1.
Dalam bahasa yang paling sederhana, misi (embanan) adalah proses perencanaan dan kehendak untuk mewujudkan sebuah cita-cita. Hanya saja, bagi gereja, misi itu adalah sesuatu yang bersifat status konfensionis, suatu keadaan yang tidak tertolak, yang merupakan pemberian (given) dari Tuhan. Dengan demikian, maka yang paling fundamental dipahami gereja adalah bahwa dirinya tidak memiliki misi. Tuhan sendirilah yang memiliki misi atas seluruh tatanan kehidupan alam semesta (bukan hanya manusia). Jadi sesungguhnya, misi yang dikenal gereja, satu dan sejatinya adalah Missio Dei.
2.
Penyelamatan atau pemulihan dunia yang telah jatuh ke dalam dosa merupakan ultimate concern dalam Missio Dei. Bukan hanya di alam sorga, tetapi yang lebih penting lagi adalah di dunia ini. Tuhan mengutus gereja ke dunia, bukan ke sorga, maka dengan demikian urusan-urusan di dunia ini, semua bidang yang menjadi wilayah kehidupan semesta alam, terutama yang mempengaruhi dan menentukan hajat hidup orang banyak dan lingkungan semesta, mestinya menjadi keharusan sebagai urusan utama gereja. Missio Dei itulah yang harus dieksplorasi gereja-gereja sebagai satu-satunya dinamika keterlibatan komunitas gereja dalam sejarah rakyat.
3.
Persoalan utama dan sangat klasik muncul menjadi beban-beban permasalahan manakala Missio Dei itu berubah menjadi Missio Ecclesia. Missio Dei yang seharusnya menjadi tema-tema sentral teologia bagi penyiapan fundamental dan basis-basis keterlibatan gereja di tengah-tengah rakyat berubah menjadi rumusan-rumusan tata gereja dan formula-formula konfesional yang sangat terbatas tetapi seringkali lebih absolut dari Tuhan. Missio Dei itu mengalami reduksi sedemikian rupa dalam keabsolutan tata gereja dan formula konfesioinal disebabkan ketergantungan gereja meletakkan keprihatinannya pada urusan dan bisnis gereja semata. Tidaklah mengherankan apabila gegap gempita agama-agama (tidak hanya Kristen) di Indonesia tidak pernah dibarengi substansi dan sikap fundamental menatap persoalan-persoalan real manusia dan alam semesta. Tidak juga salah jika dikatakan bahwa semua orang di Indonesia beragama dan mementingkan agama, tetapi pada saat dan tempat yang sama menyisihkan Tuhan sengan sadar atau khilaf: beragama tetapi tidak ber-Tuhan.
4.
Kemerdekaan bangsa-bangsa dan jerih juang pengorbanan-pengorbanan bagi kebebasan, jika dilihat secara jujur dan cermat bukanlah semata-mata politis sifatnya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang sangat mendasar menyangkut komunitas kemanusiaan bagi suatu perwujudan kemerdekaan, keadilan dan kedamaian, meskipun seringkali ditempuh melalui ujung pedang dan laras senjata, menempuh sejarah panjang dalam revolusi-revolusi yang dipenuhi kekerasan, bertabur darah, nyawa yang meregang dan penderitaan-penderitaan. Pertaruhannya jelas menyangkut hak-hak dasar manusia, pada asas-asas non-diskriminasi dalam kehidupan sosial-ekonomi: pada relasi dan interaksi antar individu, kelompok hingga kesetaraan antar ras, suku dan bangsa. Itulah sesungguhnya arena politik yang menjadi batu-batu penjuru dari bangunan-bangunan sebagian besar bangsa-bangsa.
5.
Politik dalam arti yang luas adalah sistem dan tatanan suatu masyarakat yang berangkat dari kehendak bebas rakyat itu sendiri. Dengan itu sekaligus disyaratkan: bangsa yang bebas dan merdeka akan terdiri dari rakyat, dari individu-individu yang bebas dan merdeka. Di dalam dan melalui kebebasannya itu, mereka memberikan haknya untuk diatur dan mengatur, diperintah dan memerintah. Kesamaan-kesamaan disebar dan perbedaan-perbedaan ditata melalui produk-produk keputusan politik yang disebut sistem dan hukum. Produk-produk politik itu, disukai atau tidak, diterima atau tidak, akan mempengaruhi tidak hanya wilayah publik, tetapi ruang-ruang pribadi, termasuk ranah agama-agama. Bahwa privasi tertentu dari individu kelihatannya tidak disentuh dalam beberapa bagian, hal itu sesungguhnya merupakan bagian dari produk politik itu sendiri. Artinya produk politik itu memberi ruang bagi privasi individu-individu.
6.
Jika dilihat secara sadar, sesungguhnya arena politik itu sangat dekat dan kental dengan komunitas gereja. Pengelolalaan tatanan kehidupan masyarakat sangat lekat dengan gereja dan menjadi salah satu dari tritugas gereja, yakni koinonia. Persekutuan bukanlah kata-kata kosong dan ruang hampa, apalagi jika dihubungkan dengan Missio Dei. Istilah itu justru sangat meluas, holistik dan mondial dalam hubungannya dengan penataan, dan dalam beberapa hal melampaui arena politik. Demikian juga halnya dengan diakonia, yang di dalam arena politik disebut dengan pemerintah. Jabatan-jabatan politik adalah jabatan-jabatan publik, yang diharuskan untuk melayani kepentingan masyarakat seluruhnya, seutuhnya dan sepenuhnya. Wilayah yang tidak menjadi domain politik adalah wilayah marturia. Hal ini yang seringkali saya pahami menyangkut pembedaan sebutan kepada pemerintah yang hanya memperoleh gelar doulos, yang membedakannya dengan gereja dengan tambahan gelar selain doulos juga diakonos. Ada pemaknaan yang bersifat transenden, metafisi, magis dan kultis yang disebut spriritual formation yang tidak menjadi beban dan tanggungjawab gereja pada bangsa-bangsa yang bukan negara agama.
7.
Dalam lintas pengalaman pribadi yang masih singkat (karena terlambat dan terhambat), secara institusional dan struktural, saya melihat, gereja belum memiliki platform politik yang didisain dengan niat sadar, sengaja dan terencana. Sinode atau organisasi-organisasi gereja nyaris tidak memiliki departemen atau kompartemen politik. Memang bukan ukuran satu-satunya untuk menilai ada tidaknya perhatian dan keprihatinan suatu Sinode terhadap politik, dan bahkan jika hal itu ada juga bukan berarti telah terjamin fungsi dan peran politik yang signifikan dari ukuran-ukuran dan muatan penugasan dan pengutusan gereja terhadap dunia politik. Namun disain yang dilandasi niat sadar, sengaja dan terencana tidak mungkin tidak memberi ruang pada struktur-struktur Sinodal untuk secara khusus menggulati politik itu. Dengan adanya suatu bidang yang khusus memikirkan hal itu, konsepsi dan strategi menyangkut politik, terutama menyangkut etika dan moralitas dalam arena politik dapat menjadi proses yang lahir dari haribaan gereja, baik terhadap warga gereja, utamanya terhadap bangsa.
8.
Disadari atau tidak, politik akan merefleksikan diri dalam pelembagaan nilai-nilai yang berbentuk hukum dan aturan. Di segala tempat, hukum merupakan produk politik yang akan mengena pada seluruh komunitas masyarakat. Karena itu, membiarkan politik berjalan sendiri tanpa kontrol masyarakat, terutama organisasi-organisai yang mewadahi masyarakat, baik itu lembaga umum maupun keagamaan, adalah kesalahkaprahan fatal. Dalam banyak hal gereja selalu memposisikan diri sebagai kelompok defensif dan reaktif. Manakala suatu produk poilitik berupa undang-undang muncul dan dirasakan ‘merugikan’ dirinya, maka gereja-gereja akan bangkit sesaat. Di luar kepentingan sempitnya itu, gereja-gereja tidur lelap. Dalam artian itu, sesungguhnya gereja sangat kental dengan politik, kepentingan diri, bukan politik kepentingan rakyat. Primodialisme agama dalam arti yang sesempit-sempit-nya, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan akan membuat gereja semakin terpuruk dengan menggali kuburnya sendiri.
9.
Jika gereja sejak dini mampu memposisikan diri sebagai terompet moral masyarakat yang pas dan nyaman, maka gereja akan menjadi tonggak dan tiang moral yang melembaga di tengah-tengah bangsa. Atmosfir kebebasan yang dibayar mahal kelompok aktifis jalanan dan mahasiswa, tentu akan lebih signifikan pengejawantahannya apabila memperoleh ruang dalam doktrin dan struktur gereja. Gereja tidak sekadar memanfaatkan momentum yang diperjuangkan orang lain, tetapi justru harus berebut dan menciptakan momentum yang dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan rakyat dan bangsa. Bukan berarti gereja menjadi arena politik, tetapi menjadi sarana bagi proses-proses politik yang bermoral. Juga, ekspresi dan refleksi politik gereja bukan sekadar kelatahan membentuk partai, tetapi pada perembesan nilai dan substansi yang dikehendaki Tuhan pada seluruh ruang dan bidang kehidupan masyarakat.
10.
Hal yang paling penting dalam perspektif misi dan politik, adalah keharusan gereja melayani dunia politik dengan rumusan teologis yang pasti. Artinya gereja harus belajar untuk mampu menghubungkan dan terlibat dalam persoalan-persoalan rakyat yang mengalami tekanan dan pengasingan politik. Sistem-sistem politik yang tidak adil akan senantiasa beroperasi dengan cara-cara yang kompleks dengan pelbagai kombinasinya. Penderitaan dan perjuangan orang-orang tertindas yang dipenuhi dengan segala proses pembodohan dan marginalisasi harus dapat dihubungkan gereja dalam tata dan tatanan ibadahnya, pada ruang-ruang kultusnya yang kudus, sehingga perjuangan dan penderitaan itu tidak menjadi sesuatu yang terbiasa dan wajar (business as usual), tetapi sungguh-sungguh menjadi pergulatan yang terus-menerus bagi gereja, bagi pembebasan, penyelamatan dan pemulihan wilayah politik. Gereja memang harus memiliki Missio Dei politik!
Pdt. Saut Sirait, M.Th. dari Gereja HKBP; Ketua Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo) dan mantan Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu), Disampaikan dalam program Pendidikan Teologia Jemaat di GKI Pondok Indah pada tgl 12 Februari 2007
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.