Kan kugenggam lilin Kristus
Kala malam menggerus
Kan kupegang tanganmu t’rus
Nyatakan cinta kudus.
Penggalan bait dari keseluruhan lagu yang dinyanyikan sebelum penumpangan tangan peneguhan dan berkat di acara ibadah peneguhan dan emiritasi, 27 November 2017 ini, menyadarkan saya betapa suci tugas pelayanan bersama di gereja dan di dunia. Lantunan musik pengiring membuat setiap kata dari semua bait yang ada terasa meresap di kalbu dan jiwa. Alhasil … mata yang terang mulai tergenang, suara yang keras mulai lemas, kaki yang kokoh perlahan goyah. Janji pun tak terucap lantang, tetapi dengan bisik pilu yang berdendang. Mengapa? Jawabannya adalah: Takut.
Ketakutan dimiliki semua orang. Ketakutan atau kecemasan merupakan ‘anugerah Allah’. Emosi primer ini adalah early warning system bagi seseorang untuk selalu menjaga kesadarannya. Dengan kecemasan atau ketakutan (tentu dalam batas yang wajar, tidak berlebihan) seseorang akan tetap memiliki kewaspadaan yang tinggi, sigap dalam menghadapi tantangan yang menakutkannya. Ambillah contoh, seseorang melihat begitu banyak paku pinus tersebar di halaman rumahnya. Ia cemas paku itu bisa mencelakainya dan anak-anaknya. Ia segera bertindak untuk mengamankan. Ia waspada pada kecelakaan yang lebih besar di depan.
Ketakutan dalam porsi yang tepat adalah alat seseorang menjaga kewarasannya. Ketakutan dan kecemasan itu akan menjaganya untuk tetap berada pada jalur yang benar tanpa menjadi pongah dan jumawa. Kehilangan kecemasan membuat seseorang sangat mudah jatuh pada kesombongan dan keangkuhan diri, merasa yang paling benar dan anti kritik.
Masa Natal menyodorkan banyak kisah ketakutan. Yusuf yang takut dengan keadaan Maria, Maria yang takut dengan kehadiran kabar kehamilannya, para gembala yang takut dengan kehadiran sepasukan malaikat di kelam malam, Herodes yang terlalu cemas dengan status dan kekuasaannya.
Begitu banyak ketakutan itu membuat kita juga menyadari tindakan mereka selanjutnya. Herodes memilih untuk tetap berada dalam rasa takut. Ia menaklukkan diri pada rasa cemas yang menggulung, dan mengandalkan kekuatan dirinya sendiri. Ia berusaha tampil berani, tapi sombong, angkuh dan penuh kekerasan. Sebaliknya, kecemasan Yusuf, Maria, dan para gembala mengarahkan mereka untuk selalu ingin melekatkan diri kepada Allah yang memberi kekuatan dan keberanian. Mereka semata-mata menaruh harapan kepda Allah sang Khalik dan Pemberi Kehidupan.
Saya cemas, dan hal itu tampak dalam tangisan ketakutan pada ibadah peneguhan dan emiritasi lalu. “Apakah saya mampu menjalankan tugas panggilan Kristus untuk menjaga lilin iman dan pelayanan ini terus menyala? Apakah saya mampu menjadi berkat di tengah gereja yang kompleks dan besar ini?” Dalam peneguhan yang lalu, saya berjanji dalam hati untuk menjaga api kecemasan itu tetap menyala, meski juga harus menahannya agar tidak membesar dan membakar hidup saya dan orang-orang yang saya layani. Saya ingin api kecil kecemasan itu tetap menyala, agar saya tetap memiliki kesadaran bahwa hanya Allah yang melengkapi dan menolong, hanya Roh Suci yang akan menuntun, dan hanya Roh Kristus yang mengokohkan derap pelayanan di gereja milik-Nya.
Bagaimana dengan Saudara? Apakah tak ada satu pun ketakutan melekat di hati Saudara sehingga Saudara merasa semua berada di bawah kontrol? Atau sebaliknya, apakah pada ekstrem lainnya, ketakutan menjadi api yang tak terkendali dan menghanguskan kehidupan? Mari kita belajar dari tokoh-tokoh kisah Natal. Maria, Yusuf, dan para gembala menjaga kecemasan mereka dalam porsi yang tepat, sehingga mereka tetap bergantung pada Allah, bukan pada diri mereka sendiri. Selamat menghayati masa Adven, Natal, dan Tahun Baru 2018. Allah mengasihi Saudara dan saya.
Pan-Gesang, 29 November 2017
Pdt. Bonnie Andreas
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.