Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:20)
Padahal sebenarnya siapa yang bisa melawan mereka dalam hal beribadah, sebab dalam soal yang beginian, mereka adalah ‘jagonya’ dan bisa diacungi jempol. Orang Farisi misalnya, berpuasa 2 kali seminggu, memberi perpuluhan dengan tertib, tidak pernah pergi ke tempat-tempat maksiat, seperti rumah bordil, tempat perjudian dan sebagainya, tetapi Tuhan Yesus menganggap itu semua bukan hal yang istimewa, apalagi jempolan, itu adalah biasa dan memang seyogyanya kamu berbuat begitu, karena kamu memang anak-anak Tuhan, bukan anak-anak hantu, tetapi kamu mesti bisa berbuat lebih dari yang biasa itu, artinya apa?
Bukan sekedar melakukan kegiatan-kegiatan ‘formal’ keagamaan itu saja, tetapi bagaimana secara ‘fungsional’ hal itu diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari; bukan hanya dalam ibadah kita menyebut Tuhan-Tuhan, tetapi juga melakukan kehendak-Nya di dalam keseharian kita, sebab orang seperti inilah yang berhak masuk ke dalam Kerajaan Sorga, kata Yesus. Sampai di sini saya yakin, kita semua mengamini, tetapi masalah kita ialah, ternyata penerapan praktisnya memang tidak semudah membalik telapak tangan.
Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi, tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu berilah juga kepadanya pipi kirimu (Matius 5:38,39). Tak seorang pun menyangkal betapa luhur dan mulianya pengajaran Yesus ini, namun yang menjadi pertanyaan adalah penerapan praktisnya, memang alangkah bagusnya, kalau bisa, tetapi bisakah?
Yang berlaku umumnya adalah bahwa kekerasan mesti dilawan dengan kekerasan bahkan harus lebih keras, kalau bisa. Hal ini berlaku di kalangan masyarakat umum di manapun di dunia ini. Dunia kita membutuhkan ‘manusia super’ bukan manusia ‘pecundang’ (loser) yang mampu membalas mata ganti mata bagi siapa pun yang melukainya, demikianlah paradigma dunia, tetapi paradigma Tuhan sama sekali berbeda. Haruslah diakui bahwa pengajaranNya adalah penjungkirbalikan semua dan segala sesuatu yang kita anggap ‘umum’, lazim atau ‘biasa’; namun inilah tantangan kita yang sebenarnya sebagai anak-anak Tuhan, bagaimana kita memberikan hidup dan memaknai hidup ini lebih dari yang biasa berlaku.
Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Yesus berkata: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?
Inilah penjungkirbalikan total, radikal dan menyeluruh dari semua warna yang ada. Yesus menawarkan sebuah tata dunia dan tata kehidupan yang baru yang secara detail diuraikan oleh Yesus melalui Khotbah di Bukit, yang juga amat kontroversial sampai sekarang. Bukan saja karena amat sulit untuk dicerna akal sehat, tetapi terutama karena amat sulit dipraktikkan. Berapa pun sulitnya, namun hal ini bukan kodrat, bukan sesuatu yang mau tidak mau. Memang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin, kedatangan Yesus adalah untuk menyatakan, bahwa yang kita anggap mustahil itu menjadi mungkin, bahwa sekarang kita punya pilihan. Yesus mau membebaskan Anda dan saya dari belenggu kodrat yang seolah-olah sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.
Masalahnya, siapakah andalan kita? Hampir mustahil melakukan lebih dari yang biasa, ketika kita memberi prioritas kepada diri kita sendiri yang penuh keberdosaan ini, tetapi bukan hal yang mustahil lagi, ketika kita mau mengandalkan Tuhan, membiarkan DIA bertahta dalam hidup kita dan menguasai diri kita – sebab di luar Aku, kamu tidak bisa berbuat apa-apa.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.