Mengapa kita harus mengasihi (baca: berbuat baik kepada) sesama kita? Sebagai orang percaya kita mestinya langsung tahu jawabannya. Bukan supaya masuk surga atau mengumpulkan pahala untuk itu. Juga bukan pamer supaya dipuji orang lain. Karena dengan begitu perbuatan baik kita tidak tulus. Kita berbuat baik kepada orang lain karena Tuhan sudah terlebih dahulu berbuat baik kepada kita, sesuai tema kita di atas. Tetapi tidakkah itu sama saja, tidak tulus? Tidak. Karena Tuhan berbuat baik kepada kita agar kita berbuat baik kepada sesama kita. Sederhana bukan? Dalam kenyataannya tidak.
Dalam kenyataan hidup sesehari banyak sekali orang yang tahu – mungkin termasuk kita, – bahwa berbuat baik terhadap sesama adalah kehendak Tuhan, tetapi tidak banyak di antara mereka yang sungguh-sungguh berbuat baik seperti yang Tuhan kehendaki, artinya berbuat baik terhadap sesama tanpa memilah-milah siapa. Tidakkah sebelum kita melakukan sesuatu yang baik terhadap orang lain, kita mempertimbangkan dahulu beberapa hal: temankah dia, kenalan, sesuku, semarga, sebangsa, seiman, bisakah dia dipercaya, selanjutnya akankah dia terus merongrong kita? Dan banyak lagi pertimbangan atau filter melalui mana kita menyaring kepada siapa kita harus atau patut berbuat baik.
Amsal 3:27-30 adalah nasihat-nasihat praktis bagi orang percaya, bagi kita semua. Nasihat praktis agar kita berbuat baik terhadap sesama tanpa “memandang bulu”. Sebab persoalannya bukan pada orang-orang kepada siapa kita harus berbuat baik, tetapi pada diri kita sendiri. Amsal ini menasihati kita: orang yang bijaksana (baca: takut kepada Tuhan) adalah orang yang jujur dan adil dalam relasi dengan orang lain. Bagaimanakah itu?
Pertama, orang bijaksana adalah orang yang selalu siap untuk menolong (ayat 27-28). Namun lebih tajam lagi: janganlah menjadi penghalang orang menerima pertolongan (haknya), terutama bila pertolongan itu seharusnya datang dari dirimu, dan dirimu mampu melakukannya (ayat 27)! Dalih apapun tidak berlaku untuk menghindarkan diri dari kewajiban ini. Bahkan menunda-nunda pun adalah salah. Kalau bisa sekarang, mengapa harus menunggu sebelum memberikannya (ayat 28). Paradigmanya sangat indah: dalam relasi antar manusia, orang yang membutuhkan selalu harus segera ditolong oleh orang yang mampu melakukannya!
Kedua, orang yang bijaksana adalah orang yang dapat dipercaya dan diandalkan. Jadi ungkapan semacam “menohok kawan seiring”, atau “menggunting dalam lipatan” tidak boleh mendapat tempat dalam relasi antar manusia. Apabila orang mempercayaimu serta mempercayakan banyak hal bahkan rahasia kepadamu, janganlah sekali-kali menyalahgunakannya. Merencanakan kejahatan terhadap orang lain adalah kekejian. Tetapi merencanakan kejahatan terhadap orang yang mempercayai kita adalah pengkhianatan tiada tara. Dasarnya adalah gema dari Amsal 3:3: relasi antar manusia mestinya diterangi oleh prinsip keramahtamahan dan kesetiaan.
Ketiga, orang yang bijaksana adalah orang yang ramah. Ada orang yang gemar dan selalu siap untuk bertengkar dengan tetangganya. Sedikit kata atau sikap yang dianggap tidak menyenangkan atau tajam langsung dibalas dengan kata atau sikap yang lebih keji dan lebih tajam lagi. Jelas ia bukanlah seorang yang bijaksana. Bersikap tidak ramah terhadap orang yang salah sekalipun bukanlah sikap orang percaya (Yesus: “…berdoalah bagi musuhmu…”). Maka bersikap tidak ramah terhadap orang yang sama sekali tidak melakukan apapun kepada kita, adalah sikap yang amat tidak terpuji. Dengan keramahtamahan relasi antar manusia akan tergalang dan bertumbuh.
Maka pertanyaannya tinggal bagaimana menjembatani antara yang kita imani dengan yang kita hidupi, antar yang kita tahu dengan yang kita lakukan. Untuk itu perlu kita kembali pada alinea pertama di atas, kembali pada tema kita: “Karena Tuhan Peduli Kitapun Peduli” yang mengandaikan bahwa “kita berbuat baik kepada orang lain karena Tuhan sudah terlebih dahulu berbuat baik kepada kita”. Sekilas memang kesannya tidak tulus: sekadar “membalas” kebaikan Tuhan. Tetapi lebih dalam daripada itu, adalah benang merah Kitab Suci bahwa berkat diberikan agar yang diberkati pada gilirannya menjadi berkat bagi orang lain. Jadi tujuan akhirnya adalah “semua orang diberkati”. Karena yang diperhatikan dan diprihatinkan Allah adalah segenap ciptaan-Nya, bukan cuma orang Yahudi, bukan cuma orang Kristen, dan pasti bukan cuma jemaat GKI Pondok Indah.
Tanggal 20 Juni 2006 GKI Pondok Indah merayakan hari ulang tahunnya yang ke 22. Selama 22 tahun Allah sudah memberikan berkat-Nya kepada kita. Selama itu pula Allah peduli kepada kita. Maka pertanyaannya: sudahkah kita menjadi berkat? Sudahkah kita menunjukkan kepedulian kepada sesama gereja, sesama jemaat, sesama orang percaya, sesama manusia? Tentu tidak keliru bila kita menjawab sudah. Terutama mengingat “berapa” yang sudah kita keluarkan dan anggarkan dalam program pelayanan “oikmas” (oikumene dan masyarakat). Tetapi sudah cukupkah itu? Pernahkah akan cukup?
Karena Tuhan peduli kitapun peduli bahkan kian peduli. Yaitu dengan cara menjadi gereja yang kian hari kian bijaksana (baca: takut kepada Tuhan): kian hari selalu kian siap untuk menolong siapapun; kian hari kian dapat dipercaya dan diandalkan; kian hari kian ramah. Namun jangan lupa: gereja yang bijaksana adalah gereja yang semua warganya (baik yang terdaftar maupun yang tidak) juga bijaksana, termasuk Anda!
Dirgahayu GKI Pondok Indah. Syukur kepada-Nya, Raja Gereja. Kita yang menanam dan menyiram, tetapi IA yang mengaruniakan pertumbuhan!
1 Comment
R.Hutabarat
September 30, 2013 - 9:33 pmPenjelasan dari Firman Tuhan cukup Jelas ,yang mengajak kita perduli sesama ,seperti Tuhan Yesus perduli dengan saya,anda kita semua bukan hanya yang miskin tapi semua nya juga yang kaya bahkan semua suku dan bangsa.