintai, aman, dipedulikan dan dilindungi. Jadi ketika kita mendapatkan koneksi yang menciptakan perasaan memiliki di antara kita, perasaan yang membuat kita merasa aman, dilindungi, dicintai dan dipedulikan, di situlah koneksi menjadi berkualitas. Koneksi seperti itu adalah koneksi yang membuat orang merasa at home.
Masa Raya Paska, yang merupakan masa retret agung, juga menjadi sarana berefleksi diri. Apakah cinta, percaya dan harapan ditumbuhkan dalam hati masing-masing warga gereja? Diawali dengan Rabu Abu yang mengajak umat menghayati pertobatan agar wawas diri melalui pertobatan itu. Pada minggu Pra-Paska pertama, warga gereja diajak menghayati pilihan melakukan kebaikan atau kejahatan. Pada minggu Pra-Paska kedua, penghayatan tentang penyangkalan diri digumuli bersama. Pada minggu Pra-Paska ketiga, warga gereja kembali menghayati makna kehidupan bersama dalam bait Allah. Pada minggu Pra-Paska keempat, hal kerendahan hati digumuli kembali dalam semangat cinta. Belajar untuk taat digumuli pada minggu Pra-Paska kelima. Pada minggu Pra-Paska keenam, dengan tema “Hadapi kenyataan hidup dengan berani”, warga gereja diajak untuk melihat realitas hidup yang kadang-kadang tidak sesuai dengan idealisme. Kamis Putih menjadi sarana untuk berefleksi tentang hidup dalam persekutuan cinta-Nya. Menghayati sengsara Yesus dan belajar dari Dia yang merengkuh kematian, dilakukan pada Jumat Agung. Dalam keheningan Sabtu Sunyi, warga gereja menghayati Yesus yang turun ke dalam kerajaan maut untuk menancapkan cinta kasih Allah di sana. Pada minggu Paska, kita akan menghayati secara utuh semangat cinta, percaya dan harapan.
Melalui tema cinta, percaya dan harapan, sejenak kita melakukan permenungan atas hidup supaya kita merasakan apa yang dikatakan Thomas Merton, “Barang siapa mencinta, ia menjadi kuat”. Barang siapa kuat, ia menjalankan hidup dengan percaya dan berpengharapan. Barang siapa mencinta, ia akan hidup, terbuka, partisipatif, dan peduli.
Pdt. Bonnie Andreas
Sumber : Bahan Masa Raya Paska LPPS GKJ dan GKI SW Jateng
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.