Ketika kita berbicara tentang ‘gereja’ maka itu berarti kita sedang berbicara tentang ‘persekutuan’, dan bukan ‘gedung’. Sedangkan saya memahaminya ‘rumah’ juga bukan sebagai ‘bangunan’, melainkan ‘keluarga’. Berangkat dari pemahaman ini, maka saya akan membahas tentang:
- Hakikat keluarga yang adalah persekutuan;
- Bagaimana berkat Tuhan dapat selalu ada di tengah persekutuan;
- Memahami setiap anggota keluarga sebagai ‘berkat’;
- Menjadi persekutuan yang memberi berkat.
KELUARGA ADALAH PERSEKUTUAN
Ketika kita berbicara tentang ‘keluarga’, tentu kita tidak saja berbicara tentang diri kita sendiri, tapi juga anggota keluarga yang lain. Anggota keluarga ini diikat oleh ikatan darah, ikatan pernikahan dan ikatan sosial, menjadi sebuah keluarga. Karena itu, relasi antar anggota keluarga adalah relasi yang paling dekat dan akrab.
Di satu sisi, kedekatan dan keakraban relasi ini kita harapkan, namun di sisi lain, kedekatan dan keakraban ini juga mengandung potensi gesekan. Kita mengenal adanya ‘ironi kedekatan’, bahwa pohon-pohon yang tumbuh berdekatan cenderung saling bergesekan. Karena itu ada ungkapan: ‘jauh itu wangi dan dekat itu bau’. Biasanya, untuk mencegah gesekan, masing-masing anggota keluarga lalu membentengi dirinya sendiri. Mereka menjaga ‘jarak relasi’ agar di satu sisi relasi keluarga tetap terwujud, namun ‘cukup jauh’ sehingga potensi gesekan diperkecil. Keluarga seperti ini adalah keluarga yang minim konflik, tetapi tidak ada kehangatan relasi di dalamnya. Semua relasi terwujud dalam jarak yang ‘cukup jauh’ dan masing-masing anggota keluarga hidup dalam dunianya sendiri. Kehangatan relasi sering kali justru mereka dapatkan bukan dari anggota keluarga, melainkan dari media sosial.
Pertanyaannya: Apakah keluarga yang seperti ini adalah sebuah persekutuan? Jawabnya, jelas tidak! Sebab sebuah persekutuan justru mensyaratkan ‘kedekatan dan keakraban’. Rasul Paulus memuji persekutuan jemaat Filipi: “Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu…” (Filipi 1:5). Tetapi rasul Paulus masih belum puas, karena ia melihat persekutuan jemaat Filipi masih ‘menjaga jarak’ satu terhadap yang lain. Karena itu ia menasihatkan, agar jemaat Filipi memiliki persekutuan yang lebih akrab: “…sempurnakanlah sukacitaku dengan ini, hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan” (Filipi 2:2).
Nah, bagaimana mungkin sebuah persekutuan yang dekat dan akrab bisa dijauhkan dari ‘ironi kedekatan’? Rasul Paulus memberikan resepnya: masing-masing anggota keluarga harus mencari kepentingan bersama, rendah hati dan menganggap anggota lain lebih utama dari dirinya. Karena itu, selain memerhatikan kepentingan diri sendiri, masing-masing anggota keluarga juga harus memerhatikan kepentingan anggota lainnya (Filipi 2:3-4). Semua itu baru bisa terjadi ketika kita meneladani Kristus yang memberi diri dan berkorban untuk kita (Filipi 2:5-8).
Jadi, jangan takut dekat dan akrab, ciptakanlah kehangatan relasi antar setiap anggota keluarga serta kelolalah egomu! Dengan demikian, keluarga kita bisa benar-benar menjadi sebuah persekutuan yang hangat, bukan sekadar sebuah ikatan yang dingin.
Relasi suami-istri yang dingin, juga relasi orangtua-anak yang dingin, biasanya berangkat dari upaya ‘menghindari konflik’, tapi akibatnya sungguh parah. Memang konflik diminimalkan, tapi kehangatan hilang, sehingga ‘de jure’ perceraian belum terjadi, tapi ‘de facto’ perceraian sudah terjadi. Sebelum terlambat, kembalilah mendekat dalam persekutuan yang hangat. Jangan takut terhadap ironi kedekatan, asal kita masing-masing mau meneladan Kristus dan menanggalkan ego, pasti kehangatan relasi dapat terwujud dengan baik.
BERKAT TUHAN DI TENGAH PERSEKUTUAN
Mazmur 133 menunjukkan korelasi antara berkat Tuhan dengan kerukunan. Mari kita bandingkan ayat 1 dan 3:
“Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mz. 133:1)
“.…..sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat…”
(Mz. 133:3b)
Tadi kita sudah belajar bagaimana kita tidak perlu takut menjadi dekat dan akrab, meskipun ada ‘ironi kedekatan’. Asal kita meneladan Kristus dan belajar memberi diri dalam kerendah-an hati, maka kita tidak akan saling menyakiti meski dekat dan akrab.
Mazmur 133 menambahkan satu pelajaran lagi. Ayat 1 tentang ‘kerukunan’ ternyata dihubungkan dengan ayat 3 tentang ‘berkat’ melalui ayat 2: “seperti minyak yang baik di atas kepala, meleleh ke janggut…” Apa maksud ungkapan ini? Ternyata ayat 2 ini berbicara tentang keramahtamahan orang Israel dalam menyambut seorang tamu. Mereka menerima tamu dengan mencuci kaki tamu tersebut dari segala debu, kemudian menuangkan minyak wangi di atas kepala yang meleleh sampai ke janggutnya.
Artinya, kerukunan itu perlu diwujudkan secara lebih proaktif melalui tindakan keramahtamahan setiap anggota keluarga terhadap yang lain. Sebagai orang timur, kadang-kadang kita kurang mengekspresikan kasih dan keramahtamahan. Apalagi ketika menyangkut anggota keluarga yang sudah ‘biasa’ bertemu. Nah, agar ‘berkat’ Tuhan makin kita rasakan, mari kita belajar juga mengekspresikan kasih kita kepada yang lain. Lakukanlah keramahtamahan kepada yang lain, maka Anda akan makin didekatkan dalam kehangatan keluarga!
SETIAP ANGGOTA KELUARGA ADALAH BERKAT
Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap anggota keluarga juga memiliki kelemahan dan keterbatasan. Namun sungguh menarik ungkapan dalam Mazmur 128:3, “Istrimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur… anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun…” Saya katakan menarik, karena berita Mz. 128 adalah tentang berkat Tuhan atas rumah tangga. Nah, ternyata Tuhan memberkati sebuah keluarga bukan hanya melalui penghasilan keluarga (Mz. 128:2), melainkan juga melalui setiap anggota keluarga.
Tuhan menempatkan kita secara unik menjadi sebuah keluarga, karena Dia ingin memakai kita menjadi berkat buat keluarga tersebut. Karena itu jangan fokus kepada kelemahan dan keterbatasan anggota keluarga, yang justru membuat kita mengeluh, melainkan pahamilah, bahwa dalam segala keterbatasan dan kelemahannya, Tuhan berkenan memakainya untuk menjadi berkat buat keluarga. Oleh karena itu syukurilah kehadiran setiap anggota keluargamu, sambutlah dia dengan keramahtamahan kasihmu dan berdoalah untuknya, agar dalam segala keterbatasannya dia dapat menjadi berkat buat keluarga.
Di sisi lain, setiap anggota keluarga juga harus melihat bahwa Tuhan berkenan memakainya, meskipun lemah dan terbatas, untuk menjadi berkat buat keluarga. Karena itu, setiap anggota keluarga harus selalu memikirkan, apa yang bisa kulakukan dalam rangka menjadi berkat buat keluargaku. Wah, kalau setiap anggota keluarga berpikir demikian, sungguh keluarga itu diberkati oleh Tuhan.
KELUARGA YANG MENJADI BERKAT
Pada akhirnya, ketika kita berpikir tentang keluarga sebagai sebuah persekutuan (gereja), maka kita tidak boleh melupakan maksud Tuhan mempersekutukan kita dan menempatkan kita di dunia. 1 Petrus 2:9 menegaskan bahwa Tuhan memanggil dan menjadikan kita sebuah persekutuan, agar kita bisa menjadi saksi-Nya. Kehidupan keluarga yang baik, persekutuan yang hangat, dekat dan akrab, jelas adalah sebuah kesaksian di tengah banyak keluarga yang relasinya ‘dingin’. Keberadaan sebuah keluarga yang baik adalah berkat buat keluarga-keluarga yang lain. Melalui kesaksian keluarga, kita menjadi teladan dan menyemangati banyak keluarga lain. Ternyata bisa kok mewujudkan sebuah persekutuan keluarga yang hangat dan akrab tanpa harus tercederai oleh ‘ironi kedekatan’. Mari, Anda yang masih membentengi diri Anda dengan ‘menjaga jarak aman’, saling mendekatlah! Wujudkan kehangatan dan keakraban persekutuan. Keluarlah dari comfort zone Anda. Ah… saya jadi ingat sebuah ungkapan:
“Life begin at the end of your comfort zone”.
» Pdt. Rudianto Djajakartika
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.