Banyak orang Kristen beranggapan bahwa sudah sewajarnya memahami kedatangan Yesus ke dunia sebagai cara Allah menyelamatkan manusia yang berdosa. Tentu saja, berita keselamatan semacam ini benar dan patut dijaga terus sebagai bagian penting dari Injil. Itu sebabnya, Natal sebenarnya jadi indah dan bermakna setelah diletakkan pada bayang-bayang Paska: Kristus bangkit dan mengalahkan dosa dan kematian.
Tulisan singkat ini ingin menyelisik lebih mendalam konsep keselamatan ini. Pertanyaan awal yang perlu diajukan adalah: Seandainya manusia tidak berdosa, apakah Sang Anak Allah tetap menjadi manusia? Pertanyaan ini tampak sepele, namun sesungguhnya memunculkan sejumlah konsekuensi yang sangat serius. Bahkan pertanyaan ini pernah muncul di dalam Summa Theologica tulisan Thomas Aquinas (III, art. 3, Q1).
Mengapa pertanyaan ini serius? Sebab, pemahaman populer kita mengenai Kristus yang menjadi manusia dan mati bagi manusia itu mengandaikan bahwa kedatangan Yesus sebagai manusia dan mati di atas salib itu adalah konsekuensi dari dosa manusia. Karena manusia berdosa maka Yesus menjadi manusia. Padahal Allah tidak pernah mendesain dosa itu sendiri; Allah tidak pernah merancang dan menciptakan dosa. Maka, jika demikian, kedatangan Kristus sebagai manusia di dunia menjadi “plan B” Allah.
Sebagai contoh, Anselmus dari Canterbury pernah mengeluarkan sebuah teori yang disebut “teori pengembalian” (satisfaction theory) yang mengatakan bahwa manusia berutang kemuliaan Allah dan tidak mampu mengembalikannya, karena itu manusia harus dihukum. Namun, Allah kemudian menjadikan Kristus sebagai Allah-manusia yang menggantikan manusia yang terhukum. Maka, berkat Kristus, manusia terselamatkan. Teori ini sangat merasuk pada banyak teologi Kristen, termasuk Protestantisme. Teori ini dengan sangat jelas mengandaikan logika “plan B” di atas.
Ada sebuah tradisi berpikir di dalam teologi Kristen yang sangat menolak cara berpikir “plan B” ini, yaitu tradisi Fransiskan, yang diawali oleh Fransiskus dari Assisi, dilanjutkan oleh John Duns Scotus dan banyak lainnya hingga hari ini. Dalam tradisi Fransiskan ini, pemahaman “plan B” ini sangat berbahaya, sebab dosa menjadi perlu ada untuk kedatangan Kristus. Padahal, mereka percaya bahwa kekristenan berpusat pada Kristus. Segala sesuatu diciptakan di dalam Kristus. Kristus secara hakiki adalah Dia yang mengantarai Allah dan ciptaan, Dia yang mengakrabkan Allah pada ciptaan. Dia selalu menjadi Sang Kurban! Kata “kurban” seakar kata dengan beberapa kata lain, yaitu “karib,” “akrab,” dan “kerabat.” Semuanya memiliki makna dasar yang sama, yaitu dekat atau mendekat. Jadi Kristus Sang Kurban adalah Dia yang selalu mendekatkan Allah dan ciptaan.
Dalam kesadaran ini, seorang Fransiskan bernama Leonardo Boff bahkan mengatakan, dengan bahasa yang kurang-lebih, “Seandainya Yesus Kristus tidak mati di atas salib, namun karena usia tua, Ia tetap adalah Sang Kurban, yang senantiasa mendekatkan Allah pada ciptaan dan manusia.” Dia selalu adalah Imanuel, Allah beserta kita. Seorang teolog Fransiskan lain bernama John Duns Scotus melihat bahwa dosa tidak menjadi “syarat” datangnya Yesus Kristus, sebab Kristus adalah pusat dari ciptaan. Maka, inkarnasi Yesus, yaitu Sang Anak yang menjadi manusia, bukanlah respons Allah atas dosa manusia, melainkan maksud Allah sejak semula, bahkan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, yaitu untuk mengangkat umat manusia guna mencapai kemuliaan agar bersatu dengan Allah.
Jika gagasan ini kita kaitkan dengan tema “Ia Datang Walau Dunia Menolak-Nya,” maka dengan tegas kita bisa mengatakan bahwa penerimaan atau penolakan manusia tidak memengaruhi kedatangan Sang Anak! Ia tidak akan batal datang hanya karena manusia menolak-Nya. Demikian pun, Ia tidak akan bergegas datang hanya karena manusia menerima-Nya. Ia datang karena Ia adalah Sang Datang, Sang Kurban, Sang Cinta … Imanuel! Selamat merayakan Sang Cinta yang menjadi daging di dalam Yesus Kristus.•
» Pdt. Joas Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.