Pada tahun 1900-an, Frederick Wilson Taylor membawa sebuah stopwatch ke pabrik Midvale Steel di Philadelphia untuk mengukur kemampuan produktivitas setiap pekerja di sana. Ia menulis (1911), “Pada masa lalu, manusia harus diutamakan, pada masa depan, sistemlah yang harus diutamakan.” Kemudian jam kerja manusia makin hari makin ditambah. Pada tanggal 20 Agustus 1866, sebuah organisasi buruh mengusulkan untuk memasukkan 8 jam kerja sehari dalam peraturan pemerintah, namun ditolak. Baru pada tanggal 26 Juni 1940, pemerintah Amerika Serikat menetapkan 40 jam kerja seminggu sebagai maksimum jam kerja.
500 tahun yang lalu, manusia tidak bekerja begitu lama seperti sekarang. Pada masa itu, manusia menghabiskan waktu cukup panjang untuk sarapan, snack, makan siang, istirahat siang, snack sore, dan makan malam. Pada saat itu, orang kaya tetap kaya, karena mereka berpendidikan dan keturunan bangsawan, sedangkan orang miskin tetap miskin karena mereka tidak berpendidikan. Diperkirakan orang- orang pada abad ke-14 bekerja sekitar 4-6 jam sehari. Sebelum revolusi industri, orang-orang bekerja hanya untuk melewati hari karena tidak ada dorongan untuk mengumpulkan aset.
Saya tidak anti bekerja. Setiap kita harus bekerja, sebab Allah juga bekerja (Yoh. 5:17). Saya pribadi juga senang bekerja bahkan terkadang terlalu ekstrem sebab ketika saya sibuk bekerja, saya bisa tidak makan, tidak tidur. Dan tentu, hal itu tidak baik juga. Nah, “SIBUK” telah menjadi kata yang keren di dunia yang bergerak cepat (fast-paced world). Apabila orang ditanya, “Apa kabar?” Kemudian ia menjawab, “Oh, akhir-akhir ini, saya sibuk sekali,” maka ia akan dipandang sebagi orang yang berhasil. Sebab kata “sibuk” pada zaman ini diasosiasikan sebagai status yang menunjukkan bahwa seseorang berharga, penting, hebat, dan berhasil.
Apakah kesibukan merupakan sebuah permasalahan spiritual? Sebenarnya bukan kesibukan itu sendiri tetapi…
Kesibukan Berlebihan
Karena tidak mampu mengatur waktu atau tidak berani menolak dan membuat batas (set boundary), atau tidak mampu membangun tim dan berkolaborasi, sehingga hidup kita menjadi tidak seimbang dan akhirnya kita berada dalam kondisi kelelahan yang berkepanjangan atau mengalami burnt out.
Kesibukan Jiwa
Jiwa kita tidak tenang. Pikiran kita terlalu sibuk dengan rencana, amarah, kekesalan, sakit hati, kepahitan dan kekhawatiran. Ketidaktenangan pikiran juga merupakan sebuah kesibukan yang menyebabkan kita
tidak dapat beristirahat dengan baik.
Kesibukan Tanpa Tujuan
Ada banyak agenda yang harus kita kejar dan selesaikan. Sepertinya, ada saja yang harus kita kerjakan dari hari ke hari. Begitu banyak hal yang harus kita selesaikan, sehingga kita pun bingung sendiri mengapa diri kita sedemikian sibuk. Namun kita tidak memiliki tujuan yang jelas. Kesibukan kita merupakan kesibukan tanpa arah.
Kesibukan demi Nilai Diri
Berjuang untuk menjadikan diri berharga. Berusaha keras untuk menambah nilai diri melalui berbagai pencapaian dan prestasi. Mengerjakan banyak hal agar dapat meraih pujian dan penerimaan.
Hidup kita dinilai dari kemampuan kita mengejar target. Hidup kita dinilai dari “kuota” yang dapat kita capai. Kuota penghasilan, kuota belanja, kuota travel. Makin banyak kuota yang kita miliki, makin berhasil kita dipandang. Ingat bahwa, busyness isn’t a badge of honor, kesibukan bukanlah suatu kebanggaan.
Multitasking, Ignoring, Touch-Screen, Lose-Touch
Seni multitasking merupakan praktik yang sangat dijunjung tinggi oleh generasi kekinian. Kita mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik, menonton film, bermain game, memesan tiket, menjawab telepon, mengecek email, membalas email, membuka folder, memperbarui status, melihat foto jalan-jalan teman kita…. wah… kita sibuk sekali!
Benar bahwa apabila kita menggunakan kata yang baik didengar, ini namanya multi-tasking, tapi apabila kita menyorotinya dari tindakan keadilan terhadap sesama, ini lebih tepat disebut sebagai ignoring (membiarkan). Pada dunia layar sentuh, manusia makin kehilangan afeksi atau krisis sentuhan.
Lebih menyedihkan lagi apabila gawai, yakni alat yang sangat efektif untuk menolong kita mengorganisasi agenda, data, dan informasi sehingga hidup kita makin tertata baik, malah direduksi menjadi alat untuk memberikan penambahan nilai diri. Kita merasa tidak berharga apabila gawai kita bukan produksi terkini, sehingga gawai tidak lagi digunakan secara optimal untuk meningkatkan kualitas kehidupan, tapi malah menjadi penghalang atau perusak kehidupan. Inilah ironi kehidupan: teknologi memberi banyak kemudahan, dan seharusnya membuat manusia makin tidak sibuk, tapi yang terjadi justru sebaliknya, teknologi meningkatkan kesibukan manusia.
Maria dan Marta
Dengan senang hati, Marta menerima Yesus di rumahnya. Dengan keramahtamahan Yahudi masa itu, Marta mempersiapkan makanan untuk-Nya. Mungkin Marta sedang mempersiapkan roti bundar. Dalam keramahtamahan Singapura, Marta mungkin memasak fish-head curry. Ia harus mengambil kayu, menyalakan api, mengadon tepung. Ternyata menyalakan api tidaklah mudah. Ia mengambil minyak, mulai mengaduk tepung, tapi tanpa listrik, oven dan pengaduk tepung, proses pembuatan roti bundar terasa begitu lama. Intinya, “Marta sibuk sekali melayani” (Luk. 10:40).
Kata sibuk sekali diterjemahkan dari kata peripao (ayat 40), yang artinya ditarik ke segala arah. Perasaan Marta ditarik ke segala arah atau dengan kata lain, ia mengalami disorientasi. Ia kehilangan fokus. Mengapa ia kehilangan fokus, dan ditarik ke segala arah? Marta khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara (Luk. 10:41).
Sambil mengaduk tepung, memotong sayur, memasak daging, hatinya, yang pada mulanya gembira, segera berubah menjadi panas. Ia mengharapkan Maria berinisiatif menolongnya. Namun setelah ditunggu-tunggu, Maria tidak datang- datang. Ia pun mulai bersungut- sungut. “Mengapa Maria dari tadi tidak datang membantuku! Emangnya aku pembantu? Mengapa aku dibiarkan sibuk sendiri? Bukannya kalau aku dibantu, pekerjaan lebih cepat selesai dan kita bisa menikmati makanan bersama? Bukankah bersinergi itu jauh lebih efektif? Mengapa aku harus bekerja sendiri? Di manakah anggota panitia yang lain? Di manakah guru Sekolah Minggu yang lain? Di manakah anggota Majelis Jemaat yang lain?
Marta mulai keluar masuk ruangan untuk menarik perhatian Maria sambil memajang wajah cemberut dan marah. Hatinya kesal, karena ketika ia keluar masuk, Maria tetap saja tidak menangkap maksudnya. Ketika kembali ke dapur untuk membuat adonan roti, hati Marta makin kesal; “Mengapa Tuhan tidak menegur Maria yang tidak menolongku? Aku dilupakan begitu saja. Aku dibiarkan bekerja sendiri. Mengapa Tuhan tidak menolongku?” Amarah Marta terhadap Maria kini menjalar kepada Tuhan. Hati dan perhatian Marta ditarik ke segala arah (peripao).
Akhirnya, kekesalan dalam hatinya memuncak. Ia sudah tidak tahan lagi, dan berjalan masuk dengan hentakan kaki yang berat, wajah yang kesal, dan napas yang berat. Dengan nada marah ia berkata, “Tuhan… tidakkah Engkau peduli… bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri?… Suruhlah dia membantuku” (Luk. 10:40).
Perhatikanlah kata-kata Marta. Ia berseru bahwa Tuhan TIDAK PEDULI. Tuhan sama dengan saudaranya yang MEMBIARKANnya bekerja sendiri. Atau dengan kata yang lebih kasar, Tuhan jahat. Dengan nada kesal ia menegur dan memerintahkan Tuhan, “SURUHLAH” dia membantuku!!!” Saya percaya bahwa nada Marta sudah meninggi, karena ia sudah tidak dapat bersabar lagi. Kekesalan terhadap Tuhan kian meningkat. Perkataan Marta telah mempermalukan saudaranya sendiri. Perkataan Marta merusak seluruh praktik keramahtamahannya.
Apa respons Yesus? Kalau kita adalah Yesus, mungkin kita berkata, “Diam, jangan ribut di sini… kamu kembali ke dapur… selesaikan pekerjaan yang telah kamu mulai.” Namun saya percaya, dengan nada lembut dan penuh cinta kasih, Yesus berkata, “Marta, Marta… engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara.” Sapaan “Marta, Marta…” membuat saya merasakan kasih yang mendalam, perhatian hangat dan pengertian yang indah. Dalam ekspresi Ibrani, pengulangan nama mengandung makna keintiman, seperti Abraham, Abraham (Kej. 22:11), Yakub, Yakub (Kej. 46:2), Musa, Musa (Kel. 3:4), Samuel, Samuel (1 Sam. 3:10), Absalom, Absalom (2 Sam. 18:33), Allahku, Allahku (Mat. 27:46), Simon, Simon (Luk. 22:31). Atau, “Tuhan, Tuhan kami sangat dekat dengan-Mu.” Namun Tuhan berkata, “Aku tidak pernah mengenal kamu!” (Mat. 7:23).
Nah, kata khawatir (merimnao) akan banyak perkara dan menyusahkan diri (turbazo) menegaskan kondisi jiwa Marta yang memikirkan terlalu banyak, sehingga ia menjadi sangat gelisah. Jiwanya terganggu, sehingga mengalami turbulansi emosi. Atau perasaan dan pikirannya terlalu ramai. Ketika kita menggabungkan merimnao dengan turbazo, kita mendapatkan kondisi “kegelisahan karena pikiran yang terlalu ramai atau pikiran yang mengalami pergolakan”. Yesus mengingatkan kita dengan pertanyaan reflektif, “Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta pada jalan hidupnya?” (Luk. 12:25).
Bukankah kesibukan adalah hal yang mulia? Bukankah Yesus juga sibuk? Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah “sibuk”, sebab bagi saya “sibuk” adalah kondisi jiwa. Saya lebih suka menggunakan istilah “padat” atau “lagi banyak pekerjaan”. Hal ini berarti, kita menyelesaikan tugas-tugas kita satu per satu tanpa harus merasa gelisah, atau pikiran kita menjadi sangat ramai.
Sebagai seorang INFJ, pikiran saya memang selalu ramai tetapi bukan karena turbulansi, melainkan refleksi. Yang menarik buat saya adalah kata sibuk dalam bahasa Mandarin 忙yang terdiri atas dua karakter, yakni hati dan kehilangan, melarikan diri atau mati. Jadi, ketika kita mengatakan “aku sibuk” berarti kita sedang mengatakan, “Hatiku telah mati.” Menurut saya, ini merupakan ekspresi yang sangat tepat. Bukankah kesibukan merupakan bentuk pelarian? Bukankah dalam kesibukan kita selalu kehilangan sesuatu yang bermakna, bahkan kehilangan kualitas hidup kita? Bukankah kesibukan merupakan kondisi hati yang mati?
Bukankah kehidupan gereja sangat membutuhkan orang-orang seperti Marta? Bukankah tanpa Marta di gereja, semua pelayanan terbengkalai? Namun apabila kita melayani seperti Marta (pikiran dan hati yang tertarik ke mana-mana), kemudian kita merasa kesal terhadap sesama dan marah terhadap Tuhan, maka pelayanan kita menjadi kering tidak berarti, karena sukacita kita telah dirampas oleh kegelisahan dan pergolakan pikiran kita. Kita melayani, tapi diri kita sendiri tidak diberkati oleh firman Allah.
Buat saya, Sabat merupakan momen yang Tuhan berikan agar kita dapat merawat kualitas hidup kita. Sabat yang dipraktikkan dengan benar menjaga kemanusiaan kita, sehingga kita tidak tenggelam di tengah kesibukan kita, tidak ditelan oleh kegelisahan kita.
Ada sebuah program mencari pasangan hidup yang bernama Speed Dating, yang biasanya terdiri atas 14-16 peserta. Setiap pasangan diberi waktu 7 menit untuk saling berkenalan sebelum mereka berganti ke pasangan berikutnya. Dengan kata lain, setiap orang mendapatkan waktu 3,5 menit. Apabila Anda mempunyai waktu 3,5 menit untuk mengenal seseorang, apa yang akan Anda tanyakan? Saya percaya bahwa Anda tidak akan menanyakan pekerjaannya, hobinya, film kesukaannya atau alamat rumahnya. Saya percaya bahwa Anda akan menanyakan hal yang lebih penting, seperti bagaimana dia menggunakan waktunya. How do you spend your time? Dari penggunaan waktu seseorang, kita dapat mengetahui apa yang disukainya, apa yang penting baginya dan nilai-nilai kehidupannya. The person you spend most of your time with, he or she is the person you love most. Siapakah orang yang paling banyak mengisi waktu Anda, pikiran Anda, hati Anda? Dialah orang yang paling Anda cintai dalam hidup ini. Singkat kata, what we do is what we love.
Sebuah restoran bir menjual berbagai produk bir, tetapi tidak menjual makanan, karena si pemilik restoran memutuskan untuk berfokus pada produk bir yang berkualitas dan menolak untuk menjual makanan. Nah, yang menarik adalah, restorannya selalu ramai. Dia mengizinkan para pelayan restoran tetangga untuk masuk ke restorannya, menerima orderan dari tiap-tiap meja dan kemudian kembali dengan menu makanan dari restoran mereka masing-masing. Restoran tersebut bernama World of Beer.
Dalam hidup ini, ada hal-hal yang kita perlu lepaskan untuk mendapatkan hal yang paling berkualitas. Ada banyak kesibukan kita yang sebenarnya bisa dikurangi. Seperti yang dilakukan Michelangelo setiap kali ia memahat karyanya. Ia menganut filosofi, untuk membuang bagian yang bukan masterpiece sehingga yang tertinggal akhirnya adalah karya agungnya. Meister Eckhart juga mengatakan, “the spiritual life is not a process of addition, but rather of substraction” (Goldberg 2013, 38).
Masalah terbesar Marta adalah tidak bisa menentukan prioritas. Ia tidak memilih yang terpenting. Hati dan pikirannya ditarik ke segala arah (disorientasi). Ia tidak memiliki fokus. Kisah Maria-Marta yang ditempatkan di antara perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati dan ajaran Yesus tentang doa bukanlah sebuah kebetulan. Pelayanan keramahtamahan tanpa keakraban dengan Bapa menjadi tidak berarti. Semestinya pelayanan kita merupakan pelayanan yang tepat sasaran. Pelayanan yang terlalu padat, terlalu banyak program, berpotensi menjauhkan kita dari Tuhan. Jiwa kering, hati cemas, pikiran ke mana- mana. Kita perlu menginvestasikan hidup kita yang singkat ini secara tepat, yakni pikiran, tenaga dan waktu kita dipergunakan secara tepat.
Kiranya doa kita adalah, “Father, give me something worth my time.” Kiranya kita tidak lagi gelisah (jiwa yang sibuk sekali) karena pikiran kita terlalu ramai. Mari kita belajar menaruh fokus dan tujuan yang tepat dalam hidup kita yang singkat ini. Kiranya Allah memberikan kita hikmat untuk menginvestasikan hidup kita secara tepat.•
LAN YONG XING
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.